20. Prioritas

106 16 2
                                    

***

Ketika keadaan harus membuat mu memilih, maka kamu akan menjadi orang paling jahat sedunia, entah itu pada dirimu sendiri, atau pada diri orang lain.

Angkasa memang sudah berjanji bahwa ia akan menetap disini sementara waktu sebelum kemudian mengurus urusan kuliahnya, namun janji itu tidak ia katakan pada Azura, sehingga ketika Anara memintanya untuk menemaninya menghadiri pesta pernikahan sepupunya, Angkasa tidak bisa bilang tidak.

Dan disinilah ia sekarang, di salah satu ballroom hotel paling terkenal di jakarta. Setelah membohongi Azura bahwa ia harus mendaftarkan jadwal wisudanya.

Entah akan sampai kapan Angkasa menyakiti gadis itu, Padahal baru seminggu yang lalu kejadian mengerikan itu.

Pantaslah Aizat sekarang begitu tidak menyukainya, lebih lagi ketika mendapati fakta bahwa Angkasa dan Anara sama sekali belum berakhir, lelaki itu tahu karena mereka bertemu di pesta beberapa menit yang lalu.

Angkasa merasa di kuliti habis-habisan karena Aizat terus memandanginya dengan pandangan yang seolah ingin menelanjanginya, lelaki itu tahu betul bahwa Aizat tidak akan pernah membiarkannya setelah hari ini.

Mempelai perempuan adalah teman kelas Aizat saat kuliah dulu, dan setelah naik ke panggung untuk memberi ucapan selamat tadi, Aizat masih duduk di tempatnya bersama kawan-kawannya yang lain, dan jangan lupakan mata tajam itu yang memandanginya.

Angkasa mencoba tidak peduli, hingga beberapa saat kemudian ia tak mendapati lagi Aizat di manapun, apakah Angkasa merasa lega? Oh tentu. Karena sesungguhnya ia benar-benar khawatir sekarang. Angkasa tahu betul ia sudah keterlaluan hari ini.

Saat melihat Anara masih sibuk bercanda dengan beberapa keluarga jauhnya, Angkasa mengasingkan diri, mencari toilet untuk sekedar menyegarkan wajahnya. Lelaki itu berdiri di depan washtafel, memandang dirinya yang entah mengapa tiba-tiba merasa gugup, ia membasuh tangannya, lalu meraih tisu dan mengeringkannya, merapikan letak kerah jasnya dan...

Aizat keluar dari salah satu pintu toilet di belakangnya. Oke, ia gugup karena ini.

Aizat mengambil tempat di sampingnya, tidak terlalu dekat, lelaki itu membasuh tangannya juga, lalu mengeringkannya, kemudian mengantongi kedua tangan itu di saku celana, dan ia menghadap Angkasa.

"Gue tahu ini akan terjadi..."

"lo tahu,kan, kalo Gue akan seserius itu soal Bintang?"

Angkasa menatapnya, sebisa mungkin menjaga mimik wajah. "Bukan urusan Lo".

"Urusan gue. Karena Lo lagi main-main sama orang yang Gue sayang..."

"Satu kali aja. Satu kali aja Lo buat Bintang nangis, Lo tahu akibatnya"

Kalimat itu penuh ancaman, bahkan ketika Aizat keluar dari sana, Angkasa masih merasa atmosfer ketegangan itu.

Angkasa tidak lemah, ia tidak kalah oleh Aizat, hanya saja entah mengapa kebohongan ini membuatnya gugup, takut, resah, apabila Azura mengetahuinya. Gadis itu pasti sangat kecewa.

***

Sore hari Angkasa kembali ke Malang. Walau sekarang rumah itu hanya di huni beberapa orang, namun tetap terasa hangat. Banyak kenangan disana, di teras rumah yang selalu di isi oleh jokes bapak-bapak sembari membaca koran. Di ruang tamu yang tidak pernah beres dan seperti kapal pecah karena si kembar Aila dan Aika sewaktu kecilnya benar-benar aktif sekali. Lalu di ruang makan, yang semua orang berkumpul dengan hangatnya masing-masing mangkuk sup. Halaman belakang, balkon lantai dua, dan terakhir... Makam usang di bawah pohon.

Angkasa menatap Azura yang tengah duduk disana, diantara dua makam usang itu. Tidak ada lagi air mata, hanya ada raut sedih yang tertutupi ketegaran, sampai disini bolehkah Angkasa berkata bahwa Azura benar-benar kesepian sebenarnya?

This is HurtWhere stories live. Discover now