Keluarga

10 0 0
                                    

Sarah seperti patung di depan rumah. Tidak berkedip, tidak terlihat sedang menarik atau mengembuskan napas, dan tubuhnya tidak menandakan ada pergerakan apapun saat melihat anak pertamanya berdiri di depan pintu dengan tatapan takut, sedih, dan rindu yang menyatu di binarnya.

Luna yang melihat reaksi bundanya, gadis itu menggigit bibirnya sendiri. Merasa jika pilihannya untuk kembali ke rumah adalah kesalahan. Lingga hanya berdiri di belakang. Dia juga tidak mampu mengatakan apa-apa. Tapi, saat melihat tangan Luna gemetar bukan main.

"Everythings gonna be okay," ucap Lingga pelan dan mendadak bibir Luna bergetar.

Rasanya ingin sekali memanggil wanita yang menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam dengan panggilan kembali. Tapi ketakutannya sangat memuncak hingga kata-kata itu hanya ia sebut di dalam hati.

Sarah mengerti. Dia juga melihat putrinya yang terlihat sangat gugup dan takut. Walau jantung Sarah saat ini berdebar begitu kencang, dalam hati dia hanya merapalkan rasa syukur ketika bisa melihat anaknya kembali dengan keadaan yang sangat baik. Seketika rasa kecewa itu tidak iapikirkan kembali. Luna yang datang padanya, adalah hal yang paling ia syukuri.

Sang bunda tersenyum getir, saat mengedip air matanya langsung luruh begitu saja. Tidak ada yang tahu pasti apa perasaan yang saat ini sama-sama mereka rasakan. Luna juga ikut menangis saat melihat ibunya menangis. Apa yang Lucy katakan, ternyata memang benar. Dia harus sujud di kaki ibunya.

"An-anak Bunda udah pulang? Biasanya kalau baru pulang, peluk Bunda." Sarah merentangkan tangannya, siap menerima kapan saja Luna akan kembali berlari ke pelukannya.

"Kakak enggak mau peluk Bunda?"

"Bunda," rintih Luna yang tangisnya langsung pecah dan segera berlari ke pelukan sang bunda yang selalu menjadi tempar ternyamannya. Entah sedewasa apa dunia membentuknya, tapi Luna masih seorang anak kecil untuk bundanya.

"Maaf Bunda, maafin Una Bunda." Sarah menggeleng lirih sambil mengusap rambut Luna penuh sayang. Memastikan jika yang saat ini ia peluk adalah Luna Madeline putrinya.Bukan halusinasi yang selama sering menghantuinya.

"Gapapa, Nak.Una baik-baik aja, kan tapi? Gak kenapa-kenapa kan, Nak?"

"Una baik-baik saja, Bun."

Seharusnya keluarga bisa dijadikan sebuah kejaiban dunia. Keluarga, satu kata yang sangat komplek dan di mana sebuah karakter individu terbentuk. Untuk Luna, keluarga adalah keajaiban dalam hidupnya. Selama dia hidup dua puluh dua tahun di dunia, tidak ada seorang yang masih mau memeluknya saat kesalahan fatal telah ia lakukan. Tidak ada yang bisa menerima buruknya selain keluarga.

Juga, menciptakan dirinya yang menjadi lebih kuat dengan kepergian sang ayah dari lingkaran keajaiban itu. Sedikit merusak akal sehatnya, dan seketika merubah dirinya tanpa ia ketahui. Terkadang keluarga juga bisa membunuh tanpa perlu menusukkan pisau ke jantung. Luna menemukan keduanya dalam keluarga. Satu sisi ia meras aman, terkadang juga ada sisi dirinya yang terbunuh.

Layaknya magis, keluarga bisa merubah apa saja sesuai dengan mantra apa yang dilantunkan.

***

Siang menjelang sore, saat ini Serena sedang seorang diri. Dia menggunakan kursi roda untuk duduk di depan kaca besar di kamar rawatnya saat ini. Menatap jalanan yang masih saja riuhnya sejak siang tadi juga gedung-gedung yang berdiri gagah. Tapi bukan itu yang istimewa, langit yang menguning, matahari yang sudah menguning pula seperti sedang menyampaikan selamat tinggal adalah hal yang selalu membuat Serena selalu tenang dalam diamnya.

Kini ruangannya sunyi. Akhirnya dia bisa menunjukkan wajah aslinya saat ini. Tidak sama seperti Serena yang selalu tersenyum. Paling tidak orang akan mengira jika dirinya adalah orang yang kuat. Yang ada saat ini adalah seorang Serena dengan tatapan putus asa, air matanya menetes satu per satu, dan tangannya masih saling menangkup. Meredakan dingin tangannya.

"Gue harus apa?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Masih terekam di kepala suara sang ibu yang tidak mau membawa kasus dirinya saat tahu jika permasalahan ini diawali oleh Revan. "Padahal, Mama yang minta aku pacaran sama dia."

Tidak lama kemudian, Serena dikejutkan dengan seseorang yang masuk tanpa mengetuk pintu. Serena masih tidak bisa menoleh tapi dari bunyi langkahnya saja Serena sudah tahu itu siapa. Serena tersenyum kecut saat menyadari jika dirinya sudah begitu rusak oleh sosok itu.

"Sayang, aku ke sini bawa banyak makanan kesukaan kamu, nih. Ada buang anggur juga. Tadi juga aku ke Harvest beli kue."

Mendengar ucapan Revan, membuat hatinya seperti tercabik-cabik. Dia berbicara seolah nyawanya yang terancam bukanlah hal yang serius. Seolah semua kesalahannya bisa dibayar dengan uang. Serena tidak mampu menjawab, melainkan tangisnya hingga bahunya bergetar. Dia benar-benar sudah begitu tertekan tapi dia juga tidak bisa mengatakan apapun.

"Sayang?" Merasa ucapannya tidak dijawab dengan sang kekasih, Revan menghampiri sang kekasih.

"Kamu kenapa nangis? Kan udah gapapa. Bentar lagi juga sembuh." Serena langsung tersenyum dan menatap Revan dengan tatapan seakan semua ini bukanlah apa-apa. Bersikap jika cintanya pada Revan jauh lebih besar walau Serena di dalam sana sudah mati.

"Aku denger temen kamu ke sini dan mau nuntut aku." Serena tidak bisa mengatakan apa-apa karena saat ini ia takut. Dan dari mana Revan bisa mengetahuinya?

Revan memegang pundak Serena dari belakang dan sedikit membungkuk untuk menyamaratakan mulutnya dengan telinga Serena. "Kalau mereka bertindak jauh, kamu kasih tahu ya apa konsekuensinya. Dan aku kasih tahu sama kamu ..." Revan menekan pundak Serena kuat hingga Serena benar-benar terisak kesakitan karena banyak luka Serena yang belum benar-benar membaik.

"Revan sakit!"

"Ingat, ya Serena Grace. Mama kamu aja engga bisa bela kamu, sayang. Jadi ..." Revan kembali menekan lebih kuat hingga Serena teriak kesakitan.

"Jangan macam-macam, ngerti."

"Iya Revan, iya. Tapi lepasin!" Usai Serena berteriak, tiba-tiab saja Revan mendapatkan satu mata tinju tepat di rahangnya.

Itu adalah Radeva yang datang dengan wajah memerahnya. "Oh ini dia cowok biadap itu. Serena bisa lo bikin diem, tapi lo kira gue bakal diem aja? Kalau Serena engga bisa ada buat dirinya, gue bisa ada buat dia!"

"LO SIAPANYA BANGSAT!"

"Gue kakaknya." Satu hari Radeva kacau, bahkan mendengar cerita Ian atas keadaan Serena saja sudah membuatnya takut tidak sanggup melihat gadis itu.Tapi, saat dia datang pitamnya naik dengan apa yang Radeva lihat bagaimana Revan memperlakukannya.

"Kalo lo engga mau malu, lo keluar."

"AWAL LO YA!" Raven langsung keluar dengan wajah kesal sambil memegang pipinya yag sakit akibat pukulan dari Radeva.

Radeva itu tidak lagi mempedulikan Revan, dia langsung melihat keadaan Serena yang sejak tadi menangis tidak berhenti.

"You okay right now. Tenang ada aku." Bukannya semakin tenang, Serena malah semakin menangis kencang.

"Aduhh kok malah tambah nangis," ucap Radeva yang membuatnya jadi panic sendiri.

"Makasih, Kak. Makasih udah mau jadi kakak aku." Memiliki kakak, adalah mimpi kecil Serena selama ini. Setiap hari dia mendamba bagaimana jika dia memiliki seorang kakak yang akan menjadi tempatnya mengadu dan akan melindunginya. Berani menghajar siapa saja yang berusaha mengganggu dirinya. Itu adalah angan-angan kecilnya yang Radeva wujudkan. Setidaknya Serena masih bisa bersyukur jika dari semua rasa sakit yang ia terima, Serena mendapatkan seorang kakak sebaik Radeva.

"Terima kasih, Kak." Satu wish list Serena sudah terwujud. 

Worst Class Where stories live. Discover now