part 24

2K 178 0
                                    

" Nung kamu kok dari tadi diem aja, Nung," tegur Tono yang saat itu masih memegang stang motornya.

Nunung tak menjawab. Tono melirik ke arah spion dan mendapati istrinya sedang tersenyum dan menatap ke arah sisi kirinya di mana mereka melewati barisan  pohon pisang dan padang ilalang.

"Oh, lagi nikmatin pemandangan," gumamnya sembari tersenyum simpul.

Tono mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ya begitu menikmati suasana sore menjelang magrib, merasakan udara dingin yang menerpa wajahnya.

Suara Adzan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Tono ingin singgah, karena kata ibunya, jika waktu Adzan menggema, tinggalkan segala kegiatan, dan jika sedang dalam perjalanan, singgahlah!

Namun, ia merasa enggan untuk singgah. Selain karena jalanan yang mereka lewati adalah jauh dari kampung, tidak terlihat satu pun rumah warga, termasuk jalan utama yang kiri dan kanan di dominasi semak juga pepohonan.

Lagipula, tidak ada satupun bangunan yang bisa mereka singgahi, hingga Tono memilih untuk terus mengajukan motor yang membawa dirinya dan istrinya menuju desa sebelah.

Semakin lama Tono merasakan motor semakin berat, seperti mereka bukan hanya sedang berboncengan berdua saja.

Tono kembali melirik ke kaca spion. Ia hanya mendapati istrinya yang masih dalam posisi yang sama, tapi ia heran, karena Nunung tak sedikitpun berbicara, hanya menatap tanpa ekspresi ke arah semak dan juga pepohonan yang mereka lewati.

Menjelang waktu malam, mereka akhirnya tiba di sebuah desa. Sebuah gapura besar berbahan kayu besar menyambut mereka.

' Selamat Datang Di Desa Sukasari'. Tulisan dengan cat warna-warni itu terpampang jelas di palang yang mereka lewati.

Mereka disambut dengan pemandangan sawah di sebelah kiri dengan bukit-bukit hijau di baliknya. Langit mulai menggelap dan bintang bertebaran. Sesekali Tono memecah keheningan di antara mereka dengan mengajak Nunung berbincang, tapi tetap saja Nunung diam seribu bahasa.

Dengan hati dongkol, Tono akhirnya memilih diam. Ia lalu menghentikan motornya, dan turun dari motor, melangkah menuju warung di pinggir jalan untuk menanyakan alamat.

Nunung masih diam, meski Ia turun dari motor, tapi ia hanya berdiri terpaku dan menatap ke arah sawah di hadapannya.

"Ayo Nung, kita lanjuti perjalanannya," ajak Tono seraya kembali naik ke atas motor dan Nunung hanya mengangguk pelan.

Lagi-lagi Tono harus menghela nafas kasar karena kesal. Istrinya jadi pendiam tanpa sebab, tapi ia tidak ingin bertengkar, karena hari sudah malam, dan waktu mereka tidak banyak.

Tono melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Ustadz yang menjadi tujuan utama mereka datang ke desa ini, desa yang ternyata cukup jauh jaraknya dari rumah.

Kendaraan roda dua itu akhirnya masuk ke sebuah halaman rumah yang tidak begitu besar, tapi penuh tanaman aglonema dengan berbagai jenis. Terlihat asri meski rumah itu tampak sederhana.

Tono memarkir kendaraannya itu di depan rumah dan mengajak Nunung untuk segera mendekati pintu rumah yang penerangannya hanya dari lampu lima watt remang-remang, tapi Nunung terlihat enggan dan menggeleng pelan.

Lagi, Tono tidak menggubris sikap istrinya yang sejak tadi membuatnya kesal. Ia bergegas ke arah pintu dan mengetuk pintu kayu berlapis cat coklat muda yang sudah tampak memudar dengan pelan, berharap tidak mengganggu si pemilik rumah.

"Assalamualaikum," ucapnya pelan, tapi tak ada jawaban. Tono kembali mengulangi dan tak lama terdengar suara jawaban dari arah dalam.

"Waalaikumsalam," diikuti dengan suara derap langkah kaki yang mendekat.

Pintu perlahan terbuka, derit pintu terdengar sedikit memekakkan telinga, Tono berdiri diambang pintu dan di sambut senyum khas yang tulus saat wajah seseorang yang terlihat dari balik pintu.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.

"Begini, Bu, saya ingin bertemu dengan Pak Ustadz, mau minta tolong. Kami dari desa sebelah," jelas Tono seraya memindai tatapan ke arah istrinya yang masih berdiri di samping motor.

"Pak Ustadz ada di--,"

"Siapa Umi?" suara seseorang tiba-tiba menggema di belakang wanita yang masih menggunakan mukenah itu. Wanita itu menyingkir dan seorang laki-laki berdiri disampingnya.

Laki-laki berumur sekitar enam puluh tahunan itu tersenyum simpul ke arah Tono.

"Begini Pak Ustadz, saya datang ke mari untuk meminta tolong, istri sa--,"

"Wanita itu ... istri kamu?"

"Iya, Ustadz, benar," Tono mengalihkan pandangannya kearah Nunung yang berdiri memunggunginya.

"Istri kamu ... ada yang masuk ke tubuh istri kamu,"

Sontak Tono terperanjat. Pak Ustadz  lalu mengajak Tono mendekati Nunung.

Benar saja, saat didekati, Nunung menjauh. Membuat Tono keheranan dan langsung mendekat ke arah istrinya.

" Nung, ayo kita masuk ke rumah Pak Ustadz. Kita kan ke sini untuk nemuin Pak Ustadz, Nung," ajak Tono.

Nunung hanya diam dan menunduk, tapi saat Tono meraih tangannya, wanita itu langsung menyentaknya.

"Aku tidak mau," jawabnya dengan suara yang parau.

Darah Tono berdesir saat mendengar suara istrinya. Suara yang terdengar berbeda, membuat bulu kuduknya merinding.

"Bawa saja istri bapak ke dalam. Itu bukan dirinya, ada yang masuk dan ia terlihat menyukai istri bapak," tutur Pak Ustadz yang membuat Tono semakin gusar.

"Umi, tolong Abah di bantu ini. Jangan lupa bawa sarung tangan Abah, Umi," seru Pak Ustadz pada istrinya yang masih berdiri di teras.

"Baik, Abah," sahutnya. Wanita itu masuk ke dalam rumah dan dengan gesit kembali melangkah mendekati suaminya.

Laki-laki paruh baya itu lalu mulai memasangkan satu persatu sarung ke tangannya.

Tiba-tiba terlihat tubuh Nunung bergetar saat pak ustad mulai membaca doa.

"Aku tidak mau masuk ke dalam rumah!" ucap Nunung dengan lantang, wanita itu tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatap Pak Ustadz tajam.

" Lebih baik kau sekarang keluar dari tubuh wanita ini! tempatmu bukan di sini, pergi!" sentak Pak Ustadz  seraya menunjuk kening Nunung yang saat itu berkerut dengan mata yang melotot menantang.

"Aku tidak akan pernah keluar dari tubuh ini! tubuh wangi ini seharusnya tidak berada di jalan! mereka sendiri yang memanggilku, dan aku menyukai tubuh ini!" jawab Nunung yang disusul seringaian mengejek.

"Keluar dari tubuh istriku, makhluk jelek!" kali ini Tono ikut bersuara.

Mendengar ejekan Tono, Nunung menggerakkan kepalanya dan menatap tajam ke arah Tono.

Ia terkekeh beberapa saat sebelum akhirnya ia berucap," dasar suami bodoh! Istri lagi hamil dibawa pergi, magrib-magrib lagi, apa kau sengaja memanggil bangsa kami, hah?"

Serasa ditampar dengan keras, wajah Tono seketika memanas dan jantungnya berdegup sangat kencang mendengar ucapan dari makhluk yang saat itu berada dalam tubuh istrinya.

"Ha--hamil? Nunung hamil?"

"Ya, istrimu hamil! dan aku akan mengambil janin ini sebagai makananku!"

****

Mandiin MayitWhere stories live. Discover now