Bagian Tujuh

Mulai dari awal
                                    

"Males ah Mam," tukas Keana, membuat punggung Morgan menegak.

"Loh kenapa, kalian lagi musuhan?"

Keana meraup wajahnya frustasi. Polos sekali pemikiran Kanaya, atau jangan-jangan ibunya sengaja mengatakan itu agar perhatian semua orang terutama Morgan terarah padanya.

"Ma!"

"Oh iya, Mama baru sadar deh, kayanya dari kemarin kamu nggak nempel sama Morgan. Kalian lagi musuhan ya?"

Keana menghela nafas. "Astaga di bahas lagi." Keluhnya, lirih.

Morgan yang tadinya tengah mencabut wortel dibuat menegang kala Kanaya menyinggung hubungannya dan Keana. Harusnya ia marah karena namanya di kaitkan, tapi Morgan juga penasaran. Apa mungkin Keana benar-benar ingin berubah, atau gadis itu hanya beralibi sebelum melancarkan serangan selanjutnya.

"Bang Raven mana, Ma?" Tanya Keana akhirnya.

"Katanya sih ada operasi mendadak, jadi Bang Raven berangkat jam tiga."

Bola mata Keana membelalak. "Jam tiga pagi?!" Pekiknya, terkejut.

Arlo mengernyit kening. "Kamu kenapa sih, Dek. Biasanya kan juga gitu, apa lagi Bang Raven itu dokter bedah jantung, jadi wajar dong."

Ah iya, Keana lupa. Raven adalah dokter bedah jantung, jadi wajar saja jika kakak pertamanya itu memiliki jam terbang yang padat.

"Kalo gitu kapan Bang Raven pulang?"

"Tumben nanya gitu, ada apa sih?" Kepo Arlo, masih berada di tempat semula.

"Nggak apa-apa, Kea cuma pengin sama Bang Raven aja. Kangen juga udah lama nggak ketemu," Keana membalas sekenanya, kemudian berlalu menjauh.

Berbeda dari Keana yang terlihat tenang, orang-orang di sana justru menautkan alis bingung. Jelas-jelas selama ini Keana selalu menempel pada Raven, meski pada Sebastian juga sama. Namun kalimat terakhir gadis itu seolah menjadi bahan perdebatan dalam kepala merek.

Arlo menyipitkan mata. "Kalo nggak ketemu beberapa jam itu bisa dianggap lama ya?" Herannya, bersama ekspresi polos yang keluar tanpa sepengetahuannya.

"Semalem Kea juga tidur di kamar Bang Raven loh Pah, sampe Mama khawatir karena Bang Raven pergi tanpa tidur dulu." Keluh Kanaya.

"Bukannya udah sering kaya gitu ya?"

"Tapi Bang Raven bilang semalem Kea nggak mau jauh-jauh dari dia, bahkan katanya semalem Kea nangis terus."

Punggung Kanaya merendah, mengikuti anak Erector yang kembali berkutat dengan sayuran di bawah kaki mereka.

"Bang Raven juga bilang kalo semalem Kea selalu ngigau, makanya Bang Raven agak khawatir kalo harus ninggalin Kea sendirian." Kanaya menambahkan.

"Apa jangan-jangan ada masalah yang nggak Kea ceritain ke kita?"

Kanaya menggeleng. "Kalo itu Mama kurang paham, soalnya Bang Raven juga nggak cerita." Balasnya lemah.

Selagi pasangan suami istri itu bertukar pikiran, Arden memilih untuk lebih dekat pada Sebastian yang sedari awal sengaja menulikan pendengaran.

"Bas!"

Karena tak mendapat respon, Arden sengaja menyikut perut Sebastian hingga membuat laki-laki itu memekik sadar.

"Ada apa Bang?"

"Kamu nggak apa-apa kan, Bang?" Pertanyaan beruntun Arlo dan Kanaya membuat Sebastian membulatkan mata, sebelum akhirnya menggeleng.

Beruntungnya Kanaya dan Arlo tak ada niatan untuk memperpanjang keingintahuan mereka, jadi masalah bisa langsung selesai saat Sebastian memamerkan senyumnya. Begitu perhatian orang tuanya tertuju pada sayuran, barulah Sebastian melempar tatapan membunuhnya pada Arden.

"Lo pengin mati?!" Sebastian mendesis tajam.

Seolah tak merasa bersalah, Arden justru terkekeh kecil. "Ngomong-ngomong Adek lo kenapa?"

"Tumben banget lo peduli?!" Sinis Sebastian, seringainya tergantung angkuh.

"Bukan peduli kali, kita cuma jaga-jaga aja, takutnya Kea malah lepas kendali lagi." Papar Arlo, dibuat sekalem mungkin.

Sebastian mendengus kasar. "Kaga tau, kalo lo kepo tanya sendiri aja sama tuh bocah!" Sungutnya kesal.

"Nih bocah, di tanya juga!"

Diam-diam Morgan menggigit bibirnya. Sebenernya apa yang lo rencanakan, Keana. Kenapa sikap lo jadi kaya gini?. Batinnya, terbesit perasaan tak nyaman dalam dadanya.

***

Vomennya jangan lupa, oke?

SECOND CHANCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang