Bab 9

30 9 11
                                    

Kesibukan akhir semester terlihat jelas di salah satu kampus terbaik bangsa itu. Para mahasiswa berlalu-lalang menampakkan ekspresi yang beragam. Ada yang tampak lega telah resmi merampungkan satu semester pembelajaran; Ada yang terlihat gusar bergegas menyelesaikan tugas akhir sebelum extended deadline yang diberikan; juga ada yang merasa tegang, was-was memikirkan nilai seperti apa kiranya yang akan tertera pada lembar IPK mereka nantinya. Bagaimana pun perasaan para mahasiswa tersebut, mereka tetap merayakan satu suka-cita yang sama: libur semester telah tiba!

Pembelajaran di salah satu kampus terbaik bangsa itu telah sampai di penghujung setelah ribuan mahasiswa berhasil melewati dua minggu masa-masa ujian akhir. Dua minggu yang menjadi waktu peperangan mereka dengan belasan materi yang telah dipelajari. Setelah dua minggu yang rasanya cukup panjang, tunas-tunas harapan bangsa itu akhirnya bisa menghela napas bahagia untuk kemudian menikmati kebebasan tanpa dihantui deadline tugas selama beberapa waktu ke depan.

Kecuali bagi seorang mahasiswi berparas cantik itu.

Kyra tak mendapati perasaan suka-cita liburan seperti teman-temannya. Gadis itu luput merasakan kebebasan yang dinikmati oleh orang lain. Sebab sejak dua minggu lalu, batinnya justru terus terkungkung oleh sesak yang rasanya mustahil dia enyahkan. Jadwal libur semester yang telah berada di depan mata nyatanya tak mampu membuat gadis itu bahagia. Sebaliknya, Kyra justru merasa gamang.

Libur semester berarti waktunya dia kembali ke kampung halaman. Pulang ke Surabaya.

Apa yang akan gadis itu katakan pada keluarganya? Bagaimana menjelaskan bahwa putri yang selama ini mereka banggakan malah pulang membawa nelangsa bagi mereka?

Bagaimana... bagaimana cara Kyra membuat mereka bisa menerima kehadiran anaknya?

Iya. Kyra telah memutuskan menerima kehadiran bayinya sejak awal. Bayinya tidak bersalah, jadi untuk apa Kyra membencinya?

Dua minggu lalu, tepat saat dia mengetahui kabar kehamilannya, Kyra terguncang hebat. Gadis itu kolaps, kehilangan orientasi akan dirinya selama beberapa saat. Kyra merasa amat sangat berdosa. Sebab, janin yang bertumbuh di rahimnya seakan menjadi bukti nyata kejadian terkutuk itu. Bukti yang menghantam sisa harapan yang Kyra punya dengan begitu telak.

"Teh Kyra belum pulang?"

Sebuah suara menyentak Kyra dari lamunan. Dia menoleh, mendapati seraut wajah milik Rangga—adik tingkatnya tengah berjalan menghampiri gazebo yang di duduki Kyra.

"Bang Azzam belum jemput teteh ya?" tanya laki-laki kurus itu lagi.

Kyra menjawab dengan gelengan. Matanya melirik sudut parkir di depan sana, mencari kehadiran Jaguar XF hitam milik Azzam yang beberapa minggu belakangan selalu terlihat terparkir rapi di pojok kanan sana.

"Teh Kyra sakit?"

"Nggak."

"Hngg punten, tapi muka teteh kelihatan pucat banget." Rangga meringis. "Lebih parah dari biasanya."

Kalimat Rangga sontak membuat Kyra menyentuh wajahnya sendiri. Dari ponsel yang sedari tadi dia genggam, Kyra melirik pantulan wajahnya pada layar benda pipih itu.

Ah iya, Rangga benar. Wajahnya terlihat amat mengkhawatirkan ternyata.

"It's okay, Ngga." Kyra tersenyum kecil. "Gue nggak touch up makanya kayak gini." ujarnya mencoba tenang.

Rangga memicingkan matanya sebagai balasan. Laki-laki itu ragu dengan ucapan Kyra namun dia tau, dia tidak bisa bertindak di luar batas dengan terus mencecar kakak tingkatnya ini.

"Masih ada ujian, Ngga?" tanya Kyra mengalihkan topik.

"Udah kelar semua, teh."

"Terus kenapa belum balik?"

Di Penghujung Jalan KitaWhere stories live. Discover now