Bab 1

46 12 0
                                    

Riuh suasana ballroom salah satu hotel ternama di pusat kota Bogor itu tampak meriah. Balon-balon berwarna orange dan biru menghiasi sudut-sudut ruangan dengan estetik. Pintu masuk di tata sedemikian rupa, mencipta gapura berbentuk replika mini kebun jeruk. Karpet yang melapisi lantai berpadu dengan dekorasi serupa warna balon mendominasi hampir seluruh sisi ruangan.

Orange-Biru, warna khas Fakultas Ekonomi dan Manajemen, salah satu fakultas populer PTN yang beralamat di Bogor, Jawa Barat.

Hari ini, ballroom mewah Grand Lisabon ramai oleh perayaan peringatan seperempat abad lahirnya fakultas itu.

Nafeesha Ruby Kyra Widihartoyo, seorang mahasiswa aktif tingkat tiga yang menjadi salah satu perwakilan program studinya dalam menghadiri perhelatan dies natalis fakultas kebanggan mereka terlihat melintasi venue bernuansa eropa itu dengan tergesa. Tubuh mungilnya bergerak lincah, menerobos jejeran manusia yang menghalangi dirinya melangkah. Tujuan gadis itu hanya satu, meninggalkan sekejap ingar-bingar perayaan untuk menenangkan dirinya yang sedikit terguncang.

"Kyra, mau ke mana?"

Saat langkahnya hampir mencapai pintu, seruan familiar itu terpaksa menghentikan niat Kyra. Dia berbalik, hanya untuk mendapati laki-laki pemilik suara yang baru saja menegurnya.

"Kak Azzam?"

"Kamu mau ke mana?"

"Cari angin, kak."

"Tempat ini kurang sejuk buat kamu?"

"Hngg mau cari angin beneran..." Kyra meringis pelan. "Bukan angin-anginan AC."

Azzam tersenyum geli mendengar penuturan Kyra. Laki-laki yang malam ini mengenakan kemeja putih dengan bawahan berwarna cream itu menggeleng pelan sembari membawa kakinya mendekati mantan adik tingkatnya. "Kenapa?" tanya Azzam ketika berdiri tepat di depan Kyra.

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa mau lari dari sini?"

"Aku nggak mau lari—"

"Kalau bukan lari berarti kabur?"

"Kak Azzam!" Kyra merenggut. "Lari sama kabur nggak ada bedanya!" tudingnya setengah jengkel.

Azzam hanya tertawa menanggapi protesan Kyra. Dia terkekeh geli, selalu menyukai saat di mana dia bisa menikmati gurat menggemaskan dari gadis di hadapannya ini.

"Mau ditemenin nggak nyari anginnya?"

"Hah?" tanya Kyra linglung.

"Boleh aku nemenin kamu kabur dari sini?"

Belum sempat Kyra menjawab—bahkan saat otaknya baru memproses tawaran Azzam, sebuah seruan lagi-lagi mengalihkan fokus gadis mungil itu.

"Azzam!"

Yang di panggil menoleh, mendapati seorang gadis tinggi dalam balutan busana navy tampak berjalan menghampiri dia dan Kyra.

Kyra yang turut melihat itu hanya bisa tersenyum kecut. Dia menghela pelan lantas mendongak menatap Azzam dengan perasaan getir.

"Makasih, kak..." Kyra berujar lirih. "Tapi kayaknya ada yang lebih butuhin kakak di sini."

Lantas tanpa kata, Kyra melenggang meninggalkan kemeriahan ruangan itu. Dia berlalu melewati Azzam yang terdiam menatap tidak mengerti kepergiannya.

***

Semilir angin malam menerbangkan ujung jilbab broken white beserta potongan dress yang Kyra kenakan. Riak suara air dari kolam menemani kesendirian Kyra di area outdoor lantai dua puluh Grand Lisabon.

Di Penghujung Jalan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang