part 13

2.7K 201 0
                                    

"Benar, saya Tiara. Kenapa kamu bisa tahu saya? apa hubunganmu dengan suami saya? apa kamu selingkuhannya?"

Aku terdiam. Bisa-bisanya wanita muda ini begitu saja melontarkan ucapan yang sangat tidak pantas begitu padaku.

Wajahku seketika memerah. Emosi. Apalagi saat menatap mata wanita itu yang seperti mencemooh.

Beruntung, sebelum aku berkata kasar, Mas Tono langsung menyalipku dan menutupi tubuhku dengan tubuhnya.

"Maaf, Mbak Tiara, saya suaminya. Kami ke sini hanya untuk menyampaikan pesan," sanggah Mas Tono yang langsung membuat wanita yang berdiri menantang itu merubah raut wajahnya.

" Pe--pesan? pesan apa?" Ia bertanya dengan lirih dan suara yang bergetar. Tatapannya penuh tanya.

"Ka--kalau begitu, ma--masuk dulu," tawarnya yang langsung ku respon dengan gelengan.

"Saya hanya ingin menyampaikan pesan almarhum suami Mbak, setelah itu saya akan pulang,"

Kutatap wajah wanita itu yang mendadak tegang. Matanya membulat dengan alis yang terangkat. Aku yakin wanita itu shock, bagaimana orang yang sudah meninggal bisa menyampaikan pesan?

"Pesan apa? kamu siapa? dan apa hubungannya kalian dengan suamiku, Marjohan?" tanyanya. Riak-riak air mata mulai terlihat di mata bulatnya.

Aku hanya mampu menghela napas sebelum bibir itu terbuka dan bersuara. Rasa kesal itu menguap begitu saja saat melihat raut kesedihan di wajahnya.

Sebagai sesama wanita, aku bisa merasakan kesedihan yang kini ia rasakan. Kehilangan suami dan pasangan hidup  tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Apalagi jika ia mendengar cerita yang sebenarnya, bagaimana suaminya meregang nyawa seusai melakukan perzinahan dengan mantan pacarnya.

Ah, ingin rasanya mulut ini bercerita tentang semua keburukan laki-laki yang tidak bersyukur mempunyai istri cantik dan masih terlihat muda seperti Mbak Tiara ini, tapi entah kenapa, rasanya aku tak tega.

Meski itu sebuah fakta, tapi begitu melihat raut wajahnya, bibir ini begitu sulit untuk mengungkapkannya.

' Sekali-kali berbohong demi kebaikan, itu tidak mengapa, 'kan?'
batinku mulai berbicara.

"Maaf, Mbak. Saya didatangi arwah suami Mbak. Kenapa saya, saya juga tidak tahu, tapi suami Mbak berpesan, ia meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia perbuat kepada Mbak dan orang-orang terdekat,"

Ah, akhirnya aku bisa bernapas lega saat kata-kata itu meluncur deras dari bibirku.

Anehnya, sejak tadi arwah laki-laki itu tak tampak. Apa ia setuju dengan keputusanku yang menutupi penyebab kematiannya, atau malah...

Wanita itu terpaku, bulir bening merembes dari kedua matanya.

"Ke--kenapa ia tidak menemuiku? bahkan dalam mimpipun tidak! kenapa harus melalui orang lain? kenapa?" tubuh kurus itu tampak terhuyung, tapi cepat ia bersandar di tiang pintu.

Mendengar suaranya yang terdengar menggelegar di iringi tangisan, membuat orang-orang yang berada di dapur dan di luar langsung mendekat, mengerubunginya.

Berbagai pertanyaan terlontar dari orang-orang, tapi aku memilih diam dan menarik tangan suamiku menjauh dari rumah Marjohan.

Aku sudah cukup lelah untuk menjadi perantara arwah penasaran yang ingin meminta maaf. Kenapa harus aku? aku pun tak tahu.

Yang aku tahu, ada perasaan lega saat pesan itu tersampaikan, apalagi saat melihat senyum si arwah.

Beruntung, Mas Tono menurut. Ia dengan sigap memutar motor dan tanpa permisi, serta basa-basi, aku dan suamiku meninggalkan rumah itu dengan kendaraan yang melaju pelan.

Aku sempat memperhatikan rumah itu ramai dan riuh, tapi aku tak perduli, setidaknya tugasku sudah selesai terlaksana.

"Apakah sudah selesai, Dek?" suara Mas Tono membuatku terhenyak dari lamunan.

Baru saja bibir ini mau menjawab, tiba-tiba saja ekor mataku menangkap sosok transparan yang berdiri di pinggir jalan.

