Silent Is Another Word of Pain

36 5 0
                                    

Angkasa tengah membersihkan garasi yang masih belum selesai sejak ia menemukan ide untuk menghiasnya karena Sahara.

Juna ada didapur, ia sedang memotong beberapa kertas untuk dijadikan pita dan sebagainya. Sedangkan Julian, ia baru keluar dari gudang ditemani Mukidi yang membawa koper besar dari dalam sana setelah bolak-balik mengangkut barang dari garasi ke gudang.

Anak itu membawa koper ditangan kecilnya, menyusul Angkasa saat Julian melewati Juna yang duduk dimeja makan untuk mengambil air dingin didalam kulkas.

"Masih belum beres aja." Ujar Julian meneguk air, melegakan tenggorokkannya.

"Ck! Bantuin makannya."

Anak itu duduk disamping Juna. "Kerjain aja sendiri. Gue udah beres angkat-angkat, sekarang bagian elo."

"Bilang aja gak mau bantu. Huh!" Ucap Juna memicingkan matanya.

Ketika Julian menertawakan Juna yang kesal padanya. Ia segera menghela nafas, melihat kesekeliling tanpa adanya kehidupan serta suasana yang sudah lama tak ia rasakan.

"Kenapa?" Tanya Juna.

Ia menyimpan gelasnya, menatap gelas itu lekat, menggenggamnya erat.

"Enggak. Cuman.. akhir-akhir ini gue rindu aja sama sesuatu yang udah gak ada disini."

Mengerti apa yang dimaksud adiknya itu, Juna pun menyimpan pekerjaannya. Ia tersenyum pahit. Alangkah sakitnya saat kembali melihat mereka yang berjuang untuk ada di titik ini.

Bertahan sebab tak bisa mati. Tetap tinggal meski ingin pergi.

"Gak pa-pa, kangen mah kangen aja. Gak ada yang salah sama perasaan kamu. Terkadang, apa yang kita tunjukkan juga gak sama dengan apa yang kita rasakan, bukan?" Julian menoleh pada Juna.

"Kita boleh sedih karena kehilangan, tapi jangan sampai rasa sedih itu membuat kamu kalah. Memang menyakitkan, tapi kamu bisa lebih kuat karena rasa sakit itu."

Laki-laki itu hanya mengangguk. Mengiyakan apa yang Juna katakan.

Meski sering bertengkar karena hal konyol atau hal kecil yang sebenarnya tak perlu dipermasalahkan. Mereka sendiri menyadari, bahwa tak ada yang mampu memisahkan mereka. Bahkan jika itu kematian.

Mereka masih percaya kata-kata Bapak, bahwa semua anak-anaknya akan kembali pulang kerumah ini apapun yang terjadi.

Sedangkan dilain sisi, Mukidi yang menyapa Angkasa dengan koper yang ia temukan digudang tengah membantu Angkasa memasang hiasan ke atap.

Itu lucu, dua orang yang sama-sama berbadan kecil dengan Angkasa menggendong Mukidi di pundaknya.

"Ini punya adik gak ada pengertiannya banget apa! Tau Abangnya pendek, bukannya bantuin masang ini dulu." Protes Angkasa, menggerutu dibawah sana.

"Jangan gerak-gerak dong, Bang Angkasa! Ini gak nyampe-nyampe."

"Yang bener masangnya, Di. Jangan sampai lepas lagi."

"Iya! Ini juga udah bener. Makannya yang bener juga dong gendongnya."

"Elahh.. anak SMP atau anak sapi sih?! Berat banget!" Ucap Angkasa saat lututnya sudah tak tahan menahan Mukidi hingga mereka berdua terjatuh kebelakang.

Beruntung, pantat Mukidi mendarat dikoper yang ia bawa hingga kepala Angkasa pun mendarat diatasnya. Meski harus berada diantara selangkangan anak itu.

"Bangun, Bang. Kayak nyaman banget tidur disana."

Sontak Angkasa pun bangun, duduk sambil menyandarkan punggungnya pada tembok yang dibaliknya adalah dapur.

"Lagian itu apaan si?!"

[✅]Angkasa Untuk Sahara-JihoonWhere stories live. Discover now