Malming, yuk

6 2 0
                                    

Paksaan Theo membuahkan hasil. Theo berhasil membuat Lucy menunggu di depan pos penjaga gerbang walau dengan muka murung. Sementara lelaki itu harus ke gedung parkiran untuk mengambil motornya. Tidak sampai lima menit, Lucy bisa mendengar suara menggelegar yang berasal dari motor yang sering Theo gunakan ke sekolah. Lelaki itu muncul dengan motor besarnya yang sebenarnya sangat merepotkan jika Lucy harus menaiki motor tersebut. Tapi apa boleh buat, lelaki itu hari ini memaksa menjadi supirnya.

Lucy langsung menaiki motor Theo tanpa perlu menerima uluran tangan yang sudah Theo berikan. “Astaga. Lo kalo jatoh, lumayan loh.”

“Bodo.” Theo hanya terkekeh sembari membuka kemeja seragamnya dan memberikan pada Lucy untuk menutupi pahanya kendati rok yang Lucy pakai hanya sependek di atas lutut. Lucy menerimanya tanpa mengatakan apa-apa.

Lucy masih dengan sikapnya yang cuek, keningnya mengerut heran karena Theo belum menjalankan kendaraannya. “Mau sampe pagi di sini?”

“Malming, yuk. Gue traktir ke mana aja.”

Tidak Lucy sadari jika saat ini dia berususah payah menahan senyumnya. “Dalam rangka?” Keadaan tempat mereka berbincang yang sepi membuat keduanya tampak lebih nyaman saat berbincang. Belum lagi kepribadian mereka yang memang sama-sama tidak pernah menjalin asmara selama enam belas tahun di dunia ini, membuat mereka tidak terlalu memberi batas dalam berteman dengan lawan jenis. Yang terpenting masih di batas sewajarnya.

Belum sempat Theo menjawab, sebuah mobil berhenti di samping kendaraan yang mereka. Dia adalah Kinan. Teman sekelas mereka yang sudah terkenal dengan tekadnya yang masih ingin mengejar Serena.

Cielah udah boncengan aja nih? Kapan jadiannya?” Lucy memutarkann bola matanya jengah. Hubungannya dengan Theo memang sering disalah pahami. Mereka saja yang terlalu bawa perasaan.

“Pas nenek lo kawin lagi,” cetus Lucy menjawab. Kinan yang mendengarnya jelas terkejut.

“Woi! Parah, nih cewek. Nenek gue undah meninggal!” Theo sudah mengerti pola bercandaan yang akan berujung perdebatan panjang ini. Laki-laki itu hanya menggeleng lemah.

“Yaudah, Nan. Gue duluan.” Theo pun melajukan kendarannya meninggalkan perkarangan sekolah.

“Gue sumpahin lo engga bakal dapet Serena!” teriak Lucy sebelum mereka benar-benar menghilang dari area sekolah.

Di perjalanan, tidak ada perbincangan seperti biasanya. Theo yang melihat Lucy diam saja, sedikit kesulitan karena selama ini Lucy yang selalu membangun komunikasi anatara mereka. Ah, benar juga. Mungkin Theo bisa tanyakan ulang perihal ajakan yang sebenarnya dia rencakan secara mendadak. “Jadi gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Lucy kembali yang tidak mengerti ke mana arah pertanyaan Theo. Sedari tadi dia hanya bermenung sambil berbicara dengan diri sendiri di dalam kepalanya.

“Hubungan kita,” jawab Theo. Lucy yang terkejut langsung memukul kepala laki-laki itu. Walau dilindungi helm, Theo tetap tekejut dengan kekuatan Lucy saat memukul kepalanya. “Sinting lo.”

“Lagian, apalagi  sih? Tadi, kan ajakan gue belum dijawab.”

“Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue? Kasian banget sih lu engga punya pacar. Yaudah deh, karena gue temen yang baik dan tidak sombong, gue temenin.” Di dalam helm yang menutupis seluruh wajah Theo, laki-laki itu tersenyum bersyukur jika suara Lucy sudah kembali berisik dan menghantui gendang telinganya.

“Bilang aja lo mau makan gratis.”

“Tuh, tau.”

“Yaudah, ke rumah lo dulu.”

“Hah? Ngapain? Langsung aja kali.”

“Satu, izin ke mama lo. Kedua, ganti baju lo.” Lucy tidak tahu mengatakan apa-apa lagi saat Theo mulai mempercepat laju motornya.

Tunggu. Dari mana Theo tahu jalan ke rumahnya?

***

Biasanya, Lucy akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya. Dia harus menunggu ojol atau naik bis. Hanya dua kemmungkinan itu karena itu yang paling mencukupi kantongnya. Awalnya juga Lucy gengsi karena hanya dia seorang yang masih menggunakan angkutan umum. Tetapi, lama kelamaan dia mulai berani dan berjanji dengan dirinya akan membayar semua yang ia dapatkan di masa remajanya yang berusaha untuk memperbaiki kehidupannya.

Hidup di kelas menengah bukanlah kesalahan, tapi ketika bergerak di tempat di situlah titik kesalahan yang fatal.

Kini mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Lucy. Tetapi gadis itu masih berdiri di depan rumahnya yang bergaya mininalis, memiliki taman kecil yang di tengahnya ada lampu taman yang sudah menyalah karena hari yang sudah hamper gelap. Rumah yang didominasi warna putih. Memiliki teras yang sempit. Di teras itu, terdapat pula satu meja yang panjangnya satu meter setengah yang Bunda Lucy gunakan untuk berjualan kue di pagi hari.

Rumahnya tidak besar, sampai-sampai suara kedua adik kembarnya yang sedang bermain di dalam rumah, terdengar hingga keluar. Lucy terkekeh sejenak. Di satu sisi rasanya begitu memalukan, tapi juga mampu menghangatkan hatinya.

“Kenapa engga masuk? Ayo, gue mau ketemu mama lo.”

“Bunda, bukan mama,” elak Lucy. Dari seluruh hal di dunia yang ia sukai, panggilan bunda adalah hal yang paling ia sukai. Karena, setiap menyebutkannya dia selalu merasa bersyukur lahir di dunia.

“Yaudah, bunda. Ayo, masuk,” ajak Theo yang sudah membuka gerbang rumah Lucy yang hanya sebatas pinggang Theo.

“Bentar. Gue mau diem dulu.”

“Ngapain?”

“Gue engga pernah pulang sekolah dengan keadaan badan gue seringan ini,” ujar Lucy diselingi tawa.

“Setiap pulang gue selalu kecapean kayak mau mati, The. Sesekali gue hirup nih udara.” Theo hanya terdiam. Lucy sudah berjuang sekeras itu ternyata. Dan gadis itu menyembunyikan semuanya dengan sikapnya yang selalu riang.

Jika saja anak kelompok belajar melihat ini juga, sepertinya mereka akan dihantui rasa bersalah.

Tiba-tiba saja, Bunda Lucy keluar dari dalam rumah. “Heh! Ngapaian di depan rumah begitu? Engga salah rumah kok.” Lucy yang mendengar suara bundanya langsung tersenyum, membuka pintu pagar dengan melewati tubuh Theo untuk mendekati sang bunda.

Theo masih diam di tempatnya. Menikmati semburat kehangatan yang terpajang langsung di hadapannya. Hal yang tidak Theo mengerti mengapa terasa begitu hangat. Semua ini tidak pernah tergambarkan dalam bayangannya selama dia mempelajari banyak hal.

Lucy yang memeluk bundanya, tapi sang bunda fokus pada sosok lelaki yang tingginya 170 sekian yang berdiri di luar pagar rumahnya tampak termenung. “Itu siapa, Cy?” tanya Bunda Lucy.

“Hah?” Lucy sontak menoleh ke arah tuju mata sang bunda menatap. “Oh, itu Theo.”

“Theo! Sini katanya mau ketemu Bunda!” Theo yang diteriakan langsung tersadar  jika dia sedang termenung.

“Ouh, iya.” Theo langsung mendekat dan tersenyum ke arah Bunda Lucy. “Halo, Bun.”

“Anjir,” umpat Lucy yang terkejut dengan ucapan Theo barusan. Baru saja ketemu, sudah seenaknya panggil bundanya dengan panggilan yang sama.

***

Di bawah langit yang sama, di tempat yang berbeda. Saat ini Ian berada di sebuah restoran mewah yang sudah dipesan seseorang untuk tempat mereka bertemu. Yang memesan tempat itu adalah Jaksa Afkar.

“Kapan kasus ini terjadi?” tanya Jaksa Afkar pada Ian yang sedang membicarakan perihal kasus kematian sang kakak.

“Untuk apa?”

“Bukannya kau yang membiarkan Mr. Jacob mati karena dendammu ini?”

“Benar.”

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang