Bagian Sembilan

81.5K 6.7K 64
                                    

Seorang remaja laki-laki memajang sebuah foto pada sebuah papan tulis putih, berderet rapi dengan foto lain yang sebelumnya berhasil di abadikan. Tak lupa ia juga menyertakan kalimat yang menggambarkan kondisi juga waktu saat foto itu diambil.

"Gimana?"

Seorang pria berjalan mendekat, dengan wajah menunduk. "Sesuai prediksi, Tuan, gadis itu sudah resmi keluar dari Erector." Jelasnya.

Bola mata remaja laki-laki itu bergulir ke ekor matanya. "Apa aku bisa memercayai informasi yang kau dapat?" Pancingnya, sebelum kembali mengukir spidol di tangan kirinya pada papan.

"Saya bisa menjaminnya Tuan, Erector secara resmi mengeluarkan gadis itu. Bahkan mereka juga memberi peringatan tegas jika dia berusaha mendekat, atau melukai Nona Lavina."

"Kau memiliki bukti?"

Pria itu mengangguk. Tanpa banyak kata ia mengeluarkan sebuah flashdisk dari balik saku jasnya, kemudian mengulurkannya dia atas meja, sebelum kembali di posisi awalnya.

"Saya berani menjamin, jika apa yang saya sampaikan ini benar, Tuan." Jawabnya lugas, tanpa secuil pun keraguan dalam kalimatnya.

Sontak saja smirk dari remaja laki-laki pemilik alis tebal itu tersungging. Rasanya bahagia sekali. Tanpa ragu ia memutar tubuh, menghadap pria berjas hitam yang selalu mendudukkan pandangan. Tak lama bola matanya bergerak ke arah flashdisk yang tergeletak, di waktu berikutnya seringainya terpatri kian tajam.

"Ada lagi?"

Pria itu mengangguk. "Erector melarang gadis itu untuk menyertakan nama mereka dalam situasi apapun, mereka juga tidak segan untuk menggunakan kekerasan,  jika dia bersikeras untuk mendekati Nona Lavina."

Remaja laki-laki itu menutup mulutnya yang menganga dengan telunjuk dan jari tengahnya. Keterkejutan yang ia pamerkan seketika berubah menjadi ekspresi merendahkan. Setelah sekian lama menanti, akhirnya ia menemukan kembali momen untuk menghancurkan musuhnya.

"Gue nggak nyangka, ternyata bakal semudah ini menghancurkan cewek sialan itu!" Gumamnya.

Tanpa menyingkirkan kebahagiaannya, ia menarik keluar salah satu laci, tempatnya menyembunyikan sebuah amplop cokelat yang sebelumnya telah di siapkan. Dilemparkannya amplop cokelat itu ke atas lantai, tepat di bawah kaki pria yang beberapa bulan terakhir setia mengabdi padanya.

"Anggap saja itu bonus karena kau sudah memberiku informasi yang berguna!"

Pria dewasa itu sempat membisu, memperhatikan amplop di bawah kakinya. Mendesah samar, ia mulai merendahkan tubuhnya guna memungut hasil jerih payahnya. Setelah mendapat apa yang dibutuhkan, barulah ia kembali menegakkan punggungnya.

"Kau boleh pergi."

Pria itu kembali mengangguk, mengiyakan. "Kalau begitu saya permisi."

Dengan cepat ia berbalik, kemudian berjalan menjauh. Tak lama setelah melewati pintu keluar, diam-diam ia mulai mencengkeram erat amplop dalam genggaman. Rahangnya sendiri sudah menegas dengan tatapan menyalang tajam.

Dasar bocah ingusan, kurang ajar!.

Remaja itu mengusap sudut bibirnya, menggunakan ibu jarinya. "Apa gue harus merayakan kesuksesan ini?"

"Ah nggak," sanggahnya, menggeleng pelan.

"Ayolah, ini bukan pertama kalinya. Jadi gue nggak boleh bersikap kurang ajar, gimana kalo gue ngajak tuh bocah buat merayakan ini semua? Toh pada akhirnya mereka juga bakal hancur bareng kan?"

Kekehan kecil mulai mengalun, tak lama suaranya mulai menggema, memenuhi seisi ruangan yang tersembunyi di balik rak buku di kamarnya. Ia yakin semuanya akan berjalan lancar, dan kematian manis akan menyambut lembaran baru dari kisah yang coba ia tuliskan.

SECOND CHANCE (END)Where stories live. Discover now