Antara Ikhlas dan Rela

31 3 0
                                    

Tak terasa, Angkasa sudah harus pergi. Juna dan Julian pun tak bisa mengantarkan kepergiannya bersama Mas Dani, bahkan sekedar menuju bandara-- karena mereka harus sekolah.

Wawan yang sempat juga hanya bisa mengantarkan mereka sebentar karena ada kelas pagi.

Sekarang, tinggal Mas Dani dan dirinya yang sedang menunggu keberangkatan.

Sebenarnya, Angkasa juga gelisah. Ia mencari seseorang yang sudah sejak kemarin ia harapkan kehadirannya. Namun pikirnya, Mana mungkin dia datang.

"Angkasa? Ayok!"

"Huh? I-iya, Mas. Sebentar.."

"Lagi nyari siapa sih?" Mas Dani yang melihat Angkasa tengah mencari seseorang pun bertanya. Karena sebentar lagi mereka sudah harus masuk pesawat untuk berangkat. "Sahara?" Sebut Mas Dani acak.

Namun sepertinya iya, karena Angkasa tiba-tiba saja melemah ketika mendengar nama Sahara.

"Dia bilang, gak? Mau dateng kesini."

Angkasa menggeleng. "Sahara takut. Katanya, bisa gak jadi rela untuk lepas Angkasa pergi. Kalau dia liat Angkasa lagi."

Mas Dani tersenyum. "Kisah kamu itu lebih manis dari kisah romeo dan juliet, lebih singkat dari kisah adam dan hawa, tapi gak lebih pahit dari kisah Habibi dan Ainun. Kamu punya satu kisah yang rumit dari kisah cinta lainnnya."

"Tapi akhir dari semua cinta kisah itu, mereka bawa mati." Pukas Angkasa.

Dani menghela nafas, disaat yang bersamaan tanda mereka untuk masuk pun muncul.

"Ayo, kita harus berangkat."

Mau tidak mau Angkasa harus pergi, meski ia sangat ingin bertemu Sahara untuk yang terakhir kalinya. Sebelum ia mengudara.

Langkahnya sungguh berat saat ia hendak melewati pintu kaca.

"ANGKASAA!" Angkasa berbalik. Menemukan Sahara yang ia tunggu kedatangannya.

Mereka berlari bak adegan dalam drama, memeluk satu sama lain. Seolah tak ada hari esok untuk mereka melakukannya lagi.

"Kamu datang, Ra." Ujar Angkasa memejamkan mata, mengelus surai hitam Sahara dengan tangan kanannya. Sedang tangan lainnya memeluk, menepuk lembut punggung Sahara.

"Aku datang."

"Makasih, makasih karena sudah mau datang dan mengantar aku pergi, Sahara."

"Aku gak mau menyesal, Angkasa." Mereka pun melepas pelukannya. Saling menatap lekat dalam jarak pandang dekat. "Janji! Kamu harus kembali dan sehat."

Angkasa tersenyum. "Dalam hidup aku, aku berdo'a pada Tuhan. Agar dikehidupan selanjutnya Tuhan kasih aku tubuh yang sehat."

"Angkasa." Panggil Mas Dani. Baik Angkasa dan Sahara, mereka menoleh sejenak pada Mas Dani. "Kita harus berangkat." Ingatnya.

"Sebentar, Mas."

"Ra, di kesempatan yang sesingkat ini aku mohon jangan pernah membenci aku. Apapun yang terjadi."

Sahara kebingungan. "Kenapa? Aku gak bakal benci kamu."

"Ginjal itu bisa aja gak cocok buat aku, dan jika aku harus pulang tanpa ginjal baru. Itu artinya aku masih belum sepenuhnya sehat. Maka, jangan pernah kamu menyalahkan Tuhan dengan bilang dia gak denger do'a-do'a kamu. Cukup ingat.. Tuhan cuman mau ngasih yang terbaik buat aku dan kamu."

Sahara mengangguk acak. "Iya, gak akan sama sekali."

"Aku pergi, Sahara." Untuk kali ini, Angkas benar-benar pergi. Ia berjalan membelakangi Sahara yang meracau pelan agar sekali lagi Angkasa bersedia membalikkan tubuhnya, melihat kearahnya hanya untuk yang terakhir kalinya.

[✅]Angkasa Untuk Sahara-JihoonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora