Chapter 14: Something That Cannot Be Decided

6 3 0
                                    

Let me fall, if I must fall.
The one I will become will catch me.
Baal Shem Tov

Dia masih tak banyak bicara meskipun kemarin Aru bertanya dan mencoba untuk mengobrol dengannya—El tetap diam, sedikit merespon, wajahnya pun seolah dipaksakan. Sebenarnya ada apa? Apakah ada sesuatu yang mengganggu El? Pertanyaan itu masih mengelilingi kepala Aru. Bertanya pada Ken yang sempat bersama El pun tak menghasilkan jawaban yang puas.

Hingga saat mereka akan berangkat keesokan paginya di sekolah, empat bus datang. Aru dan yang lain sudah siap berangkat—menunggu di lapangan dengan guru-guru. Namun, Aru tak melihat adanya El. Apakah dia terlambat? Aru melihat jam di tangannya, sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Eugene, Ken, dan Sabila pun bertanya ke mana Eleine. Apakah terjadi sesuatu pada El di rumah?

Faru Margen menghela napasnya sumbang. Dia sama sekali tidak mengerti perasaannya pada El sekarang seperti apa. Apakah semuanya akan terbalaskan pada waktunya? Bagaimana jika El menyadari perasaan suka Aru yang begitu besar? Apakah El akan merasa risih dan menghindar?

Entahlah, Aru gundah. Ingin menjemput El, tapi sepertinya El ingin menghindari Aru untuk sementara.

***

Sebenarnya El sudah berangkat sedari jam tujuh pagi, tapi seseorang memblokir jalannya—membuat El tak bisa ke lapangan. Itu bukan sesuatu yang besar seperti truk atau pembangunan jalan, tapi karena seseorang yang katanya ingin berbicara.

Naruna Wheeler. Gadis itu ingin bicara dengan El sebentar. Namun, bukan sebentar lagi namanya karena mereka menghabiskan waktu dua jam di belakang sekolah. Bicaranya pun bukan hal yang baik, sebanyaknya tak masuk akal—Naru terus-menerus mempertanyakan hal yang tidak ingin El dengar.

Jika bisa, El tidak pernah ingin bertemu dengan seseorang di masa lalunya. El tidak ingin bertemu dengan mereka yang memiliki kenangan buruk dengannya—El tidak ingin menyapa, tidak ingin tahu, tidak ingin lagi kenal. Karena bagi El, biarlah luka-luka itu menghilang bersama kenangannya, jangan kembali, meskipun hanya pelaku di masa yang berbeda. Bagaimana pun juga, masa memang berubah, tapi luka dan perasaan sakitnya tetap ada. Meski orang bilang waktu adalah penyembuh, itu tak semuanya benar. Kehidupan Eleine yang tak semudah orang kira membuatnya tidak ingin dilukai lebih banyak lagi.

El datang ke sini ingin berubah, tapi kenapa ada saja orang yang datang untuk mengubah semuanya jadi rumit? Asam sekali. Seperti tak berjalan lancar. Entah itu pamannya, atau Naru. Siapa lagi nanti? Kakeknya? Apa yang harus El lakukan lagi?

Tetap berjuang atau menyerah?

"Jangan dekat-dekat sama murid mana pun, El."

Suaranya angkuh. Naru melipat kedua tangannya di dada setelah mengucapkan kalimat demikian, dan memegang helai-helai rambut El.

"Kamu ingat dulu, datang ke sekolah dengan tangan yang dikepal penuh rambut? Terus aku nanya kenapa, kamu malah lempar aku pakai rambut yang kamu pegang." Naru tersenyum. "Rambut kamu sekarang sudah panjang."

"Mau kamu apa?" El bertanya dengan kaki gemetaran.

Senyum Naru mengembang.

"Aku mau kamu mati."

El menghela napas. Tidakkah Naru tahu apa yang selama ini terjadi pada El? Apakah Naru tahu obat apa saja yang El konsumsi untuk membuatnya tenang dari rasa panik tiba-tiba?

Tidakkah El tahu berapa banyak pil yang El minum hanya untuk dapat tertidur dengan nyenyak? Jika bisa pun, El ingin mengakhiri semuanya lebih cepat. Namun, El sendiri sadar kalau dia tidak ingin pergi dengan cara seperti itu.

