Chapter 3: What You Have

11 4 0
                                    

You must not let anyone define your limits because of where you come from. Your only limit is your soul.
Gusteau, Ratatouille

Apa yang menjadi topik utama tadi di sekolah bukan hanya kabar burung. Eleine Stevenson bisa melakukan segalanya—dia mendapat pujian dari Kepala Industri—Pak Difa—dengan terang-terangan. Semua karyawan tahu kalau Pak Difa merupakan atasan yang mengerikan—jarang berbicara, tatapan mata tajam, bermulut pedas. Apa yang dikeluarkan dari bibirnya pasti tak ingin didengar karyawan biasa. Yang bisa akrab dengannya saat ini hanyalah para atasan. Namun, kini, adanya El merubah sejarah. Karyawan baru itu berhasil merenggut hati Pak Difa dan mendapatkan pujian di depan lab percobaan.

Dia juga pandai membersihkan area kerja kantor industri yang seperti kapal pecah, berbicara dengan lugas di hadapan banyak orang, dan memimpin proyek pengembangan produk terbatas. El juga pandai berbahasa asing, sehingga berbicara dengan klien atau supplier luar negeri tidak membuatnya susah. El seperti Dewi yang turun hari ini, di tempat ini. Bahkan saat bajunya kotor berdebu terkena arang dari cerobong asap, sosoknya tetap cantik.

"Kalau seperti ini, pekerjaan dua hari ke depan sudah selesai. Besok karyawan bisa santai. Hebat banget, karyawan barunya," kata salah satu karyawan.

Aru tanpa sadar mengembangkan senyumnya, intensitas Eleine di depan sana yang sedang sibuk mengunci pandangan Aru.

"Mas?"

Akhirnya, Faru menoleh dan mendapati seseorang berdiri, membawa jas hujan.

"Oh, ada apa?" tanya Aru.

"Ini jas hujan yang kemarin ketinggalan. Sekarang hujan lagi, dan bentar lagi pulang," katanya, memberikan jas hujan itu ke Aru. "Pasti Mas butuhin ini."

Aru tersenyum. "Makasih ya, Mbak."

Benar saja, di luar hujan. Setengah jam kemudian para karyawan mulai menghilang sosok demi sosok. Meninggalkan Eleine yang masih mendata di sana. Aru juga tidak bisa pulang lebih dulu, dia perlu mendiskusikan beberapa pekerjaan untuk besok dengan Eleine.

El yang sedang fokus itu membuat Aru enggan mengganggu. Lihatlah mata bulatnya yang cantik itu, dahinya mengkerut kusut, bibirnya dimajukan ke depan. Dia lucu sekali, pipinya jadi mengembung ketika mendapati sesuatu yang membingungkan. Namun, Aru tetap harus membicarakan pekerjaan ini dengan El.

Jadinya, mereka berdua tetap di sana selama satu jam setengah. Sedangkan karyawan-karyawan lain sudah pulang semua. Hujan semakin deras, petir menyambar. Ketika semuanya sudah mulai gelap, El hendak menerobos hujan dengan bajunya.

Namun, bukan Faru Margen namanya jika tidak siap siaga sebelum bencana terjadi. Jas hujan yang diberikan salah satu karyawan padanya ada dua. Jadi, Aru memberikan satu jas hujan itu pada El.

Setelahnya, mereka berpisah.

***

Pagi yang hangat, entah kenapa Aru bangun dengan lebih semangat dari biasanya. Merasa ingin cepat datang ke sekolah. Jadinya Aru siap-siap dari pagi buta, memakai style rambut yang berbeda dari biasanya. Dia menggunting sedikit, membuat rambut Aru jadi agak cepak. Jidatnya terlihat, alisnya yang tebal berantakan bertengger di atas kelopak matanya bagai ulat bulu.

Bukan hanya dirinya yang merasa terkejut melihat pantulan diri sendiri di depan cermin, tapi Eugene juga sama. Dia bahkan sampai menjatuhkan sepedanya ketika Aru keluar dengan lebih segar. Wajahnya berseri-seri, ingin bertanya ada apa—tapi ini adalah hal yang baik. Eugene berharap, Aru akan terus tersenyum seperti itu. Mau bagaimana pun juga, Aru memang sering tersenyum, tapi ini sangat berbeda. Wajah berseri yang—tulus. Tidak ada paksaan.

Our Sweetest Summer [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now