Barang Bukti

11 2 0
                                    

Pagi ini School of Ukiyo sudah diramaikan dengan kedatangan Mr. Edgar. Bedanya, kali ini ada dua orang yang memegangi lengannya serta tangan yang diborgol. Seluruh media juga tidak ingin ketinggalan momen yang di mana Mr. Edgar nantinya akan memperagakan ulang kejadian sesuai dengan apa yang Mr. Edgar lakukan kala kejadian Mr.Jacob tewas.

Tentu saja semua siswa akan berkerumul. Mereka semua berada di lantai paling atas karena pemeriksaan di lantai tiga dijaga ketat oleh polisi. Bentuk sekolah mereka yang melingkar, memudahkan mereka untuk memerhatikan dari kejauhan saja. Kecuali Theo, Ian, Khai, dan Serena. Mereka harus ada dalam pemeriksaan ini.

Mr. Edgar sempat bertukar tatap dengan keempat muridnya. Dan kali ini dia cukup lama menatap Theo. "Apa yang lagi direncakan?" Pertanyaan itu membuat mereka segera menatap ke arah Jaksa Afkar yang hari ini turut hadir.

Jaksa Afkar tidak mengambil pusing saat dia melihat raut kesal dari keduanya. Dia hanya memalingkan wajahnya saja. "Lalukan, sekarang." Mereka semua masuk beserta dengan beberapa tim forensik.

Saat mereka masuk, Mr. Edgar merasakan hal yang berbeda ketimbang saat dia datang kemari untuk mengajar. Tempat yang awalnya suci dengan ilmu ternyata sudah bercampur dengan darah yang ditumpahkan tanpa sebab.

Itu pula yang dirasakan keempat siswa dan siswi yang sudah satu tahun setengah belajar di sana. Bagi mereka ini cukup mengacaukan banyak hal, tapi tidak bisa didiamkan begitu saja.

"Silahkan peragakan apa yang anda lihat, Mr. Edgar," ujar Jaksa Afkar.

Mr. Edgar langsung mengambil ancang-ancang, tetapi gerakannya berhenti saat ada sesuatu yang ia lupakan. "Ada apa?" tanya Detektif Rayhan.

"Ada sesuatu yang hilang," ungkap Mr. Edgar yang langsung membuat satu ruangan mendadak heboh. Beberapa tim forensic yang bertugas mengambil foto hanya saling melihat satu sama lain, Jaksa Afkar juga terdiam sedangkan keempat anak-anak itu hanya menyerengit karena Mr. Edgar tiba-tiba menatap mereka kembali satu per satu.

"Pakai saja kertas saya dulu, Pak," ucap Khai yang memberikan satu lembar kertas yang kebetulan berada di dalam tasnya. Jaksa Afkar langsung mengambilnya dan memberikan pada Mr. Edgar.

Pria itu pun berjalan menuju pintu sambal membawa kertas. Lalu bergerak bergegas, persis seperti apa yang dia lakukan kala itu. "Saya menghempaskan kertas ini di depan wajahnya yang tertelungkup dengan tangannya."

"Saya terkejut dengan wajahnya yang pucat, lalu saya mencari minum." Mr.Edgar mulai berjalan ke lain arah untuk mengambil air di pojok ruang kelas. Lalu dia menatap ke arah rak buku dan menemukan suatu cairan yang aneh.

"Cairan?" ulang Khai yang sebelumnya tidak menyadari barang berbahaya itu ada di sana. Ian dan Theo masih terdiam untuk memastikan apa jalan pikir sang pembunuh kali ini.

"Kita engga dibolehin bawa barang bahaya ke sekolah. Setiap hari kita di scan sebelum masuk ke gedung," ujar Theo tanpa menatap temannya karena matanya sibuk memerhatikan keadaan yang membuat semua orang bingung di ruangan.

Mulai dari satu barang Mr. Edgar yang hilang, dan entah apa lagi yang terjadi. Tampaknya Mr. Edgar akan mengatakan hal yang mengejutkan lagi.

"Lo lupa sama wewenang?" Theo tertawa kecil dengan apa yang baru saja Ian katakan. "Ada benernya. Manusia kadang salah pegang wewenang."

"Berarti kalian mikir kalo ini—"

"Kita bicarain nanti, kalo lo engga mau kenak bahaya, Ren," potong Theo. Serena langsung terdiam. Sejauh ini saja, rasanya sangat menakutkan. Bagaimana kalau hal lain yang lebih berbahaya terjadi padanya?

Saat ini mereka memilih untuk menonton keadaan sampai menemukan apa yang masing-masing mereka dapatkan demi kepentingan masing-masing.

"Saya menemukannya di sana. Lalu, Mr. Jacob memgambilnya dan meminta saya pergi." Seorang tim forensik mendekati beliau untuk menampakkan sebuah foto bagaimana keadaan Mr. Jacob tewas. Mr. Edgar tidak langsung menjawab. Dia memilih diam sejenak dengan tatapan berpikir membuat seruangan fokus dengan wajahnya yang penuh dengan tebakan.

"Cicin Mr. Jacob telah ditukar. Kemungkinan besar, pelaku yang melakukannya. Dan posisi Mr. Jacob setelah menyuruh saya pergi itu masih terduduk sambal menelungkupkan kepala di meja." Mr. Edgar menoleh ke belakang untuk melihat jenis kursi yang pihak sekolah pakai untuk tempat duduk para pengajar di ruang kelas siswa.