El takut akan kematian. El takut melihat darah di mana-mana, setiap kali tangannya memegang pisau atau tali, kenangan buruk akan ibu dan ayahnya terlintas dalam benak. Seketika itu pula El gemetar takut, paniknya datang. Bukan hanya itu, mendengar kata-kata pembunuh saja El sudah gemetar, bagaimana cara melakukannya? Membunuh diri sendiri? El tidak sanggup.

"Kamu mau bunuh aku, Naru?" El menatap Naru. "Aku gak bisa bunuh diri."

"Kenapa? Bukannya kamu pandai bunuh orang? Ibu kamu, ayah kamu." Naru melipat bibirnya. "Simpel saja, sih. Aku gak mau kamu ikut kamp. Aku gak mau kamu satu bus sama Aru.

Aku gak mau kamu rebut Aru dariku."

"Tapi Aru bukan barang."

"Aku tahu dia manusia. Tapi dia gak boleh jatuh cinta sama pembunuh kayak kamu. Kamu itu gak pantas. Apalagi gabung sama mereka, Ken, Eugene. Gabung sama anak-anak cerah ceria kayak gitu, sedangkan kamu anaknya suram. Ya, beda jauh. Jadi gak boleh." Naru mendorong bahu El. "Sejak awal kursi kamu itu punyaku, Stevenson. Posisi kamu di lingkungan mereka itu tempatku. Tapi sayang banget aku sakit, jadinya gak masuk saat pembagian kelas, dan kamu malah duduk di sana. Gabung sama mereka. Mau rebut apalagi kamu?"

"Kamu itu gak ada kerjaan ya, Naru. Dua jam cuma pengin ngobrol hal-hal yang enggak berguna." El menahan napasnya. "Saat SMP juga aku gak pernah rebut apa pun dari kamu."

"Oh, ya?"

El menggigit bibir bawahnya yang gemetar.

"Ngomong lagi, dong. Masa hanya begitu saja? Dari tadi ditanya macam-macam kamu gak jawab. Sekarang dikasih kesempatan kok diam?"

El diam.

"Stevenson yang dulu disegani banyak keluarga, sekarang jadi aib doang di ibukota. Ironis, ya?" Naru tertawa.  "Oh ya, aku juga suka potong rambut, loh."

El memegang rambutnya sendiri.

"Karena rambut kamu sudah panjang, aku potong ya, El?" tanya Naru, mengeluarkan gunting dari saku roknya.

Gadis itu menggeleng. "Enggak."

"Kenapa?" Naru mendekat, memegang lengan El yang berusaha menghindar.

"Enggak, Naru!"

"Hey!" suara Guru terdengar di balik dinding, membuat keduanya menoleh.

"Naru, apa yang kamu lakukan?!" Guru itu membentak, berjalan mendekat ke arah El. Namun, belum sempat El menghindar, Naru malah menyelesaikan apa yang ingin dilakukannya— dia memotong rambut El meski hanya sedikit, membuat El berteriak, memegang gunting itu dan melemparnya. Tangan El terluka, cukup dalam karena gunting itu sepertinya baru, jadinya tajam.

Guru itu langsung menarik El.

"Aduh, maaf El. Maaf banget. Jadinya jelek rambutnya cuma kepotong sedikit." Naru memegang tangan El yang gemetar.

"Aduh! Sudah Naru cepat pergi naik bus nanti tertinggal. Bus kelas Eleine sudah berangkat lebih dulu, biar kamu sama guru-guru saja." Dia membantu El bangun.

Naruna Wheeler tersenyum. "Baik, Bu," katanya, kemudian berlari kecil, meninggalkan tempat ini yang hanya tersisa El dengan gurunya.

El tidak bisa berbicara. Suaranya tercekat, napasnya sesak. Darah itu mengalir di tangannya. Sekelebat kenangan buruk mulai mengelilingi benaknya. Air mata El jatuh, guru yang tahu bahwa El memiliki trauma terhadap darah itu segera memeluk El, mengusap-usap punggungnya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Salah satu guru pun datang dengan membawa kotak P3K. Tangan El yang terluka itu segera diperban dan El dibawa pergi dari sana.

Gurunya tak bertanya macam-macam. Namun, mereka tetap menenangkan El yang masih gemetar ketakutan.

***

Our Sweetest Summer [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang