Chapter 18: Confession

4 3 0
                                    

The moment you doubt you can fly, you cease forever to be able to do it.
-Peter Pan

"Tapi, kenapa Naru bisa tahu kamu pandai bikin puisi? Apa kamu sama Naru sebelumnya pernah ketemu?"

***

"Karena kami pernah menjadi teman saat SMP. Dia teman sekelasku saat di ibukota." El menggigit bibir bawahnya sebentar. "Dulu aku sering membuat puisi diam-diam dan diberikan kepada anggota ekstrakurikuler broadcasting. Setiap Jum'at sore puisi itu dibacakan, dan ya, begitulah. Naru tahu bahwa aku bisa menulis puisi. T-tapi itu sudah lama sekali, Aru."

"Aku enggak pernah dengar apa pun saat kamu SMP. Aku ingin dengar lebih banyak," kata Aru, tersenyum. "Kalau kamu sama Naru itu satu SMP, bukankah itu berarti kalian dekat?"

Eleine menyunggingkan senyumnya, tipis sekali, hingga tampak samar di area yang gelap ini. Bagaimana caranya El memberitahu kepada Aru, bahwa mereka pernah dekat sekali, tapi kini tidak lagi. Sungguh, jika bisa Eleine sangat ingin memberitahu Aru apa yang terjadi selama ini antara dirinya dengan Naru. Namun, mau seberani apapun ternyata El tetap tidak bisa.

"Mungkin nanti aku akan memberitahumu, Aru." El menoleh ke arah Aru. "Mungkin jika saatnya tiba, aku akan memberitahu semuanya."

Termasuk rahasia terbesarku.

Aru tersenyum, dia menganggukkan kepalanya dua kali. Percakapan kecil mereka mengundang tawa orang-orang sekitar, beberapa juga menggoda. Namun, lihatlah Naru. Gadis itu membuang wajahnya kecut. Tidak lama kemudian dia berdiri dan pergi dari area sini.

***

Setelah kegiatan tadi selesai, semuanya bergegas untuk tidur. Ken dan Sabila sudah terlelap dengan cepat, sedangkan El tidak bisa. Dia mesti meminum obat tidur, dan menyalakan lilin aroma untuk menenangkan pikiran.

Mungkin tidak akan ada yang menyangka bahwa Eleine adalah orang yang seperti ini, orang yang ketergantungan.

Melihat Ken dan Sabila sudah sangat lelap, El memutuskan untuk keluar dari tenda sejenak untuk menikmati angin malam. Dia berjalan menuju danau dan duduk di jembatan. El mengayunkan kakinya di atas air sewarna hijau lumut itu, menghela napas sesekali dan mendongak, melihat bintang berkelip di atas sana.

"El?" Seseorang memanggil, membuat Eleine menoleh dan mendapati Eugene berjalan mendekatinya sembari membawa sebatang rokok juga korek api. "Kenapa gak tidur? Aku boleh duduk di sini ya?"

El mengangguk. "Duduk saja."

Eugene mengambil alih tempat duduk di sebelah El, lalu menyesap rokoknya. "Maaf kalau gak suka asap rokok. Tadi mau ngobrol sama Aru, tapi dia lagi ngomong duluan sama Naru."

El terdiam.

"Kamu gak bisa tidur, kan? Bawa obat tidur gak?"

"Bawa."

"Bagus."

"Mereka ngomongin apa, Eugene?" El melipat bibirnya setelah bertanya demikian. "Aku gak maksud apa-apa, kok. Kalau hal yang mereka omongin itu privasi, aku gak bakal nanya lagi

"Jangan khawatir. Aru cuma nanya-nanya saja apa yang terjadi tiga hari belakangan ini, sama alasan kenapa bisa mendeklarasikan kalau mereka itu berpacaran hanya sebuah bunga. Lagipula, sebelum acara bakar-bakar tadi, Naru memang meminta untuk berbicara dengan Aru."

"Apa mereka memang sedekat itu?"

"Emm ....," Eugene mengembuskan asap rokok ke arah lain. "Bisa dibilang, dulu, saat Naru baru pindah ke desa dan saat ibunya Aru masih ada, mereka dekat sekali seperti setali tiga uang. Gak heran kalau banyak yang menggoda mereka untuk pacaran. El sendiri kenal Naru sejak kapan?"

Our Sweetest Summer [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now