BAB 23# Vano Wilson

36 4 0
                                    

"Ini aku lakukan untuk menambah nilai sikapmu juga," tandasnya yang tidak masuk akal. "Dan ingat, satu hal, kau juga harus membantuku merapikan barangku di kantor! Lihat, mejaku sangat berantakan, rapikan ini sekarang!" perintahnya yang tidak terima penolakan.

Riana masih terdiam mencerna perkataan Dosennya. Dia merasa kalau dosennya ini seperti berlebihan. Tapi demi kelulusan dia harus pasrah sekarang, dan menurutinya. "Baik pak!"

Dosen itu tersenyum tipis, dan sesekali meliriknya. Entah apa rencana dosen itu yang terus membuat Riana susah. Kenapa dia datang sangat begitu pagi di saat murid belum ada jam pelajaran.

Saat Riana akan pergi, tas ranselnya tiba-tiba di tarik sampai tubuhnya terhuyung kebelakang. "Riana, setelah jam pulang nanti, tolong temani bapak untuk membeli makan siang yah. Anggap saja aku mentraktimu karna sudah membantuku disini."

Riana setuju saja dengan Dosennya itu.

Dosen itu bersiul kemenangan karna akhirnya ia bisa mengajak Riana untuk makan siang bersamanya. Memang aneh, tapi tidak ada yang bisa menebak jalan pikirannya itu. Apakah dia menyukai Riana, atau ada maksud lain di baliknya?

Saat pulang kuliah. Riana dan dosennya masuk restoran mewah, itu adalah restoran yang sering di datangi sepasang sekasih, dekorasi yang sangat mewah, dan ada pemain musik biola yang akan memainkan musik pada pengunjung yang beradu kasih. Riana yang tahu tempat macam itu, seketika ia mengusap tengkuk lehernya sendiri. Sebab tempat itu membuatnya merasa tidak nyaman.

Dosennya menarikkan kursi untuknya. "Ayo sini!" Dosen menarik tangan Riana.

"Pak, sebelumnya saya sangat berterima kasih sekali sama bapak. Karna mentraktirku makan mewah disini. Tapi tempat ini-" Riana tidak melanjutkan perkataannya.

Dosen tampan itu mengusap punggung tangan Riana. "Riana, kenapa kau masih belum mengerti selama ini padaku. Kenapa kau tidak peka sedikit tentang bagaimana caraku memperlakukan dirimu selama ini."

Riana menarik tangannya saat dibalai. "Maaf pak." Riana menatap kearah jendela luar, tepat di sampingnya.

Dosen itu melanjutkan bicaranya, "Riana mungkin kau dan yang lainnya masih belum tahu siapa namaku. Aku sebenarnya sengaja rahasiakan ini pada mereka."

Riana menatap dosennya itu. Dia juga sebenarnya ingin tahu, siapa dosennya ini. Dia benar-benar sangat misterius sekali. Ia selalu datang mengajar semaunya saja di kampus, seperti ada pekerjaan lain lagi yang harus ia kerjakan.

"Riana, apa kau benar-benar tidak ingat aku?"

"Bisakah bapak kasih tahu nama dulu? Agar saya nyaman memanggilmu." Riana menunggunya, dia benar-benar sangat penasaran padanya.

"Namaku, Vano Wilson, seorang CEO perusahaan ternama, sekaligus komisaris dan konglomerat."

Riana menelan ludahnya. Orang di hadapannya ini bukanlah dari kalangan biasa, dia seorang bos Tiga Raksa terbesar didunia. Dia menduga orang di hadapannya dapat mengalahkan Brian dan juga Pavlo. Bukan-bukan orang di hadapannya ini dapat mengalahkan kerajaan Britania Raya. Uang yang dia miliki mampu membeli satu Negara dengan begitu mudahnya.

Riana kaku ingin mengatakan apa? Apakah dia harus memujinya sekarang, atau apakah ia akan diam saja seperti orang bodoh.

Vano mengecup punggung tangan Riana, yang mana saat itu tubuh Riana menegang. Ia takut, jika orang ini suatu saat tahu bahwa dirinya sudah menikah, dan tidak perawan lagi.

"Riana, aku mencintaimu sejak pandangan pertama," ungkapnya langsung.

Vano jatuh cinta pada Riana, bukan di kampus, melainkan saat Riana yang menyeberang sembarangan di tengah jalan, dan ia hampir saja menabraknya waktu itu. Ia yang turun dari mobil untuk bertanya padanya, Apakah ia baik-baik saja? Ia justru melihat tatapan mata Riana yang begitu kosong dan menghitam seperti sengaja ingin menabrakkan dirinya, da berujung mati di tengah jalan saat itu. Alhasilnya waktu itu, ia hanya diam-diam saja mengikutinya sampai di kampus. Vano yang ingin mengenalnya dan selalu dekat dengannya dia pun membuat rencana untuk menjadi dosen di kampus Riana.

Saat melihat Riana selalu dekat dengan Devan, dia langsung saja mempercepat akal-akalan konyolnya untuk menyatakan cinta padanya, sebelum Devan lebih dulu merebut Riana darinya. Karna sampai disini Vano tetap terus memperjuangkan Riana, dengan berbagai macam apa pun itu. Jika perlu dia harus menikahi Riana secepatnya, agar Riana menjadi milik seutuhnya.

Riana manarik tangannya dari Vano yang terus mengusap punggung tangannya. "Pak. Saya bukan menolakmu mentah-mentah disi-"

Vano menutup bibir Riana dengan jari telunjuknya. "I love you very much, and want to marry you."

Riana mengerjakan matanya. "Pak..."

"Jangan panggil aku pak, panggil saja namaku. Kemarilah!" Vano menarik tangan Riana untuk berdansa di tengah-tengah semua orang, yang tengah menonton mereka, dan musiknya datang dari piano dan biola.

Vano dan Riana berdansa, mata mereka saling menatap dalam-dalam. Entah kenapa dansa ini mengingatkan ia bersama Brian di masa lalu, dan Pavlo yang mengiringi musik untuk mereka. Riana berputar bersamaan air matanya menetes, ia terus teringat masa lalunya karna gara-gara dansa inilah, keluarganya jadi hancur dan berantakan dalam semalam. Ayahnya meninggal dunia, Ibu, Kakaknya pergi meninggalkannya. Brian berhianat, sampai seluruh hidupnya menderita, dan berujung bunuh diri.

Riana yang tidak kuat lagi berdansa memikirkan masa lalunya, ia langsung saja menjatuhkan tubuhnya di lantai, bersama tangisan histerisnya.

Vano berjongkok memeluknya, untuk menenangkannya. "Riana, apa kau baik-baik saja. Tidak, apa-apa, aku bisa antar dirimu pulang."

Riana menutup telinganya, kepalanya begitu pusing, seperti tidak tenang. Prustasi akutnya kambuh lagi. Ia begitu ingin teriak sekencang-kencannya di sana, dan ingin mengakhiri hidupnya saja. Dia tidak kuat lagi mengingat kembali masa lalunya yang baru saja datang.

Vano disana ikut kebingungan dibuatnya. Bagaimana cara ia menenangkan Riana? Dia merasa Riana harus di bawa pergi kerumah sakit untuk di rawat. Vano melihat Asistennya beserta supir baru datang. "Hai cepat, bawa dia kerumah sakit."

Asisten dan supir pribadinya terpaksa menggendong paksa Riana. Yang mana Riana terus saja memberontak seperti tidak sadar akan apa yang ia perbuat saat ini. Dia seperti orang gila, yang manangis teriak-teriak tidak jelas.

Saat Riana sudah di bawah kerumah sakit, para dokter langsung saja menyuntikkan ia obat bius, agar ia bisa tenang dan tidur.

"Dokter bagaimana?" tanya Vano.

Dokter itu membuka kaos tangannya. "Untung saja kalian bergegas membawanya kemari, jika tidak, urat sarafnya pasti akan putus dan mati."

Vano menutup mulutnya, tidak menyangka bahwa Riana bisa seperti itu. "Dokter, apa penyebabnya dia bisa seperti itu?" Vano sangat penasaran.

"Dia punya depresi akut, yang membuat otaknya terus bekerja untuk memaksa berpikir dan mengingat berlebihan. Pembulu darahnya yang tidak kuat merespon jalan pikirannya itulah yang kadang hampir memutuskan urat sarafnya akibat kelelahan."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan dok?"

"Dia harus di obati oleh dokter ahlinya, seperti psikologi dan juga psikiater. Dia juga harus rutin minum obat anti depresinya. Itu bisa membantunya." Dokter ahli otak menjelaskan keseluruhannya.

Vano menghela napas. Dia heran kenapa di saat mereka berdansa Riana malah seperti itu? Setiap hari ia mengajar di kelas, Riana tidak perna seperti itu. Dan penyakit itu benar-benar parah rupanya. Riana seperti perna mengalami kejadian yang sangat menakutkan.

"Terima kasih dok!" Vano mengabil resep obat yang di tuliskan dokter, untuk membelinya di apotek.

Asisten menghampiri Vano yang mengantri obat. "Tuan, nyonya sudah menunggu. Dia berkata, mana nona yang akan kau bawakan itu?"

Vano terdiam sejenak untuk membuat alasan apa yang ia katakan. Ia tidak mau sampai Ibunya tahu bahwa Riana seperti itu. "Katakan saja begini; Riana sedang tidak enak badan, dan pulang untuk istirahat saat acara makan itu selesai."

"Baik tuan." Asisten itu mengambil ponsel untuk menghubungi orang tua Vano Wilson.

Love Is Killing Me ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora