Chapter 13: Nothing Is Bad

6 3 0
                                    

Perhaps, we should learn to love ourselves so louldy, it silences our insecurities.
Louise Kaufmann

Sejak kemarin, mau di sekolah ataupun di kantor, entah kenapa sikap El berubah. Dia tak banyak bicara, ketika ditanya pun dijawab seperlunya. El memang tetap tersenyum, tapi itu terasa berbeda—seperti dipaksakan. Dia seolah waspada, menghindar, bahkan ketika Aru hendak memperkenalkan Naru—seorang murid yang sudah lama tidak bersekolah karena sakit—El menghindar. Dia benar-benar menghindar dengan alasan yang klise.

Ada apa?

"Ayo, perhatian!" Suara ketua OSIS di depan sana menggelegar, membuat para murid yang tadinya berisik antusias mendengar berita pagi di mading sekolah tentang kemping itu diam.

"Kamp akan dilaksanakan dua hari, perkelas dibagi menjadi delapan kelompok berisi lima orang. Silakan bagi sendiri. Info selanjutnya nanti dikabarkan lewat surel."

Dan dengan begitu, teriakan para murid kembali membara di kelas.  Mereka antusias, karena sebelum mengerjakan ulangan akan pergi berlibur dulu meski hanya dua hari.

Selepas ketua OSIS pergi, kini giliran ketua kelas dan sekretaris kelas maju ke depan. Mereka mulai membicarakan poin-poin penting dan syarat, lalu pembagian kelompok. Ternyata mau sekolah di mana juga tetap ada yang namanya kelompok—El pikir itu tidak akan berlaku di sekolah ini. Sayangnya, tugas berkelompok adalah yang paling dibenci El di sekolah. Karena dia selalu menjadi anak buangan, di mana jika ada kelompok yang kekurangan personil, maka dia akan masuk.

El melirik Aru yang sudah digerumuni anak-anak lain untuk diajak berkelompok. Tentu saja, siapa yang tak mau berkelompok dengan orang seperti Aru? Dia ceria, pintar, ramah. Aru memiliki dunia yang berbeda dengan El. Meski dipasangkan dengan Aru juga, karena ada Naru di sini—El tidak bisa.

"Ah, maaf. Tapi kelompokku sudah penuh," jawab Aru ketika ada yang mengajukan ingin satu kelompok dengannya. "El, sini!"

El bangun dari lamunan, dia menatap Aru terkejut sebelum akhirnya menggeleng. "Ah, tapi aku—"

"Sudah, ayo! Kelompok kita sudah penuh, ya!" Ken menarik lengan El dan dipeluknya. "Lain kali lagi kalau ada lain kali!"

"Akhirnya kita satu kelompok lagi, ya?" Eugene menggaruk leher belakang. "Dulu kita sama Naru, tapi karena beda kelas jadinya gak lagi."

El menurunkan pandangannya.

"Em, apa aku gak masalah ikut sama kalian?" tanya seorang gadis dengan tag nama Sabila.

Meskipun di kelas ini tidak ada perundungan, tapi tetap ada murid pendiam. Saking pendiamnya, tak ada yang mengajaknya bicara—kecuali mereka; Aru, Eugene, Ken. Entah kenapa, bagi El, mereka tampak seperti penyelamat.

"Enggak masalah. Lagian kami butuh kamu yang banyak informasi ini." Aru tersenyum. "Kamu bakal bawa buku penuh sama penelitian kamu, kan?"

Sabila mengangguk. "Tentu saja."

"El, kamu baik-baik saja?" tanya Ken akhirnya, menyadari mimik El yang murung.

Apakah boleh kalau El berada di sini bersama mereka? Tapi bagaimana jika Naru membeberkan apa yang telah terjadi tiga tahun lalu?

Apakah Aru akan menjauhinya? Semua yang dirasakannya saat ini akan menghilang?

Apakah tidak apa-apa jika El menahan sebuah fakta mengerikannya sebentar lagi?

El menghela napas, lalu tak sengaja melihat ke luar kelas—ke lorong, tepat di sana dia mendapati Naru tengah berdiri, wajahnya kusut, lalu melengos pergi.

***

Siang yang cukup panas ini ada pelajaran olahraga. Semua murid paling menantikan pelajaran ini karena berada di luar ruangan. Mereka tak perlu bergelut dengan buku atau menatap papan tulis yang membosankan. Di sini semuanya bebas berlari, tertawa, mengobrol—di lapangan indoor, yang ternyata sudah bisa dipakai.

Our Sweetest Summer [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang