Dokter Palsu

8 2 0
                                    

Usai pagi yang menegangkan, mereka kembali dihajar oleh ulangan harian matemarika yang sudah dijamin sembilan puluh sembilan persen penduduk bumi mengakui jika pelajaran itu memiliki efek yang mematikan.

Karena itu, Lucy dan Serena yang merasa kepala mereka akan meledak, memutuskan untuk menenangkan kepala mereka dengan duduk di rofftop sekolah. Lucy memilih memakan semangkuk ramen dan gorengan. Sedangkan Serena selalu membawa makanan dari  rumah dengan alasan diet.

Untuk Lucy ini tempat paling bagus dari seluruh ruangan yang pernah ia jamah di School of Ukiyo. Sepi, angin berembus kencan, dan menenangkan. Walau terasa sedikit lebih panas. Itulah yang Serena tidak suka walau tetap ikut akibat paksaan Lucy.

“Enak, kan di  sini?” tanya Lucy sebelum kembali memakan ramen yang sudah diapit dengan sumpitnya.

“Panas! Anjir!” gerutu Serena sambil mengunyah makanannya. Lucy tertawa saat melihat Serena yang sudah basah dengan keringat.

“Sensasinya lebih seru di sini,”ujar Lucy.

Seraya mengunyah, Lucy sejenak memerhatikan Serena yang sedang fokus pada makanannya. Matanya menyipit untuk memastikan apa yang baru saja ia lihat. Lucy mencoba mendekat ke arah leher Serena dengan kening yang berkerut. Dari dekat, Lucy sudah melihat dan tahu apa yang ada di leher Serena. Sontak Lucy langsung menelan habis ramen di mulutnya dan membanting pelan mangkuk yang sedang ia pegang.

Lucy memajukan  sedikit badannya dan menarik tangan Serena juga agar mendekat. “Sini gue liat. Ini apaan!” Lucy rasanya ingin meledak kala itu juga. Dia menghapus foundation yang meenutupi luka lebam di leher Serena. Sedangkan gadis itu sudah terkejut dengan apa yang sedang Lucy lakukan.

Serena mencoba mendorong tubuh Lucy agar menjauh. Tapi tatapan intens dan terbaca yang gadis itu layangkan padanya, sontak membuat tubuh Serena membeku tak berdaya. “Siapa yang lakuin ini sama lo, Na? Sampe gue nggak tahu?” Suara Lucy bergetar akibat tidak sanggup melihat luka lebam seperti cekikan di leher Serena. Darahnya mendidih melihat hal itu.

“Revan?” tanya Lucy dengan nada bicara yang sengaja ia rendahkan.

Mendengar nama itu dalam situasi sepeerti ini, membuat Serena langsung luruh. Gadis itu menangis hebat dan tubuhnya bergetar ketakutan. Yang Lucy bisa lakukan saat ini, hanyalah memeluk tubuh Serena.

“Lu-lucy tolong gue,”  lirihnya disela isakan tangis. Bisa Lucy dengar suara putus asa, tidak tahu harus apa, cinta Serena yang terlanjur begitu besar untuk Revan yang ternyata berbuat kasar padanya, rasa takut yang sudah lama ia bending sendirian. Lucy bisa merasakan semua itu melalui isak tangis Serena.

“Putusin dia, Ren. Putusin, ya? Dia udah keterlaluan, Serena.”

“Gue engga tahu harus apa, Lucy. Gue engga tahu!”

Ternyata selama ini sosok yang begitu santai saat belajar, menikmati dirinya yang menjadi public figur.Ternyata sedang menutupi hal yang begitu besar. Saat ini, Lucy harus menenangkan Serena hingga ia bercerita kenapa semua hal ini terjadi. Dan tidak akan membiarkan Revan lepas begitu saja.

***

Bel berbunyi. Saatnya semua siswa harus masuk kelas. Lucy datang sendirian setelah mengantar Serena ke UKS. Sistem UKS di sini juga tidak bisa dibilang main-main. Jika siswa mereka ada yang sakit, pihak sekolah langsung menghubungi dokter pribadi keluarga yang sudah dimintai datanya sejak pendaftaran masuk. Akan tetapi, kali ini Serena memohon untuk membantu gadis itu untuk tidak mendatangkan dokter pribadi keluarganya. Sedangkan Lucy tidak memiliki embel-embel semacam itu. Dia cukup memiriskan dirinya yang setiap sakit hanya memakan obat warung.

Untungnya, saat Lucy hendak keluar, Ian lewat. Tentu Lucy langsung mencegat jalan Ian dan meminta bantuan pada laki-laki itu. Tidak mau terkena masalah juga, Ian memutuskan menghubungi kakak sepupunya— Radeva Shankara— yang juga berprofesi sebagai dokter. Dokter pura-pura maksudnya. Ian meminta kakak sepupunya­ itu berbohong saja ketimbang pihak sekolah langsung menghubungi dokter pribadinya.

Tenang saja, kakak sepupu Ian pernah kuliah di jurusan kedokteran hingga semester empat sebelum lari ke dunia bisnis.

Lelaki berusia dua puluh tiga tahun yang sering disapa dengan nama Dev itu, hanya duduk terdiam di hadapan Serena yang duduk di ranjang, hanya menunduk menutupi malu dengan penampilannya yang kacau di hadapan lelaki yang tidak dia kenal. Dalam pikiran Serena, pasti Radeva saat ini sedang jijik dengan keadaannya. Gadis SMA yang tampak seperti perempuan murahan.

Tidak seperti yang terjadi di rooftop saat bersama dengan Lucy. Setelah dari sana, mereka ke kamar mandi untuk menghapus semua foundation yang menutupi sebagian lukanya. Ada banyak lagi yang tidak bisa Serena tampakkan saat ini. Saat ini leher, tangan, kaki, pelipis, sudut bibir. Semuanya penuh dengan luka lebam.

Radeva tidak seperti yang Serena pikirkan. Lelaki itu memilih diam karena dia tidak habis pikir jika seorang gadis SMA harus menutupi semuanya ini seorang diri. Dia terlalu terkejut dan takut jika saja saat dia memeriksa Serena, gadis itu malah semakin ketakutan. Dalam diamnya, Radeva berpikir keras.

“Emm … hai?” sapa Radeva tidak yakin. Niatnya hanya mencairkan situasi. Selama empat semester belajar di kedokteran dia belum pernah belajar menghadapi pasien. Atau memang dia yang tidak mempelajarinya.

“Kakak kalo jijik lihat aku, boleh pulang aja, Kak. Maaf repotin Kakak.” Ungkapan paling pedih yang pernah Radeva dengar. Bahkan pengakuan pacarnya yang hendak menikah dengan laki-laki lain saja, tidak sesakit ini.

Radeva tersenyum tipis. Menaikkan kacamata yang bertengger di batang hidungnya. “Siapa emang yang bilang begitu? Engga, kok! Masa perempuan cantik begini aku jijik.” Yang satu ini tidak termasuk prosedur dalam melayani pasien, akan tetapi memang Radevanya saja yang punya pangkat buaya darat di pundaknya.

“Dari tadi aku lagi periksa kamu. Ouh iya, nama kamu siapa?” tanya Radeva.

“Serena, Kak,” jawab Serena yang sudah mau menatap Radeva di hadapannya. Melihat bagaimana laki-laki dewasa itu sedang memberikan afeksi pada dirinya agar menjadi lebih nyaman.

“Hai Seren! Aku Radeva. Panggil Dev aja,” ujar Radeva dengan senyuman manisnya dan melambaikan tangan ke arah Serena seolah gadis itu masih anak kecil. Sukses membuat Serena tersenyum dan membalas lambaian Radeva.

“Seren, tadi aku udah periksa kamu. Sekarang kita harus jemput obatnya,” kata Radeva dengan tampang sok serius melihat ponselnya.

“Apa, Kak?”

“Cokelat. Kita harus cari cokelat.” Serena menyerengit tidak meengerti apa korelasi obat dengan cokelat yang sedang Radeva bicarakan.

Radeva yang paham dengan wajah kebingungan Serena, langsung menyambung kalimatnya.”Penanganan awal itu, kamunya harus aku bikin bahagia dulu. Jadi, mood-nya biar bisa bagus lagi, pakai cokelat.”

Lelaki itu benar-benar menekuni profesinya sebagai dokter palsu.

Worst Class Where stories live. Discover now