2. Karangan Ketiga

27 5 0
                                    

"Selamat pagi dunia tipu-tipu!"

Bertolak dari lobi utama kantor Nawaksara, Katya melenggang dengan percaya diri setinggi langit. Menjinjing tas berwarna putih gading yang senada dengan blus di badannya, mendekati kubikel kerja beberapa rekan editor lain yang sudah sibuk dengan layar masing-masing. Kebahagiaannya tadi malam tidak kunjung sirna, Bara Adiguna memang mimpi indah yang selama ini Katya dambakan sejak menjadi seorang editor.

Entah bagaimana caranya kebahagiaan penulis yang dia tangani ikut mengalir ke dalam tubuh dan menyuntik jutaan sel menyenangkan. Akhirnya, seperti mendapat dopamine tinggi, Katya berangkat dengan senyum mengembang seperti bunga di musim semi. Dia menyapa Liv yang sudah duduk di kubikel dengan tumpukan berkas naskah yang akan dia urus nanti.

"Hei, baby girl. Pasti mau ketemu sama penulis, ya?" Katya menyapa Liv, mencolek dagu wanita tersebut dan langsung mendapat dorongan kasar.

"Jijik banget sumpah, Kat!" Liv mengusap dagunya dramatis, seolah membersihkan dari najis yang menempel di kulitnya yang putih bak porselen. "Kok tumben banget lo semangat? Biasanya berangkat cemberut kek monyet Sumatra enggak dapet pisang."

Bibir Katya menukik, membentuk senyum miring instan. Terserah Liv ingin mencibir dengan kalimat apapun, dia tidak peduli sama sekali. Rasanya dia masih terbang, bisa menjadi editor Bara Adiguna yang melejit, belum lagi pujian tadi malam yang masih membekas di telinga. Dia mengambil tempat duduk di meja kerja Liv, mengibaskan rambut, menyibak aroma shampo baru wangi bunga dan kelapa.

Sementara Liv yang sibuk mencetak naskah penulis miliknya tak mempedulikan gerak-gerik Katya yang sudah seperti orang gila. Rekan kerjanya itu memang mudah sekali tergiur dengan pujian sampai beratus-ratus hari lamanya. Menurut Liv, Katya mudah sekali disogok dengan pujian dan pemberian gratis demi sebuah hal, salah satu faktor buruk mudahnya perempuan terjerat buaian buaya. "Alah, pasti tadi malem lo dikirim duit sama Pak Bara, kan? Diem-diem jadiin doi ayah gula," cibir Liv seraya terkekeh geli.

"Liv, kalau ngomong jangan suka asal, deh. Gini-gini gue cewek bermartabat yang menjunjung tinggi nilai leluhur bangsa dan harga diri seorang wanita. Enggak level gue nyari ayah gula, ayah garem, atau ayah mecin," jelas Katya seraya berdiri dari meja kerja, matanya dilempar ke sembarang arah, tepatnya di kubikel kerja Brian yang masih kosong. "Eh, Brian ke mana?"

Bahu Liv diangkat, sejak tadi Brian memang belum terlihat di kantor. Padahal, lelaki itu pantang datang terlambat dan mempertaruhkan nilai kedisiplinan yang terpatri di dadanya. Sering kali Brian selalu memberikan nasihat kepada kedua temannya atau rekan editor lain agar berangkat tepat waktu dan tidak boleh bermain dengan detik sekalipun. Karena yang namanya waktu itu sangat berharga, sekali lewat sepersekian detik, kesempatan bisa sirna begitu saja. Namun, sekarang dia sendiri belum datang.

Atau mungkin gara-gara kejadian tadi malam yang membuat Brian merasa kecewa berat? Mana mungkin seorang penulis terkenal yang bahkan batang hidungnya tidak terlihat di manapun bisa membuat hati Brian terluka? Katya tahu jika Pangeran Langit merupakan penulis top yang sedang digandrungi oleh banyak orang karena jalan cerita yang tidak biasa, bahkan Katya sempat terhanyut masuk ke dalam novel yang pernah dia baca.

Brian memang sepertinya penggemar berat Pangeran Langit, dari karya-karyanya yang baru pertama terbit hingga yang paling terbaru, semua ada di dalam koleksi rak buku yang tersusun rapi sesuai abjad dan memiliki laminasi di setiap sampul. Brian menyayangi buku-buku itu seperti anaknya sendiri, melebihi pacarnya yang sekarang sudah putus karena tidak kuat dengan cemburu terhadap buku. Bayangkan! Cemburu dengan buku!

"Gue juga belum liat Brian, mungkin dia kagak berangkat?" Liv menimpali, tangannya masih merapikan naskah yang sebagian sudah dicetak, di beberapa bagian terdapat komentar yang disematkan untuk dibaca si penulis. "Lo enggak ada telepon dia habis pulang dari sana?"

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang