Peluk Pelikku

5 0 0
                                    

Yang pertama kali Serena lihat saat siuman adalah Lucy yang sedang duduk dekat dengan bangkarnyasambil tertunduk. Dia bisa melihat seberapa kacau Lucy saat ini

Lucy juga sudah putus asa dengan dirinya sendiri.

Seketika penyesalan menyeruak begitu pekat dan pahit di relung hati Serena. Lucy sudah begotu banyak menampung luka seorang diri dan bersikap seolah melupakan semuanya untuk kembali bangkit. Serena akui, selama ini banyak sekali orang yang menganggap Lucy gampang. Lucy juga tidak ingin membuktikan dirinya, tapi dia mati-matian menjaga apa yang harus ia jaga.

Serena masih ingat pertama kali ia menyapa Lucy di taman belakang sekolah. Kala itu, mereka baru saja menjadi murid baru selama seminggu. Saat itu, Serena ingat dia menemukan Lucy di taman pada saat waktu istirahat.

Di saat semua anak-anak memenuhi kantin untuk membeli makanan yang menghantui mereka saat belajar, tidak dengan Lucy. Dia duduk di sebuah saung kecil dan memakan bekalnya yang Serena ingat isinya hanya mie goreng dan nasi. Lucy fokus makan dengan pandangan tertuju pada ponsel yang menampilkan video pelajaran.

Sejak saat itu, hari keesokannya Serena membawa bekalnya dengan makanan yang sama dengan apa yang Lucy bawa kemarin. Mereka saling berbincang dan tidak disangka, mereka sudah di titik di mana ia hampir menghancurkan Lucy. Di titik di mana mereka sudah putus asa atas apa yang terjadi.

Bahkan, Serena tidak berharap banyak jika Lucy mau berteman dengannya lagi. Tapi lagi dan lagi, dia melihat Lucy masih duduk menunggunya sadarkan diri.

"Lo masih mau jadi temen gue?" Itulah kalimat pertama yang Serena keluarkan.

Lucy yang sedari tadi tidak menyadari jika Serena sudah siuman sontak terkejut dan langsung memerhatikan Serena yang ternyata sudah berlinang air mata.

Gadis itu langsung memeluk Serena yang masih "Lo kenapa, sih bikin khawatir mulu! Astaga Serena," ucap Lucy yang langsung menangis. Entahlah kenapa Lucy jadi mudah menangis. Entah karena keadaan yang sedang membuatnya terundang untuk menangis.

"Bahkan lo masih mau peluk gue," ucap Serena di tengah isakan tangisnya.

"Makasih, Ren. Makasih udah mau ngomong yang sebenarnya." Beribu maaf tidak cukup Lucy ungkapkan untuk rasa syukurnya karena Serena sudah berani kenyataan yang sebenarnya. Dia tahu, Serena banyak menyimpan beban frustasi dan trauma seorang diri hingga dia terpaksa untuk menuruti ancaman itu.

Serena sadar, ternyata pilihannya untuk menuruti ucapan Revan tidak menyelesaikan semua sakit. Tapi, menimbulkan luka lain. Serena baru saja merasakan bagimana kemanusiaan baru saja dipertarukan.

Di belakang ada Radeva yang hanya menatap sendu kedua gadis yang bersahabat, merangkul luka mereka sendiri-sendiri tapi genggaman tangan mereka tidak pernah lepas. Entah apa yang akan Revan lakukan lagi, Radeva juga siap berdiri di depan untuk melindungi Serena. Sayangnya, gadis itu tidak pernah terbuka terhadap siapa pun. Boleh, kah Radeva berharap jika Serena menjadikannya seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang bisa menjadi obat untu tubuhnya yang rapuh? Bisakah?

***

Serena tidak lama berada di rumah sakit hanya karena rasa takut berlebihan yang membuatnya tidak sadarkan diri. Dokter memintanya agar untuk datang ke psikolog agar trauma Serena tidak semakin menganggu kesehariannya. Setelah sudah membaik, Serena pulang diantar oleh Radeva. Lucy ingin ikut tapi ditahan Lingga dan Luna karena harus segera mengurus masalahnya.

Bagaimana pun pernyataan Theo bisa memberatkan Lucy. Bukannya membebaskan Mr. Edgar, malah menambah satu korban.

"Boleh ngomong sebentar?" Serena yang hendak keluar dari mobil Radeva, gerakannya terhenti saat mendengar suara pria itu yang terdengar sendu dan lemah dari biasanya. Serena menoleh dan melihat wajah Radeva yang tampak begitu sedih. Dia tahu, kenapa. Tapi memilih pura-pura tidak tahu. Serena memilih tersenyum saja.

"Boleh, Kak," ucap Serena yang kembali mengambil posisi duduk nyaman di kursi penumpang yang sudah Serena nobatkan sebagai kursi penumpang ternyaman. Dengan syarat, yang menyetir Radeva Shankara.

Sebelum mengatakan beberapa perihal pada Serena, ia mengambil sesuatu dari kursi belakang.

"Makan dulu obatnya," ucap Radeva. Masih sama, dan selalu sama. Radeva akan memberikannya satu batang cokelat yang selalu ia katakan sebagai obat utama untuk Serena.

Serena tersenyum senang dan tenang. Cokelat punya keajaiban tersendiri untuk kehidupannya setelah bertemu seorang bernama Radeva Shankara.

"Terima kasih," ucapnya sebelu memakan satu cokelat yang sudah dia potong.Kalian tahu pemandangan apa yang paling Radeva sukai? Ya, benar. Saat Serena benar-benar menikmati cokelat dalam kunyahannya. Itu adalah pemandangan terindah yang pernah Radeva lihat.

"Udah, sekarang Kakak bisa ngomong," kata Serena yang membuyarkan lamunan Radeva yang sedari tadi tidak lepas tatapannya dari Serena.

Sejenak, Radeva menghela napasnya. Entah apa reaksi Serena setelah ia mengatakan apa yang ia pikirkan. Sejauh ini mereka hanya sekedar dekat dan sering menghabislan waktu bersama tanpa ada hubungan khusus yang mengikat mereka. Rasanya masih tidak berhak untuk mengatakan, tapi Radeva merasa harus mengatakannya.

"Serena, bisa bagi luka, lelah, sedih, apapun yang buat kamu harus kayak gini sama aku? Boleh aku juga obtain luka kamu?" Serena terdiam. Dia tidak tahu jawaban apa yang pas untuk pertanyaan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya dai seorang lelaki. Entah dari ayahnya atau kekasihnya yang selalu menyakitinya. Bahkan sampai detik ini.

"Aku udah bersyukur Kakak mau temenin aku. Aku udah senang Kakak mau temanan sama aku. Kalo untuk lebih itu, mohon maaf Kak. Aku tercipta dari badai, Kak. Aku engga mau buat kakak terluka dari badai aku sendiri. Sekali lagi terima kasih, dan aku mohon Kakak terus sama aku sampai Kakak sendiri yang tahu dan lihat badai itu. Setelahnya, aku biarin Kakak untuk pilih menetap atau pergi. Maaf dan terima kasih, Kak. Aku harus pulang dulu, besok masih harus sekolah." Radeva hanya tersenyum, mengangguk, dan melambaikan tangan.

"See you," ucap Radeva yang dibalas lambaikan tangan Serena.

Kini, dia hanya bisa melihat punggung sempit gadis itu menjauh hingga menghilang. Lalu Radeva menghela napas. Memikirkan, entah seberapa kacau, seberapa riuh badai itu hingga membuat Serena mampu lagi melihat pelangi indah.

Sedangkan Serena saat ini. Ia kembali disapa perasaan hampa setiap kali membuka pintu rumah. Tidak ada seseorang pun yang datang untuk menyambutnya atau sekedar bertanya kenapa dia pulang telat, pertanyaan sudah makan apa belum, atau bagaimana hari ini ia menjalani harinya. Tidak ada. Yang ia temui hanya hampa.

Bunyi dering telepon menganggunya. Dia tahu pasti itu ulah Revan.

"ARRGGHHH!' Serena berteriak dengan tangis yang pecah, dadanya naik turun menahan emosi yang begitu membuncah.

"DIAMM! TOLONG DIAM!" Serena melempar ponselnya ke dinding lalu luruh. Kakinya tidak sanggum menahan tubuhnya lagi. Serena hanya bisa meringkuk di lantai seraya menutup telinganya.

"Diam ... tolong ...tolong," lirihnya. Isi kepalanya begitu begitu berisik. Ancaman Revan, video yang memperlihatkan dirinya tanpa busana, dan penyesalan terhadap apa yang dia lakukan pada Lucy, ungkapan Radeva, semua berisik di kepala. Membuat Serena lupa caranya bernapas.

"Tolong ... tolong...Tuhan aku engga sanggup."

Inilah malam yang akan terus membunuh Serena secara perlahan. 

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang