Warna Rubik

11 1 0
                                    

Sepanjang waktu pembelajaran, Lucy tampak murung. Pikirannya terpecah ke mana-mana. Soal Gavin, Mr. Edgar yang entah bagaimana nasibnya, Kakak Ian yang belum dia ketahui apa hubungannya dengan mendiang Mr. Jacob, lalu Serena yang mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari Revan.

Wajah kusut itu menimbulkan pertanyaan bagi Theo. “Dia kenapa? Serena mana, ya? Bukannya tadi bareng sama Lucy, ya?” Karena tidak ada yang tahu, tidak ada pula yang menjawab. Yang tahu juga Ian. Dia terlalu malas menjawab. Lelaki itu hanya fokus merapikan buku dan alat tulisnya agar bisa pulang lebih cepat.

“Lucy, cepetan,” ucap Ian saat melewati Lucy yang belum selesai membereskan meja belajarnya.

“Gue gak jadi pulang sama lo.” Ian yang sudah di ambang pintu mendadak berhenti saat telinganya bisa mendengar jawaban Lucy. Sontak lelaki itu berbalik dan menatap datar Lucy seperti biasanya.

“Gara-gara Serena? Serena udah sama si Dev. Tenang aja lo.”

“Kok lo—“  

“Ini juga ada kaitannya sama pacar Serena. Bocahnya udah aman. Sekarang, lo mau tau apa enggak?” Ian langsung pergi tanpa harus menunggu jawaban Lucy. Dan benar saja, gadis itu langsung mempercepat gerakannya dan mengejar Ian.

“Woi! Ian tunggu!”

Tidak mereka sadari kalau percakapan singkat mereka, menyita banyak perhatian beberapa  orang yang masih di dalam kelas. Menatap tidak suka ke arah Lucy. Mereka sudah berspekulasi kalau Lucy itu memiliki hubungan cukup dekat dengan Theo. Yang jelas mereka melihat interaksi mereka lebih dari sekedar teman. Dan melihat Lucy yang  tampak begitu dekat dengan Ian, membuat memikirkan hal buruk tentang Lucy.

“Orang miskin dikasih tempat enak jadi engga tahu diri tuh, begitu,” sindir Brian. Salah satu murid kelas A

“Orang miskin emang begitu pasti  nyari yang kaya, lah! Biar untung,” cibir salah satu teman perempuan Brian.

“Minimal dia engga miskin attitude. Like you. And … Cheryl. Watch your mouth. Gue tau kelakuan lo di bar punya pacar lo itu,” ungkap Theo yang sontak membuat mereka terdiam.

“Lo kenapa, sih belain dia? Pacar lo? Kalau memang iya, harusnya lo curigain dia!” teriak Cheryl yang tak terima dengan ungkapan Theo. Teriakan itu langsung menghentikan langkah Theo yang hendak keluar dari ruang kelas.

“Gara-gara lo gue tolak, lo bisa seenaknya berspekulasi soal cewek yang deket sama gue even you don’t know my relationship with her actually. Dan liat sikap lo, gue rasa keputusangue bener. Dengan begitu saja, Theo sudah membuat Cheryl mati kutu.

Selama ini tidak ada yang mengetahui kalau Cheryl pernah mengajak duluan Theo untuk berpacaran. Dan saat ini Theo membongkarnya dengan sangat mulus. Meninggalkan rasa malu yangbegitu pekat untuk Cheryl.

***

Di tempat lain, tepatnya di sebuah café yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Rencana awal Ian dia hanya ingin mereka singgah di café seberang sekolah. Akan tetapi, karena kawasan sekolah mereka adalah kawasan elit, Lucy tidak mau karena itu hanya akan menghabiskan uang jajannya hanya untuk segelas minuman. Ian juga sudah menawarkan dirinya untuk membayar, tapi Lucy tidak mau. Katanya dia tidak tahu harus membalas budi Ian pakai apa nantinya.

Berakhirlah mereka duduk di sebuah café tempat teman Lucy bekerja. Katanya tempat langganan Lucy saat suntuk jika mengerjakan tugas di rumah. Tempatnya tidak terlalu buruk. Tempatnya bersih dan nyaman. Hanya saja, tempatnya dekat sekali dengan jalan raya yang begitu ramai.

“Jadi kita mulai dari mana?” tanya Lucy.

“Soal kakak gue,” jawab Ian yang tatapan matanya masih ke arah laptopnya.

“Oke. Lanjut.”

“Waktu kakak gue udah kasih suntikan dana, beberapa bulan kemudian dia meninggal. Semua ngiranya sakit, tapi keluarga gue minta autopsi. Dan ya, ada bekas suntikan yang gue rasa itu sejenis racun.”

“Tapi kasus kakak gue engga ditindak lanjuti. Mereka nutupin kasus itu dengan nyelenggarain program beasiswa. Lo termasuk yang dapet,” sambung Ian. Lucy mencoba tetap fokus walau rasanya tidak percaya jika saat ini Ian berbicara dengan runtun kata yang begitu banyak.

“Hubungannya sama Mr. Jacob apa?” tanya Lucy.

“Program ini dikasih judul besar, hasil dari donatur Mr. Jacob, right?” Lucy sontak mengangguk.

“Dan lo tau? Mr. Jacob itu salah satu perencanaan pembunuhan ini. Ada dua orang lagi yang engga gue tahu. Dan juga gue belum ketemu data sebanyak apa  uang yang kakak gue kasih sampe harus segininya.”

Lucy bisa melihat sekelibat kemarahan yang berusaha ia tahan. Lagi-lagi dia tidak pernah tahu jika sosok yang Lucy anggap hanya tinggal belajar tanpa memikirkan banyak hal, ternyata menyimpan sisi kelamnya tersendiri.

Hari ini Lucy banyak belajar ternyata sebagai manusia ada baiknya kita tidak berpekulasi hidup seseorang dengan apa yang kita lihat dari satu sudut saja. Ada banyak sudut yang tertutupi oleh baying-bayang.

“Jadi … dana yang dipake Mr.Jacob pakai untuk donasi itu, uang yang sebenarnya dana dari kakak lo?”

“Hanya sebagian. Buktinya, calon beasiswa yang mereka terima cuma lima orang. Really? Harus bunuh orang cuma karena dana buat lima orang? It doesn’t make sense, Lucy.” Lucy mengangguk setuju. Ada benarnya. Orang besar untuk mereka, nominal donasi hanya untul lima orang itu bukan seberapa.

“Kakak gue engga sebercanda itu cuma ngasih dana untuk lima orang di sekolah segede Ukiyo. Dikira kakak gue miskin.”

“Ya santai aja ngab!” Lucy tidak percaya saat sedang serius-seriusnya, Ian masih saja membuatnya kesal.

“Oke. Sebelum itu, gue rasa pasti untuk hal sepenting ini, kakak lo pasti bikin tim atau rapat dengan beberapa pihak, dong ya harusnya,” ucap Lucy yang diangguki oleh Ian.

“Ya. Gue lagi coba keluarin dia dari kandangnya. Sedikit bersyukur Revan nyakitin Lucy,” ucap Ian yang membuat mata Lucy melotot marah.

“Wah! Anjing juga lo!”

“Dunia emang jahat, Lucy. Tinggal dilanjutin aja. Udah, intinya dari kejadian Revan sama Serena gue bisa jadiin itu bikin dia keluar dari kadang. Terlebih, gue salah satu yang nyangkut di kasus Mr. Jacob. Jadi, gue bisa nyerang Jaksa Afkar yang jelas-jelas deket sama dia, dan nyerang dia dari Revan.

“Siapa sih emangnya?”

“Anggota dewan,” jawab Ian.

“Hubungannya sama Revan apaan?” tanya Lucy lagi.

“Dia anaknya. Kita harus bongkar ini sebelum kasus Mr.Edgar kelar. Anggap aja gue lagi memanfaatkan situasi. Sejauh ini, cuma lo yang tahu kasus ini.” Lucy sontak menutup mulutnya kaget. Ian benarr-benar nekad dan gila. Untung dia pintar.

Dari Ian, Lucy paham gila belum tentu tidak pintar.

Semuanya seperti kubik dengan warna yang masih berantakan. Mereka harus membolak-balik rubik agar seluruh warnanya menjadi senada dan benar. Hanya saja, kecepatan mereka akan mempengaruhi karena mengerti rumus rubik saja itu tidak cukup. Butuh kecepatan untuk memenangkan rekor.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada yang mendengarkan percakapan mereka. Dia langsung beranjak dari bangkunya setelah menemukan jawaban yang sudah ia dapatkan.

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang