Ditemukan

8 2 0
                                    

Hari senin memanglah hari yang patut diberi penghargaan sebagai hari yang paling dibenci. Theo meminta semua anggota kelompoknya datang sebelum matahari terbit ke sekolah. Katanya dia harus menemukan laptop itu sebelum sidang pertama Mr. Edgar yang terjadwal lusa depan.

Setelah hari minggu singkat, tetapi terasa menjadi begitu panjang dan menyulitkan, Lucy harus kembali menghadapi masalah yang secara tidak langsung ikut berjalan. Karena hari masih sangat gelap, Lucy memilih untuk memesan taksi untuk berangkat ke sekolah. Dia bisa tenang karena dia memakai uang Theo. Usahanya memaki lelaki gila itu di tengah malam, sedikit membuahkan hasil.

Di dalam perjalanannya, Lucy jadi banyak berpikir. Kenapa semua pergerakan mereka sangat lambat? Seperti ada seseorang yang sengaja membuat perjalanan kasus ini melambat. Tentu ini bukan hal yang tidak disengaja. Tapi, pertanyaannya siapa?

Lucy menghela napas sambil membuka laptop tuanya untuk menyiapkan perangkat yang memadai ketika meretas nanti. Kalau meledak, Lucy tidak perlu khawatir. Dia punya lima teman yang harus diuji apakah berguna untuknya atau tidak. Paling tidak mereka banyak uang hanya untuk satu unit laptop. Itu tidak akan merusak grafik keuangan mereka.

Di sisi lain, Ian sudah sampai lebih awal karena sejak semalam dia memang memiluh tidak tidur. Memerhatikan laptopnya sepanjangan malam usambil berpikir sampai hari  yang mulai menemui pagi.

“Ian? Udah lama?” Seseorang baru saja masuk ke dalam markas mereka, memecahkan perhatian Ian yang awalnya ke arah laptopnya, kini tertuju pada orang itu. Gavin.

“Setengah jam yang lalu.”Gavin mengangguk dan memilih mengambil tempat duduk di hadapan Ian.

Suasana masih sangat sunyi dan tidak ada yang mau membuka suara masing-masing. Sampai akhirnya, Gavin yang memulai percakapan di antara mereka. “Kenapa lo mau ikut Theo ngerjain kasus ini.”

Ian tidak langsung menjawab, tetapi matanya sudah menatap Gavin cukup serius dan penuh akan makna yang tak mudah terbaca. “Gue mau buka kasus kakak gue,” jawabnya singkat. Gavin hanya menyerengit tidak mengerti. “Lo ngapain?” tanya Ian.

“Murni bantu aja, sih,” jawab Gavin. Dia sama sekali tidak menatap Ian walau lawan bicaranya begitu menatapnya begitu lekat.

“Kenapa lo engga dateng di hari pertama setelah Mr. Jacob tewas, Vin?” tanya Ian yang langsung membuat Gavin menoleh ke arahnya. Ruangan yang tidak begitu besar ini dengan penerangan satu lampu saja, seketika terasa begitu dingin ketika mereka saling bertatapan. Seolah keduanya sedang perang dingin dari balik mata masing-masing.

“Lo lagi curigain gue?”

“Lah? Lo ngerasa? Emang apa yang lagi lo sembunyiin sampe ngerasa begitu?”

“Kan, gue udah bilang sama Lucy  gue izin karena ada acara.” Penjelasan Gavin diangguki pelan oleh Ian.

“Saran gue, kalo lo emang mau bantu … tolong jangan bermain di belakang kelompok ini. Gue engga nuduh lo, tapi ada satu kondisi di mana kita engga bisa percaya siapa pun. Dan itu berlaku lo ke gue.” Gavin terdiam. Dia tahu jika Ian adalah orang yang memiliki sifat kaku dan serius. Hanya saja, aura yang Ian keluarkan saat ini begitu beda. Di tempat yang sunyi, belum terdengar banyaknya hiruk pikuk di area sekolah yang suaranya mampu menembus dinding ruangan, bisa Gavin rasakan jika Ian mengeluarkan sesuatu yang berbeda dari dirinya.

“Gue akan serius seratus persen untuk kasus ini. Karena ini menyangkut kakak gue yang meninggal karena dibunuh, ini soal beasiswa yang kakak gue –“

“Jadi program beasiswa itu, idenya dari kakak lo?” Keudanya terkejut saat mendengar seorang yang datang dengan suara yang begitu besar. Memecahkan keheningan dan keseriusan keduanya. Ian yang memang tidak suka diganggu, hanya bisa memejamkan matanya sambil menggesek giginya  hingga menimbulkan suara.

Siapa lagi orang itu, kalau bukan Lucy Madeline. Gadis luar biasa yang hadir di tengah-tengah mereka. Dia akan memecahkan apa saja, termasuk suasana.

“Lo bisa gak, sih balik ke modelan hari sabtu. Sehari kuping gue tenang.”

Lucy mendengus sebal. “Lo temenan sama gue karena apa, Ian? Kalo lo ngerasa keganggu, gue pergi. Tapi, kali ini gue kesampingin perasaan gue demi ini kasus. Gue butuh soal beasiswa itu, gue rasa--”

“Ikut gue,” potong Ian yang langsung beranjak dari bangkunya dan pergi keluar dari ruangan. Lucy hanya melihat mendengus seolah tidak memperdulikan Ian. Tapi tiba-tiba tangannya ditarik paksa oleh Ian keluar dari ruangan.

“Ribet,” gerutu Ian yang masih menarik tangan Lucy ke tempat yang aman untuk mereka berbincang.

“Lo! Ngapain narik-narik gue. Gue ada pelet. Kalo kena, mampus lo!” Lucy benar-benar dibuat kesal dengan pria yang satu ini. Sesuka hatinya saja, datang kalau ada perlunya, Ian Cooper benar-benar lelaki terburuk yang pernah Lucy temui.

***

Semuanya sudah berkumpul. Tidak ada perbincangan apa-apa karena sudah tahu apa yang harus di lakukan. Lucy mulai berkutat dengan laptopnya, bermain dan bilangan biner dan enam teknik pokok yang seorang peretas harus miliki.

Wajah Lucy yang begtu fokus, terkadang menyerengit, lalu tampak santai, melihat catatan yang masih setia di sampingnya. Semua yang melihat pemandangan itu, merasa tidak percaya jika Lucy bisa jadi manusia seserius itu. Dan siapa sangka? Lucy yang sering bersikap tidak jelas itu bisa meretas sistem.

“Jangan heran, ya. Lucy emang ada kelainan kepribadian ganda. Untungnya satu kepribadian ada guna.”

“Mulut lo, Serena,” tegur Lucy tanpa menoleh ke arah pelaku. Nada dingin yang Lucy lontarkan pada Serena, membuat gadis itu reflek menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Ian tidak mementingkan apa yang sedang Lucy kerjakan. Ia berkutat dengan isi kepalanya sendiri perihal ucapan Lucy yang mengatakan beberapa kemungkinan yang terjadi.

Okey I got it,” ucap Lucy yang membuat seluruh pandang tertuju padanya. Dan Lucy hanya tertawa jika tersangka masih berada di dalam lingkaran mereka.

“Gue kasih tahu, laptopnya udah pernah diretas. Sekarang lokasinya engga jauh dari sini. Termasuk pelakunya.”

“Siapa?” tanya Theo. Lucy menguap terlebih dahulu. Beberapa hari ini jam tidurnya benar-benar kacau. Kesibukannya melebihi seorang presiden sampai-sampai tidak bisa membantu bundanya berjualan.

“Gavin, lo mau ngaku atau gue bongkar semuanya?”

“Hah?!”

Worst Class Donde viven las historias. Descúbrelo ahora