Bibir pucatnya terangkat, menampilkan senyum yang tanpa sadar ku balas dengan senyuman pula.

"Dek?"

"Eh, iya-iya, Mas. Ga apa-apa. Arwah itu tidak akan mengganggu kita lagi, Nunung yakin, Mas," sahutku meyakinkan.

Sekilas, aku kembali menatap ke arah jalan dan arwah Marjohan sudah tidak ada lagi.

Aku lega, berharap arwah Marjohan dan juga Lestari tak lagi menggangu kehidupanku, dan terbebas dari semua pengalaman gaib yang beberapa hari ini menggangguku, semoga.

***
"Bu, Nunung mau ke warung Bu Sulis, Ibu mau nitip sesuatu ga?" tanya Nunung.

Sumini menggeleng pelan. Wanita paruh baya itu menggerakkan kepalanya dan menatap ke arah luar, di mana anak laki-lakinya sedang menunggu di atas motor.

"Bu?" Nunung mengulangi panggilannya dan Sumini kembali menatap ke arah menantunya dengan wajah gusar.

"Perasaan Ibu ga enak. Hawa pun dingin, seperti ...,"

Nunung terdiam, tapi tangannya refleks menyentuh kuduk yang tiba-tiba meremang.

"Mmm, Ibu jangan berpikiran buruk. Warung bu Sulis kan deket, Nunung juga di temani sama Mas Tono," Nunung berusaha menepis perasaan aneh yang juga muncul dalam benaknya

Tin! tin!

"Nung, cepetan!"

Nunung terjingkat saat namanya di panggil dengan lantang. Ia bergegas mendekat, sedang sang mertua hanya menatap nanar.

"Lama banget, sih, Nung. Cuma mau ke warung aja ngapain dandan," omel  Tono saat istrinya mendekat.

"Maaf, Mas, tadi ngobrol sama ibu sebentar," Jelas Nunung sembari naik ke boncengan.

Tono tak menjawab. Ia kesal karena sedari tadi menunggu cukup lama. Ia lalu memutar kunci dan tak menunggu lama motor pun menderu, melaju pelan meninggalkan perkarangan yang ditumbuhi tanaman perdu sebagai pagar.

Sedangkan Nunung masih terdiam dan larut dalam pikirannya. Sejak tadi ia merasakan hawa yang berbeda, seperti ada yang menatap dan memperhatikan gerak-geriknya.

Nunung mempererat pegangannya. Sesekali matanya liar mengedar ke jalanan sepi yang mereka lewati.

Anehnya, warung Bu Sulis yang dekat terasa sangat jauh, dan motor yang di kendarai seolah bergerak pelan seperti keong.

"Perasaan kok ga sampai-sampai, ya, Nung. Tumben juga jalan di sini sepi dan motor kenapa rasanya lambat banget jalannya," keluh Tono. Tangannya masih berada di kemudi dan pandangannya lurus ke arah jalan yang hanya di sinari lampu motor.

"Emm, ga tahu ya, Mas," jawab Nunung gugup. Ia merasa ada yang tidak beres.

Sementara Tono mulai merasa kesusahan. Tarikan gasnya terasa berat, seperti membawa beban yang melebihi kapasitas. Ia terus memaksa hingga motor tua nya terbatuk karena tak mampu menarik beban berlebih itu.

Tono terus memaksanya melaju, hingga ... ded ... ded ...ded!

Motor itu berhenti seketika, mogok!

"Kenapa, Mas. Kenapa motornya tiba-tiba berhenti?" Nunung yang gelisah turun dari motor dan berdiri di samping suaminya.

Tono menghembuskan napas kasar. Ia lalu memandang ke arah istri nya dan turun dari motor.

"Mogok, Nung. Kita pulang aja, yuk," ajak Tono.

"Mas, apa kita salah jalan? perasaan jalan ini bukan jalan yang biasa kita lewati kalau ke warung Bu Sulis,"

Tono terdiam. Ia lalu menyandarkan motornya dan matanya mengedar ke segala arah. Dahinya mengernyit dan setuju dengan ucapan istrinya tadi.

"Perasaan Mas lewat jalan yang biasa, tapi kok jadi ke sini? sejak kapan di jalan ini ada kebun jagung?"

Nunung merapatkan tubuhnya saat ia merasakan dingin di sekitar kuduknya. Jantungnya pun berdetak kencang saat tiba-tiba melihat pergerakan di antara kebun jagung.

Ia pun terjingkat saat melihat sesosok perempuan keluar dari ladang jagung dan melangkah ke arahnya.

"Mi--Mira...,"

Mandiin MayitWhere stories live. Discover now