part 3

4.6K 268 22
                                    

Aku kembali melanjutkan langkah dan saat itu terdengar suara memanggil.

" Nung ... Nunung ...,"

Wuzzzhh!

Seketika aku kembali menoleh ke belakang dan hal aneh kembali aku rasakan. Tidak ada siapa pun di balik tubuhku.

Puk!

Kurasakan tepukan pelan di bahuku. Aku seketika terjingkat dengan dada yang bergemuruh. Refleks aku menoleh dan mendapati mertuaku menatapku heran, begitu juga Mbak Lastri.

"Ono opo toh, Nduk. Ayo, muleh. Adoh iki , ngko udan meneh, jalan licin, iso tibo Ibu karo Mbakyu-mu," (ada apa toh. Ayo, balik. Jauh ini. Nanti hujan lagi, jalan licin. Bisa jatuh ibu dengan mbakmu)

Aku mengangguk dan kembali melangkah beriringan dengan Mbak Lastri dan juga ibu.

" Kamu pulang sama ibu aja, Nung. Mbak mau ada perlu juga, kebetulan rumah teman Mbak di dekat sini, Mbak mau mampir," tutur Mbak Lastri saat kami sampai di depan motor.

" Las, adoh men, wes muleh karo Nunung wae," sela ibu dengan raut wajah khawatir, aku pun mengiyakan ucapan ibu. Entah kenapa sejak pulang dari kuburan perasaanku ga enak, ingin cepat-cepat sampai rumah.

" Mboten nopo-nopo, Bu. Sekalian olahraga," kilah Mbak Lastri diiringi tawa saat aku sudah naik ke atas motor dan Mbak Lastri membantu ibu naik di boncengan belakang.

"Yo wes, ojo suwi-suwi, kasihan anakmu," protes ibu saat motor sudah menderu dan bersiap melaju.

"Njih, Bu," sahut Mbak Lastri.

"Yo, wes, Mbak. Nunung duluan yo, wes ngeleh," ucapku sebelum siap tancap gas karena perutku sedari tadi keroncongan.

"Yo, titip ibu ya, Nung. Hati-hati, jalannya licin, alon-alon wae," Mbak Lastri mewanti-wanti.

"Njeh, Mbak. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Dan, kendaraan roda dua itu kupacu dengan perlahan. Tidak berani ngebut, karena jalanan yang kami lewati licin, tanah bercampur lumpur dan kerikil menyulitkanku.

Untungnya, saat ini aku membawa ibu yang bertubuh mungil dan langsing hingga memudahkanku untuk menyusuri jalan tanah berbatu.

Baru beberapa menit perjalanan, kurasakan beban motorku bertambah berat, hingga sulit bagiku untuk mengendalikannya.

Tarikan gas semakin susah, motor terbatuk-batuk dan tiba-tiba berhenti mendadak.

' Sial! perut lapar, motor pakai acara ngadat!' sungutku dalam hati.

"Lah ... nopo Nung? kok ngadat? bukannya kemarin baru di bawa nang bengkel?" keluh Ibu saat ia kendaraan tiba-tiba mati.

Aku hanya menghela napas dan mengangguk.

"Iyo ni, Bu. Kok tiba-tiba mati, yo? padahal wes tak bawa ke bengkel Joni, minyak juga aman kok, Bu. Aneh," aku menyauri ucapan ibu.

"Yo, wes. Mlaku wae karo ibu, jangan ganggu suamimu, kasihan Tono. Iki mung sepele, Nung," celetuk Ibu saat aku merogoh saku dan mengeluarkan HP.

Ah, ibu tahu saja apa yang ada di pikiranku. Ga mau ribet, telpon Mas Tono, minta jemput dan bawa motor ke bengkel, selesai.

"Tapi, Bu. Omah kita adoh, Bu. Entar ibu capek," gumamku seraya menatap wajah tua itu. Banyak kendaraan lalu lalang tapi tak ada satupun orang yang singgah untuk mengulurkan bantuan.

Aku kasihan kalau harus melihat ibu mertuaku yang renta ini berjalan bersamaku, pasti capek karena rumah kami yang cukup jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki, beda dengan memakai sepeda motor, dekat.

Mandiin MayitWhere stories live. Discover now