BAB 41 - MERESAHKAN SEKALI

14 0 0
                                    

Tujuan Puspa juga ingin pulang sebenarnya ingin melihat rumah masa lalunya yang sudah disita BANK, dan ia juga ingin tahu pada siapa rumah itu di jual.

"Ibu, ayo aku antar kau ke kamar," ajak Lukky. Lukky yang sudah mengantarkan ibunya ke kamar langsung menghela nafas, dan memijat kepalanya. 'Aku juga sangat yakin, kalau wanita itu pasti Riana. Entah kenapa Riana sangat begitu membenci kami? Mungkin aku tidak akan masalah kalau ia membenciku, tapi kenapa ia harus membenci Ibuku juga?' batin Lukky menatap kaca wastafel kamar mandi usai membasuh wajahnya.

Lukky sudah tahu diri sebab Riana yang seperti itu padanya, lantaran ia meninggalkan Riana seorang diri di London untuk menanggung semua perbuatannya, tapi tujuan Lukky meninggalkannya agar Riana bisa menjadi orang kuat dan tegar dan tidak menjadi gadis manja saja dan menanggung semua perbuatannya seorang sendiri sebab mereka tidak punya Ayah lagi. Namun kenyataan ulahnya itu malah menjadikan Riana sebagai gadis jahat berhati dingin pada keluarganya sendiri.

Ia bingung siapa yang ia salahkan, apakah ini kesalahannya sendiri sampai Riana berubah seperti itu, atau apakah karena memang seperti inilah karakter sifat sesungguhnya yang dimiliki Riana?

*
*
*

Kediaman Riana

Sudah pukul 3 subuh Pavlo menunggu Riana di ruang tamu tapi Riana masih belum pulang juga, Pavlo yang duduk di kursi sofa tidak memakai bajunya dan hanya bertelanjang dada perlihatkan tato di sekujur tubuhnya yang amat mengerikan menutupi kulit putihnya itu, jika ada orang lain melihat tubuhnya itu, sudah dipastikan orang lain akan bergidik ngeri menganggap Pavlo adalah preman kelas atas, bukan preman lagi tapi bos dari penjahat.

Pavlo menyesap rokoknya sambil meneguk wine saat Asisten datang menghampirinya.

"Tuan, maaf, aku sudah mengarahkan semua orang untuk mencari Nyonya, tapi ternyata Nyonya tidak di temukan dimana pun itu," ucapnya memejamkan mata agak takut-takut kalau Pavlo sampai mengamuki mereka semua, dan membuat warga setempat terganggu atas amukan Pavlo, sebab jika Pavlo ngamuk ia pasti akan membunuh siapapun itu di hadapannya. Tentu saja Asisten tahu sifat dan jiwa temperamen Pavlo seperti apa.

Mendengar itu Pavlo langsung menggesek giginya, matanya langsung menatap tajam Asistennya sendiri. "Bagaimana dengan kawannya?" Dengan sabar Pavlo masih menahan amarahnya yang kian memuncak.

Asisten itu meneguk ludahnya kasar. "Maaf Tuan, Nyonya juga tidak ada disana." Tunduknya usai mengatakan.

Plank!

Pavlo memukul meja kayu di hadapannya sampai retak. "Kenapa aku melihat kerjamu akhir-akhir tidak ada yang becus mengurus masalah istriku... Hmmm—"

Tubuh semua orang disana langsung bergetar hebat, kalau Pavlo menegur mereka seperti itu, yang berarti siap-siap nyawa mereka melayang.

"Maaf Tuan, Nyonya ini sangat cerdik sekali, dia pandai sekali bersembunyi," alasan Asistennya agar Pavlo percaya.

Pavlo tertawa mendengarnya sambil menunjuk-nunjuk wajah Asistennya. "Kau bilang dia cerdik dan mampu menipu pria sepertiku." Pavlo memejamkan matanya sambil tertawa gila, setelah 2 menit ia tertawa, ia berkata kembali dengan wajah seriusnya, "Bawa semua teman kampusnya di hadapanku, dan mulai introgasi mereka mulai dari sekarang."

Jder!

Seketika Asistennya berkeringat dingin mendengarnya, wajahnya langsung pucat pasif mendengar perintah tak berperasaan Pavlo yang sangat begitu posesif pada Riana. Yang ditakutkan bagaimana kalau teman kampus Riana malah berkata kalau Riana pasti ada di rumah dosen—Yaitu calon suami Riana.

"Cepat!" bentak Pavlo dengan suara lantang dan amat menakutkan.

"Ba, baik Tuan. Akan saya kerjakan!" Asisten itu langsung gagu seketika.

Pavlo melipat kedua tangannya di dada sambil memiringkan kepala melihat Asistennya berjalan ketakutan. Entah apakah Pavlo mencurigai kalau ada sesuatu yang disembunyikan Asistennya, karena tidak biasanya juga Asistennya itu gagu saat menerima perintahnya.

Saat berada di halaman rumah Riana, Asisten itu berbalik sebentar lalu membatin dalam hatinya, 'Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Tidak, aku harus bertanya pada Tuan Revano sekarang. Pavlo sendiri juga tidak mau pedulikan ponselnya berdering yang ternyata itu adalah Ibunya untuk menyuruhnya datang.'

Asisten itu menelpon Revano secepat mungkin. "Halo Tuan Rev, tolong saya, Tuan muda Pavlo menyusahkan kami semua, ia menyuruh saya untuk mengumpulkan semua teman kampus Riana."

'Apah?! Konyol sekali dia, dia benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana dengan orang Tuanya, bukankah Ibunya sudah menghubunginya?'

"Maafkan saya Tuan, Tuan Pav malah mengabaikan Ibunya, seperti tidak takut lagi pada Ibunya. Ia seperti lebih memperdulikan Nona Riana dari pada ancaman Ibunya," jelasnya.

'Dia benar-benar semakin gila sekarang.'

"Terus saya harus bagaimana Tuan? Saya takut sekali kalau Pavlo menggagalkan pernikahan Nona Riana dan bisa mengancam nyawa Riana nanti."

'Pavlo ini sangat keras kepala sekali,' umpat kesal Revano. 'Begini saja ...' Revano memberikan idenya lagi untuk menipu Pavlo terus-menerus.

"Baik Tuan, terima kasih atas sarannya." Asisten itu legah mendengar ide Revano. 'Nona Riana, sampai disini saya hanya bisa membantumu. semoga ini berhasil.' Asisten itu berkata dalam hatinya.

2 jam kemudian, dan sudah menunjukkan pukul 5 subuh asisten itu datang pada Pavlo, yang mana Pavlo sendiri sudah mabuk berat dan membuat barang di rumah Riana berantakan atas ulahnya, itu karena Pavlo memeriksa semua barang Riana, termasuk buku diary Riana yang selalu menulis tentang—bagaimana ia bunuh diri kalau Pavlo saja selalu mengawasinya. Selebihnya tidak ada lagi yang Riana tulis selain bunuh diri saja.

"Tuan, besok pagi teman kampus Nyonya Riana akan berkumpul." Dengan semangatnya Asisten itu berkata. "Tuan, sebaiknya anda tidur dulu, anda sudah sangat lelah."

Pavlo menjawab, "Aku tidak bisa tidur kalau aku sendiri belum melihat istriku datang dihadapanku," ucapnya tegas.

Love Is Killing Me ✓Where stories live. Discover now