9.

94 21 1
                                    

🌳

Setelah melihat balasan Davira, Fahri mendengus.

"Napa Lo?" Gilang yang berada di sampingnya tentu mendengar dengusan Fahri, bertanya.

"Susah ya kalo pdkt sama cewek rumahan," ujar Fahri mulai curhat.

"Apanya yang susah?"

"Ya susah di ajak keluar lah!" jawab Fahri.

"Emang gebetan Lo anak rumahan?" tanya Rivaldi.

"He'em, gak mau keluar malam," jawab Fahri lemas.

"Kenapa harus jalan malam? Siang pulang sekolah bisa kali," timpal Nathan.

"Ngedate malam lebih syahdu," Fahri dengan tampang sok iye-nya.

"Syahdu matamu! Dosa iya!" Gavin menabok kepala Fahri cukup keras.

"Anjir, sakit nih, Vin! Maksud gue tuh, gue kan kalo jalan bareng cewek, malam, bukan siang! Jadi ngerasa aneh aja gitu karena dapat cewek yang gak bisa keluar malam!"

"Iyain deh, iyain!" tukas Gavin.

"Gue pulang duluan ya, udah jam sepuluh," celetuk Marvin seraya beranjak.

"Yoi, hati-hati ya, ngebut ae'lah, kalo ada penghalang tabrak aja," ujar Awan.

"Itu kalo Lo mau bayar biaya rumah sakit gue!" balas Marvin.

"Nggak deh, duit dari sugar mommy gue menipis," sambung Awan lagi.

"Lo punya sugar mommy, Wan? Ya Allah, Wan, istighfar!" sahut Daffa gak jelas.

Selain lemot, Daffa gak bisa bedain mana candaan dan mana yang serius.

"Apaan sih, Daf?! Udah sono lo pulang aja bareng Marvin!" usir Awan. Cowok itu kadang kesal mencapai stres dengan kelakuan temannya yang satu ini. Bisa dikatakan kesabaran Setyawan setipis tisu, dan jika di sandingkan dengan Daffa, jadi boom. Makanya kadang mereka semua memisahkan Daffa dan Evans yang kesabarannya setipis tisu kena air, masih mending Awan.

Ngomong-ngomong soal Evans, cowok itu belum menampakkan batang hidungnya sedari mereka nongkrong kurang lebih jam 8 tadi. Dan Marvin sudah pulang. Jam nongkrong anak jenius kek Marvin memang cuma sampai jam 10 karena ia butuh tidur yang cukup. Jarang sekali Evans dan Marvin bertemu di tongkrongan karena ketika Marvin sudah pulang, Evans baru datang. Bukan berarti mereka berdua tak sedekat yang lain, malah Evans lebih dekat dengan Marvin karena Marvin satu-satunya orang waras di We Lucky, dan juga satu-satunya orang yang tidak pernah membuat Evans naik pitam.

Tidak lama kemudian, datanglah Evans bersama motor sport mahalnya.

"Eyyo, what's up, bro," sapa Rivaldi melihat kedatangan Evans. Evans hanya membalas sapaan itu dengan senyuman. Kemudian melakukan high five ke semua teman-temannya.

"Marvin udah pulang?"

"Ya, seperti biasa," jawab Aarav.

Tempat nongkrong mereka di gubuk buatan mereka sendiri yang tak jauh dari sekolah. Di sana sangat lengkap, bisa rebahan walau cuma ada satu karpet dan dua sofa panjang, bisa nonton memakai tv berukuran kecil, dan bisa masak juga. Tapi kalau malas, go food solusinya.

Mereka di sana sampai jam 1 lewat sedikit.

Aarav bangkit lalu mengambil kunci motor dalam sakunya.

"Yok pulang,"

Semuanya reflek berdiri juga, lalu bersama-sama pulang mengendarai motor masing-masing dengan kecepatan sedang.

Satu hal penting, mereka sering nongkrong malam hanya untuk menemani Aarav yang setiap malam meminta nongkrong. Jadi berangkat dan pulangnya itu sesuai kemauan Aarav. Jika Aarav sudah kirim kata otw di grup, maka mereka juga otw. Jika Aarav sudah ingin pulang maka mereka akan pulang. Solidaritas We Lucky tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Marvin yang tidak suka nongkrong jadi ikutan, untuk menyenangkan teman broken home-nya agar tidak kesepian, walaupun sebentar saja, setidaknya cowok itu sudah join beberapa jam. Walau sudah ada teman lainnya, bukan itu intinya, We Lucky itu 13, jika kurang satu berarti bukan We Lucky namanya.

=

Matahari kembali terbit esok harinya. Pertanda rutinitas seperti hari kemarin harus segera di mulai kembali.

"Vira,"

Mama Vira masuk ke kamar anaknya dan melihatnya masih terlelap nyaman di atas kasurnya.

"Vira.. sekolah, nak," ujar mama Vira membangunkan Davira sambil menepuk halus punggung putrinya.

Davira menggeliat seraya menguap, "Males, Ma. Besok aja, ya," pinta Vira dengan suara melasnya.

"Emang kamu gak ada lomba hari ini?"

Dengan posisi masih berbaring, mata terpejam, dan selimut membungkus tubuh, Vira menggeleng.

"Kata kamu kemarin wajib datang tiap hari karena di absen," ujar mama Vira mengingatkan.

"Iya ya," Vira beranjak dengan malas.

Kegiatan Porseni ini juga menilai kekompakan kelas, nilainya dilihat dari kelas mana yang muridnya rajin datang serta kelas yang selalu bersih dan rapi. Jika sekarang Vira tidak berangkat, berarti absensinya akan bolong, dan teman-temannya pasti mengeroyoknya karena hal tersebut, tentu Vira tak ingin dikeroyok massal.

Dengan langkah lunglainya, Vira ke kamar mandi sambil menguap. Mama Vira sudah kembali ke bawah setelah berhasil membangunkan putrinya.

"Vira udah bangun, Ma?" tanya papa Vira ketika mama Vira sudah duduk di meja makan.

"Udah," jawabnya kemudian menyeruput tehnya.

Sambil menunggu putri mereka, pasangan suami istri itu menikmati minuman masing-masing, mama Vira dengan tehnya dan papa Vira dengan kopi hitamnya.

"Cie nungguin cie," Vira datang dengan tampang tengilnya yang minta di tabok.

"Nyesal ya, Ma, nungguin Vira. Seharusnya tadi kita makan duluan saja," sahut papa Vira yang dibalas kekehan kecil oleh si mama. Sedangkan Davira tertawa terbahak-bahak di kursinya.

=

Sekarang ini, Vira dan teman-temannya jadi supportif kelas sebelah yang sedang bertanding basket. Dikarenakan kelasnya tidak bertanding hari ini. Dari pada bosan di kelas, tidak melakukan aktivitas apapun selain selfie bareng dan bergosip, mereka memilih menyibukkan diri dengan menjadi supportif dadakan untuk kelas tetangga. 'itung-itung nambah pahala,' pikir Davira.

"Woah, keren banget dribbling-nya Hendra. AYO, ZAC, SEMANGAT!" Teriak Tanisa heboh.

"Yang dipuji siapa, yang diteriakin semangat siapa," sindir Davira. Tanisa hanya melirik sinis temannya itu lalu kembali fokus menonton.

Fariza menoleh ke samping, melihat Xena yang terlihat lemas, "Lo kenapa?"

"Capek gue teriak-teriak," jawab Xena. Gadis itu duduk di pinggir lapangan tanpa takut kotor.

"Pen minum, yok beli es boba," lanjut Xena mengajak Fariza.

"Males ah, nanti aja," balas Fariza menolak. Karena masih ingin menonton permainan basket itu, ia belum lelah berteriak dan melompat-lompat. Beda dengan Xena yang darah rendah, hiperaktif sedikit langsung lemas.

Ketika asik menyoraki pemain bersama keempat temannya, Fariza tidak sengaja memandang ke seberang lapangan, sepasang mata sedang menatapnya tajam. Fariza langsung tegang, bibirnya kelu, rasanya oksigen di bumi telah habis sekarang ini.

"Xe-xe-xena, a-ayo beli boba se-karang," ajak Fariza dengan suara bergetar. Fariza membantu Xena berdiri lalu menarik Xena lari bersamanya.

🌳

PLAYER \ VSOOWhere stories live. Discover now