Ternyata Harus Keduanya

38 3 0
                                    

Sahara berjalan tanpa tujuan, ia sudah muak menunggu Angkasa yang semakin sulit dihubungi.

Bahkan kabar terakhirnya saja setengah tahun yang lalu, saat ulang tahunnya.

Kini, ia sudah menyerah. Ia berhenti menunggu Angkasa. Cukup. Satu tahun yang sia-sia.

Menanti dan terus mengharapkan kepulangannya. Jika ia ingin pergi dari hidupnya, maka pergilah. Dan jangan pernah kembali.

Sahara duduk ditengah kesunyian didalam gelapnya malam. Angin terasa menusuk sampai ketulang, pertanda hujan akan turun.

Ia mengangkat ponselnya, menekan sebuah nomor yang ia sematkan.

"..."

Ia tahu laki-laki itu takkan mengangkat panggilannya. Namun entah disebut sebuah keajaiban, panggilannya diangkat. Namun Angkasa tetap tak bersuara.

Dengan segenap keberanian yang Sahara miliki. Ia pun berkata. "Aku gak tahu kesalahan apa yang aku lakuin sampai kamu memperlakukan aku kayak gini." Sahara terkekeh memandang ke sekeliling namun hanya dia yang ada disana.

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesak didada. "Aku cuman mau bilang.. kita usai, ya? Angkasa. Aku gak mau tersiksa dengan terus menunggu kamu tanpa kabar."

Sahara berusaha menahan, menahan hal-hal yang sangat-sangat ingin dia sampaikan. Wajahnya sudah basah dengan air mata yang bercampur hujan.

Hingga dirasa ia akan meledak karena tak kunjung ada jawaban dari seberang panggilan. Ia pun mengatakan segalanya walau dengan nafas yang tersendat.

"Aku benci kamu! Aku mau kamu pergi! Enggak, aku mau kamu kembali. Tolong pulang. Aku gak bisa benci kamu! Aku gak bisa nunggu terlalu lama. Aku bisa! Kamu yang buat aku benci kamu. Jangan salahin aku kalau akhirnya kita berakhir. Tapi aku juga gak mau kita berakhir." Semua yang Sahara ucapkan adalah kebenaran dan kebalikkan yang ingin terjadi namun juga tidak.

Sekarang, ia sangat membenci Angkasa. Ia ingin laki-laki itu pergi. Tapi dia juga ingin Angkasa kembali.

Semua kenyataan yang ia harapkan, dan harapan yang ia tidak ingin itu terjadi pun terucap.

"Aku harap.. kamu bukan bagian dari cerita aku." Sahara sedikit mereda. "Aku harap.. aku gak pernah mengenal kamu. Aku harap kamu menderita lebih dalam dari rasa sakit yang aku rasakan saat kamu mengingat aku. Aku harap kamu berakhir dengan penuh rasa sesal. Aku harap kamu sangat-sangat menderita! Saat kamu mencoba menyebut nama aku, sampai kamu merasa seperti kamu akan mati."

Segala sumpah serapah Sahara ucapkan. Namun tak cukup sampai disitu. "Dan jika bisa.. aku harap Tuhan hapus ingatanku tentang kamu. Agar kamu menderita saat kamu datang menemui aku karena aku gak pernah ingat hadirnya kamu dihidup aku."

Sahara menutup panggilan itu, memeluk lututnya sendiri, menangis keras sejadi-jadinya dibawah hujan.

"Ra, di kesempatan yang sesingkat ini aku mohon jangan pernah membenci aku. Apapun yang terjadi."

"Ginjal itu bisa aja gak cocok buat aku, dan jika aku harus pulang tanpa ginjal baru. Itu artinya aku masih belum sepenuhnya sehat. Maka, jangan pernah kamu menyalahkan Tuhan dengan bilang Tuhan gak denger do'a-do'a kamu. Cukup ingat.. Tuhan cuman mau ngasih yang terbaik buat aku dan kamu."

"Aku pergi, Sahara."

Tiba-tiba saja Sahara teringat dengan pesan suara terakhir yang Angkasa kirim sekitar delapan bulan lalu.

"Ra, seingatku.. aku pernah bilang sama kamu untuk jangan pernah membenci aku. Tapi, kayaknya aku berubah pikiran. Kamu boleh benci aku. Benci aku sepuas kamu, Ra. Aku izinkan kamu membenci aku, bahkan jika kamu mengutuk aku sampai kamu mati. Aku terima. Aku rela."

[✅]Angkasa Untuk Sahara-JihoonUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum