part 31

1.9K 157 9
                                    

Firman yang saat itu di borgol hanya terdiam. Wajahnya pias dan pasrah saat dua orang warga masuk ke kubangan kotoran manusia yang isinya ternyata hanya sepinggang.

Aroma busuk seketika merebak sekitar, tapi ternyata apa yang Nunung pikirkan itu benar adanya.

Wajah Nunung langsung pias saat seorang laki-laki mengangkat tubuh yang dipenuhi kotoran manusia dalam keadaan sudah mulai menggembung.

Suara isak tangis tiba-tiba membahana saat jasad itu lalu di masukkan ke dalam kantung jenazah berwarna oranye.

Tak bisa berkata-kata. Kaki Nunung rasanya lunglai saat jelas ia lihat jika sosok yang menggembung itu adalah anak dari Mbak Siti.

Rambut dan baju yang ia pakai sama persis dengan bocah yang memanggil dirinya dan berdiri di atas cor-coran.

"Tidak! Laila!" teriak seorang wanita paruh baya berusaha mendekat, tapi dihadang oleh petugas dan juga warga.

Tubuh wanita itu luruh di tanah. Tangisnya pecah mengiba. Air matanya berderai seraya menatap bocah yang sudah kaku dengan perut yang membesar dan kulit membiru dengan mata melotot dan mulut yang menganga.

Buk! buk!

Wajah Firman bonyok begitu mendapat hantaman tinju yang langsung menjurus ke wajahnya tanpa bisa ia tebak. Begitu tiba-tiba hingga ia tak sempat melawan.

"Bajingan! setan! pembunuh kejam!" teriak laki-laki yang tak lain adalah adiknya Siti--Rojali.

Firman yang hanya tertunduk diam langsung mendapatkan pengamanan dari petugas.

Ujung bibirnya yang mengeluarkan darah kental ia biarkan begitu saja. Perasaannya gamang. Sesal tiada terkira.

Wajahnya tertunduk. Sebenarnya, sudah beberapa waktu setelah kejadian itu, ia selalu menangis seorang diri.

Bayangan istri dan anaknya selalu menari-nari. Masih terekam jelas di dalam pikirannya saat di mana ia begitu buta dan tuli, tidak mendengar teriakan meminta pengampunan dan derai air mata dari wajah yang dulunya sangat ia kasihi.

Ya, faktor ekonomi yang terus menggunjang biduk rumah tangganya seolah mematahkan hati yang dulu begitu kekal terjaga.

Di saat usahanya terpuruk, susah mencari kerja, ada pun kerja, uang yang di dapat hanya untuk menahan lapar satu hari saja. Begitu terus menerus hingga si istri lelah.

Lelah karena anak satu-satunya sulit sekali untuk jajan, di saat anaknya sedang tumbuh dan memerlukan asupan makanan yang layak juga pakaian yang ia pakai.

Siti sebenarnya adalah wanita yang sabar, tapi entah mengapa hari itu ia begitu saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan suaminya.

"Makanya cari kerja, Bang. Biar dikit dapatnya, yang penting anakmu bisa makan dan jajan,"

"Kalau aku yang lapar, tidak mengapa! asal jangan anakku!"

"Aku tidak dibolehkan bekerja, disuruh di rumah saja, tapi  ketika aku di rumah, untuk makan pun susah. Kalau begitu biarkan aku saja yang bekerja, kamu tunggu saja anak di rumah," cecar Siti saat itu, sedang Firman masih saja menahan gemuruh di hatinya . Sebisa mungkin ia tidak terpancing emosi dengan ucapan istrinya.

"Aku sudah berusaha, tapi bagaimana jika rezeki belum juga ada," balas Firman dengan wajah tertunduk, bukan karena takut, tapi karena ia berusaha untuk meredam emosinya.

"Usaha tidak di barengi doa itu percuma, Bang. Abang saja bangunnya siang, rezekinya sudah keburu di patok ayam,"

"Lihat anak kita Laila, Bang. Bajunya lusuh dan banyak yang tidak layak pakai. Anak kita malu untuk keluar rumah karena selain bajunya yang sudah tidak layak, ia pun tidak pernah bisa jajan. Untuk makan nasi saja susah. Beruntung ada ubi yang aku tanam, jadi bisa untuk mengganjal perut yang meronta," Siti mulai terisak, ia sudah jengah untuk berusaha taat dan meredam sakit hatinya yang kian terkoyak.

"Kalau tahu begini susahnya berumah tangga, lebih baik dulu aku tidak menikah,"

Kata-kata terakhir dari Siti itu ternyata membuat Firman tidak bisa menahan emosinya. Ia lalu mengangkat kepala dan menatap tajam kearah istrinya.

"Jadi, maksudmu, kamu menyesal menikah sama aku?"

"Selama ini aku memberi kamu makan, memberikan tempat tinggal, itu tidak ada artinya? hanya karena aku sedang terpuruk Kamu bisa berbicara sekeji itu?"

Mata laki-laki tidak dapat berdusta, ada kekecewaan yang teramat dalam di sana.

Emosinya yang kian memuncak, hingga terasa seperti kepalanya terbakar, membuat ia buta dan tanpa sadar meraih teko kaca yang masih terisi air di atas meja kecil di dekatnya.

Tangannya yang menggenggam teko melayang mengarah ke kepala wanita yang telah beberapa tahun ini menemani dirinya.

Brakkk!

Prangg!

Wanita itu terhuyung dan tubuhnya terbanting dengan kepala yang bercucuran darah.

Ia meringis kesakitan, tapi rasa amarah yang semakin memuncak itu membuat Firman tidak sedikitpun merasa iba.

Tidak puasanya dengan melakukan perbuatan itu, ia kembali menginjak-injak tubuh istrinya dengan kuat, hingga wanita semakin tak berdaya.

Mendengar ribut-ribut, anak perempuannya yang saat itu sedang tertidur seketika terbangun dan berlari ke arah kamar ibunya, karena ia sempat mendengar rintihan ibunya.

"Bapak! jangan, Pak!" gadis kecil itu dengan sigap menarik kaki bapaknya, tapi karena Firman sudah di kuasai setan, ia malah menendang Laila dengan keras.

Naasnya, tubuh ringkih itu terpental ke ujung tempat tidur dan kepalanya terhempas keras di sudut kayu.

Hempasan kuat itu membuat tubuh itu kelojotan dengan mata terbuka dan darah yang mengalir dari kepala.

"Laila!"

Firman tersadar dan langsung berlari ke arah anaknya yang sudah bersimbah darah.

"Tidak! Laila!"

"Firman! Bapak Firman!"

Firman tersentak dan seketika tersadar dari ingatan akan kejadian memilukan itu.

"Bapak Firman ikut kami ke kantor Polisi!" seru lelaki berseragam yang kini sudah siap membawa laki-laki itu ikut serta.

Firman hanya mengangguk. Sorak-sorai suara makian terlontar dari mulut warga saat melihat Firman.

"Pembunuh! pembunuh!"

Firman hanya mampu menunduk. Tak sanggup menatap mata-mata penuh amarah yang tertuju padanya.

Wajar, dan ia memaklumi. Bagaimana pun ia-lah yang bersalah di sini. Tidak bisa menahan emosi dan hanya sesal yang ia dapat.

Karena perbuatannya, nyawa anak dan istrinya harus melayang. Orang-orang yang mencintai dirinya tanpa syarat.

Polisi berusaha keras melindungi Firman yang di kerubungi warga yang kesal padanya.

Tak ayal satu dua orang berhasil mendaratkan tinju di kepalanya, hingga membuat laki-laki itu terhuyung.

Firman tak sedikitpun melawan. Ia mempererat genggaman tangannya yang saling menaut. Borgol yang menyegel tangannya, semakin membuat Firman tidak berkutik.

Sampai masuk ke dalam mobil pun, teriakan warga terdengar begitu lantang.

Sedangkan dua kantong berwarna orange yang terisi jasad Siti dan Laila di bawa dengan mobil lain.

Kejadian itu jelas membuat Nunung shock. Ia tak mampu berkata-kata sampai akhirnya ia merasakan sesuatu ...

***

Mandiin MayitWhere stories live. Discover now