15. Pertaruhan, Janji, dan Rahasia

18 6 0
                                    

“Kak ... ini beneran?”

Binder scrapbook berpindah tangan, menuju pemiliknya yang kini bergetar hebat dengan suara parau. Bening menerima hadiah manis yang sudah dibuat Sabrang, berkat bantuan Katya, lelaki itu bisa memberikan benda di hari ulang tahun Bening. Semenjak mereka harus pergi dari Yogyakarta, ada banyak hal yang berubah dan perlu diperbaiki. Mungkin ini yang menyebabkan Sabrang begitu protektif pada Bening yang memang sedang butuh kebebasan di usianya yang masih muda.

Sebagai orang yang lebih tua, Katya memahami jika usia seperti Bening seharusnya diberikan kebebasan yang terikat. Artinya, dia diberikan pilihan untuk menjalani hidup sesuai keinginannya dalam lini yang positif, tetapi Sabrang juga berhak untuk memberikan pandangan apabila adiknya mulai mengalami pergeseran atau melenceng dari jalan yang seharusnya dia tempuh. Katya paham, sebenarnya apa yang dilakukan Sabrang berdasar atas rasa sayang dan tidak ingin kehilangan adik satu-satunya, hanya saja penyampaiannya yang salah.

Terlebih lagi, cerita Sabrang mengenai keluarganya yang hancur berantakan akibat takhta dan harta sangat mewajarkan perubahan sikap Sabrang yang sangat defensif. “Mas cuma bisa kasih ini buat kamu, jadi anak yang pintar, jangan nakal-nakal,” jelas Sabrang. Bening kontan melebarkan tangannya, memeluk erat tubuh Sabrang.

“Makasih, Kak. Aku minta maaf udah marah-marah sama Kakak.”

“Udah Mas Sabrang maafin. Salah Mas juga, terlalu posesif,” Sabrang melanjutkan, menepuk puncak kepala Bening. “Bilang makasih juga ke Kak Katya, dia yang udah bantu Mas nyari ide buat kado kamu.”

Bertolak dari Sabrang, Bening membulatkan matanya, menatap penuh binar rasa bahagia ke arah Katya. Buru-buru dipeluknya wanita tersebut dengan erat. “Makasih, Kak! Aku suka banget kadonya! Aku beruntung bisa ketemu Kakak, jadi aku juga punya kakak perempuan.”

“Sama-sama, Bening. Ya udah, sekarang kamu makan, ya. Tadi aku udah bikin mi goreng, tuh.”

Kepala Bening diangkat tinggi. “Eh, serius? Kak Katya masak di sini? Kan, kulkas Kak Sabrang isinya kosong.”

Benar, bahkan Bening saja paham jika tidak ada banyak bahan masakan yang bisa dimanfaatkan di apartemen Sabrang. Bahkan, hampir sepenuhnya kosong dan tersisa mi instan yang dijejalkan di dalam sana. Beruntung, Katya memang selalu mengisi stok banyak bahan dan bisa memakainya malam itu. “Bilangin kakak kamu suruh belanja, tuh. Masa kulkas kosong dibiarin gitu aja,” bisik Katya, sedikit keras dan hiperbolis, menarik atensi Sabrang yang memicingkan mata kanannya.

“Aku denger. Kan, aku udah bilang nanti bakal belanja.”

“Kak Sabrang emang gitu, harusnya butuh pacar yang bisa ingetin beli apa-apa.” Bening tersenyum menggoda, menatap ke dua belah manik mata Katya. “Andai aja Kakak jadi pacar Kak Sabrang.”

Spontan, Katya menoleh ke arah Sabrang yang menyeringai. Dipikir-pikir, Sabrang memang tampan, apalagi Katya menyukai lelaki dengan kumis dan cambang tipis yang menjadi mahkota kelelakian seseorang di mata Katya. Belum lagi dia adalah orang yang cerdas, dengan pemikiran dan kritik yang disampaikan secara pedas, tetapi tajam di naskah yang ditulisnya.

HEH? KENAPA GUE KAGUM SAMA KULKAS INDOMARET?

***

Sebagai seorang anak yang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga harmonis, Katya masih tidak percaya dengan lingkup cerita yang dibuat Sabrang tadi malam. Bahkan dari ekspresi dan gurat di wajahnya, Katya bisa menangkap kejujuran yang menyakitkan. Cerita sungguhan yang berasal dari seorang anak keturunan ningrat yang hidupnya mengalami kesialan bertubi-tubi akibat perebutan harta dan takhta.

Tidak bisa Katya bayangkan jika berada di posisi Sabrang. Mana mungkin dia bisa bertengkar dengan kakaknya, Nadine, akibat permasalahan warisan yang berkepanjangan. Dia dan kakaknya sudah sangat dekat, lengket seperti prangko dan amplop yang tidak bisa dipisahkan. Lalu hanya karena perebutan warisan, Katya harus pergi mengungsi dan diasingkan dari tanah kelahirannya sendiri.

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Where stories live. Discover now