Morgan menundukkan pandangan. Kedua kelopak matanya sudah terkatup rapat, sementara mulutnya mengeluarkan hembusan nafas kasar.

"Sekarang gue harus gimana, Kea?" Morgan menjeda kalimatnya sejenak, sebelum bibirnya kembali bergerak bersamaan dengan kelopak matanya yang terjaga sempurna.

"Gue bahkan nggak tau, perasaan apa yang gue punya buat lo." Morgan berujar lirih, kala matanya kembali terpaku pada wallpaper utama ponselnya.

"Apa hubungan kita emang harus berakhir seperti ini, Keana?"



***

Sepulang sekolah Keana memutuskan untuk mengurung diri dalam kamarnya. Terlalu banyak tanda tanya, termasuk alasan kenapa dirinya bisa memutar waktu.

"Apa ini karma buat gue?"

Keana memeluk erat kedua lututnya, sedangkan wajah sembabnya ia tenggelamkan dalam lipatan tangannya. Berkali-kali berpikir pun semuanya terasa tak masuk akal. Terlebih ia tak pernah meminta pada Tuhan untuk membawanya ke masa lalu.

"Kea,"

Suara Kanaya mengalun, bersama ketukan pintu kamar yang terdengar bersahutan. Keana yakin ibunya tengah resah, terlebih ia memilih untuk bungkam dan pada akhirnya mengunci diri.

"Kea, kamu nggak apa-apa, Dek?"

Tubuh Keana seketika membeku. Suara berat yang mengalun lembut itu tak hanya membuat nafasnya tercekat, tapi turut membuat bola matanya membelalak lebar.

"Kea, ini Abang. Tolong buka pintunya, Dek. Abang mau ngomong sama kamu,"

Suaranya masih terdengar lembut, dan sarat akan kekhawatirkan. Bahkan tanpa sadar Keana mulai menggerakkan kedua kakinya. Rasanya aneh, dulu kakinya terasa sangat kaku. Tapi semuanya berbeda sekarang.

"Kea,"

Menelan ludah kasar. Beberapa kali Keana merapalkan doa dalam hatinya, agar apa yang menimpanya bukanlah mimpi belaka. Karena sungguh Keana tak rela jika harus menghancurkan momen manis ini untuk kesekian kalinya.

"Kea, ini Abang, Dek."

Kenop di putar perlahan. Begitu pintu tersingkap, bola mata Keana langsung di suguhkan dengan penampakan pria dewasa yang menatapnya dengan seulas senyum. Jauh berbeda dengan dirinya yang kembali membeku.

"Ba ... Bang Raven?"

Pria berambut cokelat kemerahan itu masih setia memamerkan senyum. Meski lengkungan itu tak bertahan lama, lantaran ekspresi keterkejutan Raven langsung mendominasi kala mendapati Keana mulai terisak.

"Bang Raven,"

Raven kelabakan. "Loh Dek, kamu kenapa?"

Keana tak menjawab. Hanya suara tangisnya saja yang mampu menggambarkan rasa sesal dan kerinduan.

Membuang nafas lirih, Raven memperhatikan wajah Keana dengan tatapan sayu. "Kea kenapa, hm?"

Tubuh Keana seketika menegang, ketika Raven mendekap erat tubuhnya. Pria itu melakukannya dengan natural dan penuh perhitungan, seolah tak mengingat kejahatan yang telah di perbuatanya di masa mendatang.

"Maaf ya, Abang baru bisa pulang sekarang."

Keana menelan ludah. Sensasi lembut dan hangat yang Raven salurkan tanpa sadar membuat tangannya bergerak. Tanpa banyak kata ia membalas pelukan kakaknya dengan erat, tak lama tangisnya kembali mengalun.

"Kea kenapa? Kea ada masalah sama Bang Bas?"

"Atau Bang Bas ngomong yang nggak-nggak lagi sama Kea?"

Keana hanya menggeleng, dan sukses mendatangkan kerutan pada kening Raven.

"Terus Kea kenapa? Mama sama Papa bilang Kea nggak mau keluar kamar, Kea ada masalah?" Bisiknya lembut, selembut usapan yang diaplikasikan pada puncak kepala Keana.

Rasanya sakit. Padahal di masa mendatang Keana adalah penyebab kematian Raven, tapi pria itu masih bersedia menyedikan telinga dan bahu untuknya.

"Maaf," pinta Keana, teredam isak tangisnya.

Raven tak lantas menjawab. Sepertinya benar apa yang dikatakan orang tuanya, Keana mengalami hari yang berat hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi apa? Raven benar-benar tidak tau.

Dalam satu tarikan nafas, Raven mengurai pelukan mereka. "Kita masuk ya, hari ini Abang bakal temenin Kea. Jadi kalo Kea mau cerita, Abang bakal dengerin semuanya. Hm?" Tuturnya, mengusap lembut kedua pipi Keana yang terasa lembab.

Berhubung Keana tak menyanggah permintaannya, jadi Raven berinisiatif untuk menuntun adik bungsunya kembali ke ranjang. Keduanya duduk saling berhadapan, di mana Keana lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menangis.

Raven sendiri hanya bisa membisu, sedangkan tangannya sibuk mengusap helaian rambut Keana. Baginya Keana berhak menyalurkan rasa sakitnya dengan menangis, dari pada dia harus menghadiri pemakaman Keana. Karena sungguh Raven tak bisa memaafkan dirinya, jika Keana pergi lebih dulu ketimbang dirinya.

"Udah mendingan?" Raven bertanya lirih, tangannya sendiri sudah mengangsurkan sapu tangan.

Namun karena tak kunjung mendapat sambutan, Raven hanya bisa mengulas senyum simpul. Sekali lagi jemari kokohnya ia tuntun lebih dekat pada wajah Keana. Dengan lembut dan teratur, Raven menyapukan kain sapu tangannya pada kelopak mata dan pipi Keana.

"Abang nggak tau ada masalah apa antara Kea sama Bang Bas, tapi Abang harap Kea nggak memendam semuanya sendiri."

Selesai membersihkan air mata adiknya, pria pemilik iris cokelat pekat itu beralih memperhatikan wajah sembab Keana.

"Kea masih punya Abang, jadi Kea bisa cerita semuanya sama Abang. Sesibuk apapun Abang, Abang janji bakal dateng buat Kea. Jadi Kea jangan ragu buat cerita sama Abang, Hm?"

Penuturan lembut Raven membuat ujung hati Keana terasa di sentil. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali berguguran. Perasaan sakit dan sesal yang bercokol dalam hatinya terasa kian dalam karena perlakuan lembut Raven. Namun anehnya Keana seolah enggan melepaskan momen hangat ini.

Sebenarnya ia takut melukai Raven dan yang lain, tapi hatinya memberontak. Ia ingin bersikap egois dan memperbaiki masa depan. Ada banyak nyawa yang harus ia selamatkan.

Raven terkekeh geli. "Adek Abang udah gede, tapi masih manja aja. Gimana nanti kalo Bang Bas liat?"

"Kea sayang Bang Raven," Keana berbisik lirih, tanpa memedulikan penuturan Raven.

Perlahan tatapan Raven berubah teduh, sementara pelukannya ia pererat. "Abang juga sayang sama Kea." Balasnya lembut.

***

Sejauh ini gimana ceritanya? Kalo sekiranya nggak suka, kalian bisa mampir ke lapak lain ya. Tapi kalo kalian suka, silakan tinggalkan vote dan komen

Jadi jangan lupa ya
Vote dan komennya masih aku tunggu lohhh

See you next part...

SECOND CHANCE (END)Where stories live. Discover now