3. | Jealous |

2K 181 17
                                    

SEBELUM BACA BUDIDAYAKAN

FOLLOW AKUN PENULISNYA

[JANGAN LUPA VOTE BUKUNYA]

KOMENTARI APAPUN YANG KALIAN SUKA.

JADILAH PEMBACA YANG CERMAT DAN AKTIF.

NO SILENT READERS...

CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI.

DILARANG KERAS MEN-COPY

SEPERTI : IDE, ALUR, DAN BAHASA PEMAIN.

UNTUK PLAGIAT JAUH-JAUH!

TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR KE BUKU INI...

Happy reading🦋

⎯ Halilintar Argantara⎯

BYUR!!

"Allahuakbar!" latah seorang remaja terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk di atas ranjangnya.

"Mau sampai kapan kau tidur? Cepat bangun! Dasar pemalas!" hardik sang ibu, Mara dengan tatapan tajam miliknya.

"Hoam... Memang ini sudah jam berapa Bu?" tanya Halilintar sambil menguap kecil.

"Jam berapa sekarang itu tidak penting. Sekarang cepat kau pergi bersiap-siap ayah dan adik mu sudah menunggu mu di bawah." bentak Mara.

"Baik, bu." jawab Halilintar patuh dan langsung melaksanakan perintah ibunya.

"Cuihh... merepotkan sekali." ujar Mara. Kemudian ia keluar dari kamar puteranya sambil membawa ember yang tadi ia gunakan.

Hatinya mencelos perasaan sesak hinggap di dada membuat nafasnya sedikit tercekat mendengar perkataan yang dilontarkan sang ibu.

"Merepotkan? Apa dengan membangun putera mu ini merepotkan mu, Bu?" batinnya.

Mengabaikan perasaannya Halilintar kembali melanjutkan aktivitasnya.

Ia terlebih dulu mengganti spring bed yang basah tadi. Lalu memasangkannya kembali.

Setelah selesai dengan acara mengganti spring bed. Barulah ia melaksanakan ritual paginya.

Lima belas menit kemudian.

Halilintar sudah selesai mandi dan siap pergi ke sekolah.

Setelah menyisir rambut. Halilintar mengecek kembali jadwal buku yang sudah ia siapkan semalam.

Dirasa semua lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Halilintar pergi menemui ayah, ibu dan adiknya untuk sarapan pagi bersama.

Ruang makan keluarga

"Ayah, kenapa kak Hali lama sekali. Gem-gem sudah lapar, ayah." keluh Gempa memelas sambil memegang perutnya.

"Ayah tidak tau mungkin dia sudah mati." ujar Amato pedas.

Gempa sama sekali tak bereaksi mendengar hujatan penuh kebencian sang ayah pada kakaknya.

"Cihh... Apa ibu mu itu tak membangunkan nya?" tanya Amato kesal pada istrinya karena ia tadi yang menyuruhnya membangunkan puteranya.

"Aku sudah membangunkannya, Amato. Mungkin sebentar lagi dia turun." sahut seorang perempuan paruh baya menarik perhatian anak dan suaminya.

"Tapi dimana kak Hali ibu? Kenapa kakak lama sekali. Gem-gem udah lapar banget, Bu." keluh Gempa.

Mara mengambil tempat duduk di sebelah puteranya. Tangan cantinya terulur mengelus perlahan rambut si bungsu.

"Kalo begitu kita makan saja duluan ya sayang. Tidak usah menunggu kakak mu itu." ujar Mara.

"Tapi Bu, nanti kalo kakak marah gimana?" tanya Gempa cemas.

"Biarkan saja dia marah. Gempa 'kan masih punya ayah dan ibu, sayang." sahut Amato diangguki sang ibu.

"Baiklah, Bu. Ayok kalo gitu kita makan!" kata Gempa semangat.

"Kau ini nak ada-ada saja." ujar Amato tertawa kecil melihat tingkah kekanak-kanakan puteranya.

Tanpa ketiganya sadari ternyata kehangatan itu tertangkap di inderanya.

"Aku juga ingin merasakan kehangatan itu, bu, pa." batinnya.

"Sialan! Kamu ngapain di sini! Cepat duduk!"

"Gausah heboh kali, Pa. Ini juga mau duduk kok."

Halilintar duduk di bangku miliknya sendiri. Lalu mengambil centong nasi berniat ingin mengambil nasi sebelum sang ayah kembali berbicara.

"Jangan lupa janji mu itu." ucap Amato setelah Mara melakukan tugasnya sebagai istri. Hal tersebut membuat Halilintar menolehkan kepalanya. Terlihat Gempa mengedipkan sebelah matanyamatanya dengan sudut bibir terangkat keatas.

Perlahan Halilintar lantas memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak jadi mengambil nasi. Perasaannya mendadak tidak enak. Entah kenapa, Halilintar sudah suudzon duluan.

"Kalau kamu tidak bisa tepati janjimu. Saya tidak akan pikir panjang lagi. Saya akan mengirim mu ke luar negeri." Amato melanjutkan ucapannya tanpa memikirkan perasaan putra sulungnya itu.

Mendengar ancaman itu, membuat Halilintar sedikit terdiam. Cowok itu pun lalu menjawab, "Tenang saja, Pa. Aku pasti menepati janjiku."

"Bagus kalo gitu," sahut Amato seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

Setelah selesai makan mereka kembali lagi ke kamar.

"Mau kemana kamu?"

Namun saat baru mau menaiki tangga, suara seseorang menghentikan langkah Halilintar yang sedang menaiki tangga. Dengan gerakan malas pemuda itu membalikkan badannya menghadap seseorang yang sedang menatapnya dengan tatapan marah dan tatapan yang ia sendiri tak yakin.

"Papa tanya sama kamu, mau kemana kamu?" ulang Amato.

"Sejak kapan papa peduli?" tanya Halilintar balik.

"Apa maksudmu? Papa memang peduli." sangkal Amato.

Halilintar merotasikan bola matanya malas. Ia memilih tak menanggapi, karena bila Halilintar melakukannya, maka papanya akan semakin jadi.

"Terserah papa aja deh."  ucap Halilintar malas lalu pergi begitu saja.

"HALI, PAPA BELUM SELESAI BICARA SAMA KAMU!"

Teriakan Amato membuat semua penghuni rumah menghentikan aktivitasnya dan menghampiri sumber suara. Mara yang mendengarnya langsung menghampiri sang suami dan tampak menenangkan suaminya yang diliputi emosi itu.

Halilintar tak peduli dan langsung membalikkan badannya, melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Saat sampai di ujung anak tangga terakhir. Halilintar mendapati Gempa sedang bersandar di samping pintu kamarnya sembari bersedekap dada menatap sinis kearahnya.

"Gue gak habis pikir ya sama lo. Kok ada yah manusia macam lo di dunia ini." Entah menyindir atau mengomentari Halilintar sama sekali tak peduli. Yang ia inginkan sekarang rebahan di kasurnya bukan mendengar celotehan mereka.

Bersambung...

Jangan lupa vote and coment nya

SEE YOU NEXT PART💕

Halilintar A̶r̶g̶a̶n̶t̶a̶r̶a̶ [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now