Bab 4; Katanya, Setiap Luka Akan Tiada Setelah Terbiasa

Start from the beginning
                                    

Menggigit bibir sebentar, pemuda itu mencoba mengambil jeda lebih panjang, sebelum akhirnya kembali melanjutkan.

"Gue tidur agak cepet semalem jadi—"

"Nggak merhatiin jam."

Nyatanya, Kala tidak pernah siap dengan Denta yang tiba-tiba memotong kalimatnya, hingga di detik itu ia cuma diam dan memperhatikan bagaimana Denta berjalan ke arah lemari, membuka separuh pintunya, lalu mengambil satu helai kaos polos hitam untuk dipakai.

Lalu detik-detik selanjutnya kembali diisi dengan hening. Rasanya asing. Seingat Kala, dulu, kamar itu tidak pernah terasa sesepi ini. Tidak pernah secanggung ini. Dulu, mereka tidak pernah memiliki batas untuk membicarakan apa saja. Kala selalu bebas bicara dan Denta akan selalu memiliki jawaban untuk setiap kalimatnya. Dulu, mereka bisa menghabiskan berjam-jam untuk menyusun lego di kamar sambil menceritakan ulang episode kartun yang satu hari sebelumnya tayang di televisi. Atau sekadar menebak hari itu Mama mau masak apa, dan siapa yang akan menghabiskan potongan terakhir ayam kecap buatan Mama.

Beranjak dewasa, topik obrolan mereka sedikit berubah. Tetapi Kala tetap senang bicara, dan Denta masih tetap punya satu juta kosa kata untuk membalas setiap kalimat Kala. Seperti saat mereka memperdebatkan tentang kenapa hari libur dijatuhkan di hari Minggu, dan bukan Senin. Atau saat mereka bicara tentang bagaimana air laut tidak tumpah padahal katanya bumi selalu berputar. Dulu, setiap mereka sudah duduk berdua dalam satu ruangan, tidak ada obrolan yang tidak akan berlangsung panjang.

Namun, sekarang, bahkan untuk sekadar menanyakan jam berapa semalam Denta pulang, Kala butuh pertimbangan yang sangat panjang.

"Bisa nggak, kita ngobrol baik-baik dulu sebelum keluar buat ketemu Mama? Gue tau ada banyak hal yang mau lo omongin, dan gue juga sama. Mama bilang lo butuh waktu, dan gue ngerti. Gue nggak keberatan kasih lo waktu sebanyak yang lo butuhin. Tapi, kayaknya kita juga perlu ngobrol. Seenggaknya berusaha buat lebih banyak ngobrol."

"Buat apa?"

"Supaya kita enggak canggung kayak gini."

"Kalau udah nggak canggung terus mau apa?"

Denta sama sekali tidak berbalik selama mereka bicara. Tetapi bahkan tanpa pemuda itu menatap matanya, caranya bicara sudah cukup untuk membuat Kala meragukan keberadaannya sendiri di sana. Setelah lima tahun, Kala akhirnya bisa pulang, tetapi kenapa rasanya di sini ia seperti tidak diharapkan?

Diam-diam pemuda itu meremas tangannya, erat sekali sampai buku jarinya memutih. Dari sini, punggung Denta yang masih membelakanginya terlihat begitu dingin. Padahal, dulu, di tempat itu, Kala pernah menemukan kenyamanan. Kala yakin itu masih punggung yang sama, yang dulu selalu ia pandangi sebelum tidur, dan menjadi objek pertama yang selalu ia temukan di pagi hari saat dirinya terbangun. Punggung yang sama, yang selalu menghalanginya dari sasaran anak-anak lain saat mereka bermain. Dan walaupun Kala tahu Denta benci setengah mati pada hujan, untuknya, punggung itu selalu siap menghalau tiap tetes air agar dirinya tidak kebasahan, setiap mereka hanya punya satu payung untuk berjalan dari depan sekolah ke depan pintu gerbang tempat mobil Papa menunggu.

"Sebelumnya kita nggak gini, Den," ucap Kala kemudian, lebih terdengar seperti keluhan.

"Terus menurut lo, gue yang bikin kita jadi gini?"

"Enggak—"

Akan tetapi, Kala tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Mengingat hari-hari panjang yang mereka lewati selama ini, Kala sadar bahwa tidak ada hari yang mudah untuk Denta. Bagaimanapun juga, di antara mereka, Denta lah yang ditinggalkan. Rasa sakit pada pihak yang ditinggalkan akan selalu berkali-kali lipat lebih besar daripada mereka yang meninggalkan.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now