Bab 25. Berebut Tulang Tanpa Daging

199 19 6
                                    

Selesai mandi dan berpakaian, Karita duduk di meja makan. Semua keluarganya sudah berkumpul termasuk kakak lelakinya. Dia menarik napas pelan dan bersiap men"ghadapi makan malam yang bisa jadi mirip dengan survival show. Tentunya tantangan itu berupa sindiran telak menohok ulu hati. Apalagi dengan kakaknya di rumah, Karita harus bersiap untuk bertahan dengan sindiran yang mampu mengoyak sanubari.

Dia tidak membenci kakaknya. Pria itu tidak bersalah. Kakaknya juga bukan orang jahat ataupun orang yang gemar mencari muka dan menyalahkannya. Lagi pula, tidak ada yang salah karena disayangi. Arya tidak berdosa karena menerima kasih sayang berlebih. Karena kalau Karita mau protes soal ketidakadilan maka itu kepada ibunya yang kadar pilih kasihnya ada di luar prediksi BMKG.

"Masakan Ibu luar biasa!" kata Arya membuka obrolan setelah beberapa kali suapan.

"Makan yang banyak, kapan lagi kamu makan masakan Ibu," kata Ibu sambil tersenyum dan menambahkan satu sendok sambal goreng ati ke piring kakak lelakinya itu.

"Iya, Mas. Mumpung Ibu masak enak," kata Karita menimpali.

"Ibu tiap hari juga masak enak kok, kamunya saja yang gak sadar saking keenakan," tukas Ibu cepat.

"Iya deh."

"Aku percaya kok kalau Ibu masak enak tiap hari, kan Ibu memang jago masak!" Arya lagi-lagi memuji dan membuat ibunya yang mulai mulai cermberut kembali tersenyum.

"Ngomong-ngomong Mas Arya berapa lama di sini?" tanya Karita mencoba mengalihkan topik obrolan.

"Kurang tahu juga, Ta. Sejauh ini palingan dua minggu buat urusan dinas saja," kata Arya di sela kunyahan.

"Mbak Erika kenapa gak ikut, Mas? Atau nyusul?"

Arya tersenyum samar. "Kayaknya sih gak nyusul, masih sibuk proyek di kantor katanya."

"Kok Erika aneh sih, suami dinas jauh malah sibuk di kantor!" Ibu mulai lagi dengan kata-kata sinisnya.

"Masih di kantor, Bu. Gak bisa cuti," kata Arya sambil melirik ke arah Ibu dan tersenyum lagi.

"Ibu heran deh, kenapa sih Erika itu ngotot banget buat kerja. Kan harusnya di rumah saja jadi ibu rumah tangga dan mengurus suami. Lagian gaji suaminya kan cukup," kata Ibu mulai lagi dengan sindiran sengit.

"Gak betah kalau di rumah saja, Bu."

"Kalau ada anak ya betah. Kebanyakan kerja makanya belum punya anak juga!"

"Ya, kan belum dikasih, Bu. Lagian kan memang nunda, Bu," kata Arya menjelaskan.

"Mau nunda sampai kapan? Sudah lima tahun lho. Masa kalian nikah menikah lima tahun belum isi juga sih?"

"Ibu!" Ayah yang sejak tadi diam saja kini mulai menegur.

Kata-kata Ibu memang keterlaluan. Sebelum Ayah bicara, awalnya Karita hendak menengahi memilih diam saja. Lebih baik tidak ikut-ikut ketimbang kena semprot. Dia memilih memakan secepat yang dia bisa agar bisa menghindar secepatnya. Dan mungkin dia jahat dengan membuka obrolan soal kakak iparnya dan membuat kakak iparnya yang tidak ada di sini jadi kena imbasnya.

Namun, ketimbang dirinya menjadi korban kenyinyiran ibunya akan lebih baik orang yang tidak ada saja yang kena. Lagi pula, ibunya tidak akan pernah mengatakan hal itu secara langsung pada menantunya. 

Ibunya bahkan bersikap seperti mertua idaman kaum hawa saat Erika datang. Dan sindiran soal Erika akan selesai dengan cepat karena kakak lelakinya itu lebih pintar meredam situasi. Kadang Karita pikir, kata-kata Arya memiliki mantra magis untuk menenangkan ibunya.

"Ibu cuma ngomong yang sebenarnya kok!" kata Ibu tidak terima.

"Iya, tahu. Tapi kan belum tentu Erika yang salah," kata Ayah lagi.

AromaTherapyWhere stories live. Discover now