Keana meringis kecil. "Sebenernya Kea pengin pergi sebulan buat memperbaiki diri, Kea pengin jadi pribadi yang lebih baik, Bang. Kea nggak mau jadi cewek cengeng lagi,"

"Tapi Kea kan nggak cengeng."

Bola mata Keana merotasi. Beginilah jika terlalu banyak mendapat siraman cinta, sampai-sampai si pelaku tidak menyadari jika selama ini Keana terlalu bergantung padanya. Dalam satu tarikan nafas, Keana beranjak duduk. Berhadapan dengan Raven yang sedari tadi memperhatikannya.

"Begini loh Abang ku yang paling ganteng, maksud Kea tuh, Kea pengin berubah jadi lebih kuat. Kaya cewek di film itu!" Ujarnya, menunjuk wanita yang kembali menjadi sorotan.

Mendesah lirih. "Kea capek kaya gini terus, Bang. Kea pengin mandiri, pengin bisa naik motor, pengin belajar ilmu bela diri. Jadi kalo suatu saat Kea punya masalah, Kea nggak akan selalu bergantung sama Bang Raven, atau yang lain." Keana menambahkan, tak lupa membubuhkan keseriusan dalam nada bicaranya.

"Tapi Abang nggak masalah kok, kalo Kea emang mau dan harus bergantung sama Abang."

Keana terperangah. Rupanya otak Raven sudah bebal karena terlalu memanjakannya dan Sebastian. Tak peduli berapa banyak siraman cinta yang Raven berikan, pria itu akan selalu merasa kurang, sekalipun keana maupun Sebastian mengatakan yang sebenarnya.

Keana meraup wajahnya frustasi. Di detik ketiga ia coba memasang kembali senyum, juga ekspresi seriusnya. Keana juga tak ragu untuk meraih tangan Raven, meski tindakan Keana mendatangkan sesak dalam dadanya sendiri.

"Kea nggak bisa kaya gini terus, Bang. Abang punya kehidupan, Mama dan Papa juga sama. Suatu saat Abang pasti bakal punya kehidupan sendiri, dan Kea juga kaya gitu. Nggak mungkin Abang akan selalu ada buat Kea, karena itu mulai sekarang Kea pengin belajar mandiri. Semua ini juga demi masa depan Kea, Bang." Tutur Keana panjang lebar, berharap Raven percaya akan alibinya.

Untuk sejenak, Raven hanya membisu. Tak lama ia kedapatan membuang nafas berat, bahkan senyum manisnya mendadak tak sinkron.

"Abang pikir-pikir dulu, boleh kan?"


***

Pagi datang. Bukannya merasa baik, Keana justru dipaksa mencebikkan bibir saat melihat inti Erector masih berada di rumah. Seolah tak cukup dengan makan malam berselimut keheningan, keempat remaja itu turut menginap dengan alibi besok weekend.

Keana berdecak kesal, dengan mata merotasi malas. "Nih bocah kaga punya rumah apa gimana sih?!" Sungutnya, memandangi inti Erector yang tengah berkebun di belakang rumah, bersama dengan Kanaya dan Arlo.

Sebenarnya hal semacam ini sering terjadi. Berbeda dari geng motor lainnya, Erector tak terlalu suka balapan maupun tawuran, jika tidak dipancing. Mereka lebih suka kedamaian dan melakukan aksi sosial. Meski terlihat normal, namun Erector tetap memiliki musuh abadi.

Kabar di jalanan mengatakan jika pendiri pertama Erector tadinya adalah ketua Vechter, namun ada masanya ketika dia dilengserkan secara paksa dari posisinya. Karena dendam, pada akhirnya dia memutuskan untuk mendirikan Erector. Dan alasan klasik itu yang melatar belakangi dendam keduanya.

"Kea!"

Keana yang tengah bersidekap dada dibuat tersentak, kala pekikan Kanaya menggema. Tak hanya membuatnya tersadar, namun aksi Kanaya turut menuntun perhatian Erector untuk terarah padanya.

"Kamu lagi apa sayang, sini dong bantu Mama, ada Morgan juga loh."

Salah satu alis Keana menukik. Apa-apaan suara Kanaya itu, apa dia berniat menggodanya. Karena jika iya, hal itu tidak akan terjadi lagi.

SECOND CHANCE (END)Where stories live. Discover now