34. Apa Kabar?

153 17 1
                                    

***

Suatu kesyukuran bagi Azura karena Angkasa tidak memaksakan kehendak. Setelah lelaki itu di hadang di depan rumah Om Aihan dan ia harus kembali tanpa bertemu Azura, Angkasa tidak pernah lagi menemuinya, atau bahkan niat saja tidak ada.

Angkasa tidak mengiriminya pesan, tidak menelponnya juga seperti malam-malam sebelumnya. Sudah sekitar  seminggu terlewati tanpa Angkasa di hidupnya. Azura merasa baik-baik saja, karena tante Sarah tidak pernah membuatnya merasa kesepian. Itu awalnya. Namun hari terus berganti, Azura memasuki trimester pertamanya. Ia mual dengan hebat, lalu mengeluarkan segala isi lambungnya begitu saja, tidak punya nafsu makan, dan hanya meminum susu yang telah di rekomendasikan.

Beberapa kali Aizat membawanya ke kedai, mencoba beberapa manisan disana, serta mengajak perempuan itu untuk menonton kitchen yang sibuk sekali, lalu sesekali Azura membantu di bagian kasir. Aizat melarangnya, namun perempuan itu berdalih, ingin mencari kesibukan agar pikirannya tidak terus menerus berpikiran buruk tentang kandungannya.

Bahkan saat kondisinya seperti itu, Angkasa tidak menemuinya. Apa lelaki itu benar-benar tidak memikirkannya sedikit saja? Ia merasa sedih, karena terus berjuang sendiri.

Puncaknya adalah malam minggu tadi. Azura memuntahkan semua isi perutnya yang ia paksa masuk pas makan malam tadi, lalu setelah keluar dari kamar mandi, kakinya keram dan sakitnya datang sedikit demi sedikit, menggigit telapak kakinya, lalu menjalar ke atas bagian betis sampai pahanya. Dan wanita itu jatuh pingsan.

Sayangnya, saat membuka mata dan menemukan raung serba putih yang begitu di kenalinya, ia masih belum menemukan Angkasa disana.

"Bintang, kamu baik-baik, aja? Ada yang sakit?" Perempuan itu mengerjap pelan, menyingkirkan gelap yang masih tersisa di pandangannya, lalu sebuah wajah indah menemuinya. Sayangnya, bukan wajah itu yang ia mau.

Perempuan itu mengangguk, lalu memijat keningnya yang terasa pusing. "Tante Sarah mana?"

Aizat menangkup tangannya, membawanya dalam ciuman hangat. "Lagi di luar sama Om Aidan"

Mendengar nama Ayah mertuanya di sebut, Azura menegakkan kepala, tatapannya tertuju pada Aizat, dan seolah-olah lelaki itu memahami, ia mengangguk. "Angkasa ada, dia di luar. Tapi nggak di bolehin masuk sama Om Aihan"

Dan Azura berkaca-kaca. Ia sangat rindu suaminya. "Aku ingin ketemu..."

***

Angkasa duduk di kursi tunggu pasien, menatap punggung Azura yang kini membelakanginya.

Ia jadi gagu, tidak tahu harus memulai dari mana, namun setelah keheningan menyelimuti mereka, Angkasa bersuara. "Apa kabar?"

Tidak ada jawaban, sampai dua menit kemudian yang sangat menyiksa, Angkasa mendapati punggung itu bergetar, di ikuti dengan isak lirih Azura.

Angkasa tidak tahu harus berbuat apa, jadi ia hanya menonton Azura menangis. Namun setelah beberapa menit berlalu, isaknya semakin terdengar, Angkasa kalang kabut, takut Om Aihan masuk dan kembali menyeretnya keluar karena membuat Azura menangis lagi, jadi dia putuskan naik ke ranjang pasien yang muat untuk dua orang walaupun harus merasa sempit, membalik Azura dan membawanya dalam pelukan, meredamkan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Angkasa mengusap punggung istrinya, menenangkannya dengan membisikan kalimat-kalimat yang penuh janji akan sebuah hubungan. "Hustt, aku ada di sini, kok. Nggak bakal ninggalin kamu", katanya berulang-ulang. Lelaki itu mencium puncak kepala istrinya bertubi-tubi.

Setelah Azura merasa tenang dan tidak lagi terisak, Angkasa melonggarkan pelukannya, menatap waja sembab yang sangat di rindukannya. "Aku kangen banget." Bisiknya. Dan Azura membalas, "Aku juga", dengan sama bisiknya.

Lalu sentuhan lembut di sudut bibirnya membuat dadanya terasa sesak. Azura melihat wajah suaminya begitu dekat, terpejam menikmati dirinya yang sama rindunya. Tidak ada tuntutan disana, hanya ada lembut dan hangat, juga asin yang tersisa dari air mata dan ingusnya.

Azura membuka mata, menatap Angkasa yang kini menatapnya juga. Lelaki itu memainkan pipunya dengan ibu jari, mengusapnya lembut. Ada hangat disana.

"Kamu nggak akan tinggalin aku lagi?" Tanyanya. Dan Angkasa mengangguk yakin. "Kamu pulang yah? Kita tinggal di rumah Ayah, atau kalau kamu tidak ingin, kita bisa tinggal di apartmenku"

Azura menggeleng, "Di rumah Ayah, aja. Aku masih mual hebat"

Angkasa mengangguk lagi, lalu tangannya turun, mengusap pelan perut yang mulai membuncit. "Maafin aku, yah..."

Azura mengangguk, menjawabnya dengan tindakan. Wanita itu kemudian merangsek masuk lagi di pelukan suaminya.

"Kita baikan, yah!"

***

Ini pendek banget, maaf...
Tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan niat. Yang penting ada sedikit kabar tentang hubungan mereka.

Makasih udah mampir yah...

See you, bye.

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang