part 4

3.7K 228 4
                                    

"Maaa! Mama!"

Tiba-tiba anak Mbak Lastri histeris saat melihatku, matanya melotot dan menunjuk ke arahku.

"Me--me--di, Ma!" (Hantu ma!)

Sontak kami bertiga menatap ke arah anaknya Mbak Lastri yang masih kecil, bocah 4 tahun itu menatap nanar ke arah belakang tubuhku.

"Mak! me--me--di!" pekik bocah itu seraya berlari ke arah ibunya dan memeluk tubuh Mbak Lastri dengan begitu erat.

Kudengar helaan napas ibu. Orang tua itu perlahan berdiri dengan susah payah, dan ia langsung mendekat ke arahku.

"Iro wes adus, urung?" (Kamu sudah mandi, belum?)

"Durung, Bu," ( belum, Bu)

"Wes, adus, cepet," (udah, mandi cepet)

"Kenapa, Bu?"

"Udah, jangan banyak tanya. Mandi kamu, Nung. Ada yang ngikut tu," tiba-tiba saja Mbak Lastri nyeletuk sembari menepuk-nepuk pelan pantat anaknya untuk menenangkan anak umur 4 tahun itu.

Seketika tubuhku bergidik mendengar ucapan Mbak Lastri. Siapa yang tidak takut dengan ucapan Mbak Lastri yang begitu mengejutkan?

"Mbak jangan nakut-nakutin, dong. Ini masih siang Mbak, masih terang," sungutku, enggan beralih dari tempatku duduk bersila saat itu. Mager, dan ... takut.

"Bukan aku nakutin, Nung. Ibu selalu mewanti-wanti kalau pulang dari mandiin mayit, yo mandi, biar energi negatif itu larut bersama air," kulihat wajah Mbak Lastri berubah serius.

" Ma ... wedi, Ma ... eneng memedi,"(ma, takut ma, ada hantu ).lagi-lagi bocah itu menangis seraya menunjuk ke arahku tapi wajahnya masih tetap di dada ibunya.

"Wes-wes, iku bulekmu, bulek Nunung, bukan memedi," Mbak Lastri masih berusaha menenangkan anaknya, tangannya mengibas-ngibas ke arahku.( Dah, itu bibimu, bukan hantu).

" Wes, mulih. Anakku wedi karo iro, Nung," ( udah, pulang. Anakku takut sama kamu, Nung)

Aku terdiam beberapa saat. Bukannya anak kecil itu bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang dewasa. Apakah benar ia melihat sesuatu di belakangku?

Perlahan aku pun menggerakkan kepala untuk menoleh ke belakang, tapi tiba-tiba...

Pluk!

" Wis mulih karo ibu, malah ngelamun iro," kurasakan bahu kananku di tepuk ibu, membuatku terjingkat karena kaget, dan jantungku bergemuruh kencang.(dah pulang sama ibu, malah melamun kamu).

Aku pun menurut. Melangkah keluar bersama ibu. Lagi-lagi kakiku bagai di ganduli seseorang. Beratttt banget!

Mau melangkah pun sangat sulit, tapi aku tetap melangkah walaupun sangat berat untuk mengangkat kaki.

"Iro langsung masuk ke kamar mandi wae, Nduk. Engko Ibu ambili handukmu,"( kamu langsung masuk kamar mandi ya, Nak. Nanti ibu ambilkan handuk.)

"Njih," ucapku dengan langkah gontai masuk memutar langkah ke arah bilik kamar mandi yang terletak di luar.

Bilik kamar mandi berukuran 2x2 meter itu berbahan bambu yang di anyam dan beratap daun rumbia.

Kanan kiri rimbun pohon rambutan dan jambu yang menaungi, membuat suasana teduh. Berjarak tidak jauh dari rumah, sekitar sepuluh meteran.

Di sekitar kamar mandi adalah pekarangan bagian belakang rumah beberapa tetangga yang banyak ditanami pepohonan yang rindang- rindang seperti pohon durian, macang, dan pisang. Ada juga tanaman dapur seperti sereh, kunyit dan Laos.

Entah kenapa, bulu romaku berdiri semua saat akan masuk ke dalam bilik kamar mandi yang biasa aku pakai sehari-hari.

Ada keraguan saat akan memasuki kamar mandi itu, tapi begitu mendengar derap langkah kaki mendekat, aku menjadi lega dan masuk begitu saja ke dalam bilik.

Mandiin MayitWhere stories live. Discover now