"Bangku itu. Itu juga bukan bangku dari pihak sekolah," ujarnya yang lagi-lagi membuat mereka menganga tidak percaya.

"Tapi, hari itu ..." Mr. Edgar tiba-tiba menatap ke arah Theo.

"Theo Anthony murid pertama yang datang pagi-pagi. Mr, Anthony, apa anda melihat orang yang melakukannya? Atau anda sendiri yang melakukannya?"

***

Di luar ruang yang sedang melakukan operasi pemeriksaan, ada Lucy yang sedari tadi tidak berhenti bolak-balik sambil menggigiti kukunya akibat cemas. Dia tidak tahu harus berpikir apa. Baru beberapa hari yang lalu, dia datang ke ruangan Mr. Edgar untuk mengajukan alasan kenapa dirinya ingin menuntaskan kasus ini juga.

Akan tetapi, sekarang dia tidak tahu harus melakukan apa. Karena, Mr. Edgar yang malah tertuduh dalam kasus yang ingin dia pecahkan. "Gue apa bikin dosa apaan, ya? Riweuh banget perasaan hidup gue," ucapnya sambil terduduk akibat lelah.

"Lo kenapa, sih?" tanya Gavin yang menatap gadis itu bingung.

"Gue yakin bukan Mr. Edgar orangnya, tapi gimana cara buktiinnya!" teriaknya frustasi.

Gavin yang sudah biasa menerima teriakan dan hal konyol di luar nalar dari sosok Lucy ini, hanya bisa mengelus dada dan memejamkan mata sejenak untuk menurunkan kadar emosi yang membuncah dalam relung hati. "Hidup udah susah, jangan dibuat susah, Lucy Madeline." Akhirnya muncullah ungkapan yang selembut itu. Membuat si pemilik nama belakang Madeline itu menghela napas. Tipe seperti Lucy memang harus dihadapi dengan tenang.

"Gavin lo tau gak? Gue bisa belajar di lingkungan elit begini karena siapa, Vin? Mr. Jacob, Vin. Sejauh ini yang gue rasa baik sama gue cuma dia. Selebihnya semua guru ngeremehin gue. Terakhir Mr. Edgar deh walau rasa ciut nyawa gue pas deket dia."

"Tugas anda sudah selesai, Ms. Madeline?" Lucy langsung berdiri dan menatap siapa yang ada di depannya saat ini. Mr. Edgar.

"Long time no see you, Mr. Edgar." Baru kali ini, Lucy berempati dengan Mr. Edgar. Biasanya dia datang dengan wajah tegasnya. Sekarang tentu masih, hanya saja melihat Mr. Edgar yang sedikit kurusan dan bawah matanya yang menghitam, Lucy yakin banyak hal yang saat ini gurunya pikirkan.

"Anda berharap kelas saya tidak ada lagi?" Lucy menggeleng kikuk dengan mata yang membola hebat. Gadis itu memang ekpresif. Dan hal itu tidak bisa ia kendalikan.

"B-bukan begitu, Mr.Edgar!" Sambil melambaikan tangannya ke arah gurunya tersebut menadakan jika yang Mr. Edgar katakan itu tidak benar.

Daripada merespon, Mr. Edgar mengulurkan tangannya seperti meminta sesuatu pada Lucy. Gadis itu hanya menatap bingung. Mr. Edgar memilih diam karena ingin memberi waktu untuk Lucy berpikir. Keduanya seperti sedang dalam dunia yang mereka ketahui saja. Tidak lagi melihat jika semua mata tertuju pada mereka. Lucy, yang sudah mematenkan dirinya agar memasang mode berpikir keras jika belajar dengan Mr. Edgar juga tidak peduli dengan keadaan.

"Oh! Iya! Bentar-bentar, Mr. Edgar!" Lucy langsung melepaskan tas ranselnya dan meronggohnya dengan semangat untuk mencari sesuatu.

"Ini." Lucy memberikan satu buah map yang berisi tugas yang diminta oleh Mr. Edgar pecan lalu.

"Karena anda yang mengumpulkan paling terakhir, satu pertanyaan untuk anda beri alasannya." Terakhir? Seketika Lucy menatap sinis ke arah teman sekelompoknya. Mereka tidak bisa Lucy percaya lagi. Bahkan Serena sudah mengumpulkannya? Lucy hanya cukup tahu.

"Apa Mr. Edgar?" tanya Lucy dengan nada bicara yang tidak biasa. Wajahnya tampak murung karena lelah. Serena yang melihat itu mendadak cemas karena tidak memberitahu Lucy saat dia sudah mengumpulkan tugasnya.

"Apakah kelas sosial tertinggi, hanya ditentukan dengan seberapa banyak kekayaannya?" Lucy hanya mengangguk dan menerima tugas itu begitu saja.

"Baik. Akan saya kerjakan. Semoga kasus Mr. Edgar segera tuntas. Saya pamit dulu." Lucy menunduk dan pergi begitu saja.

Inilah pelajaran bagi orang yang terlalu mempercayai teman.

tbc ... 

jeng jeng jengggg 

kalo  ada yang bisa susun teorinya aku kasih satu buku aku. gratis  

Worst Class Donde viven las historias. Descúbrelo ahora