24. Pengakuan Aizat

128 15 4
                                    

***

Azura lebih dulu meninggalkan kamar saat matahari sudah naik. Sejujurnya ia berusaha menghindar untuk sementara waktu, karena tidak tahu harus menyikapi Angkasa pagi ini setelah mereka melewati malam yang berharga-bagi Azura.

Ia ikut bergabung dengan suasana dapur yang sudah mulai sibuk, Ada mertuanya yang sedang memasak bubur ayam dan lontong sayur. "Bintang minta maaf yah, Bu! Baru bangun." Ia mendekati mertuanya dengan kedua tangan yang terangkat keatas, menyimpul rambutnya asal, menyisakan beberapa anak rambut yang masih berjatuhan di bagian dua samping wajahnya.

Mertuanya membalasnya dengan senyum, sementara dua tangannya masih sibuk dengan panci. Wanita tua itu kemudian meliriknya sebentar, lalu kembali pada panci yang isinya lontong sayur, hanya sesaat, karena wanita itu kembali menatapnya, tepatnya pada bagian dadanya, lalu setelah itu Azura mendapati mertuanya menatapnya dengan pandangan menggoda.

Azura mengikuti arah pandang mertuanya, mendapati beberapa warna ungu di dekat dadanya. Ia kemudian menutupi bagian itu dengan canggung karena sekarang Ibu Anggi mengerlingkan mata padanya. Sumpah, ia malu sekali.

"Nggak apa-apa, kok. Kita sama-sama" katanya sambil menunjukkan lekukan lehernya yang menampilkan hal yang sama.

Wanita itu terlalu jujur, membuat Azura tersenyum malu.

Lalu saat semua makanan telah tersaji di meja, Aidan datang dengan pakaian kasualnya. Lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya.

Suara tapak kaki yang menuruni tangga membuat Azura menoleh, mendapati Angkasa yang sedang menghampiri meja makan dengan kaos putihnya, dan lagi-lagi dengan trainingnya. Kenapa lelaki itu suka sekali memakai training?

Tatap keduanya bertemu, Azura memberi senyum tulus, namun lelaki itu tampak canggung. Ia berdehem lalu mengambil duduk di sebelah Ayahnya.

"Heh, duduk disana. Sama Azura". Dan lelaki itu bergerak malas, berdiri untuk selanjutnya berpindah di sisi Azura.

Lagi-lagi lelaki itu berdehem, seolah-olah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. Angkasa menuang air minum untuk selanjutnya ia teguk.

Azura tidak memperhatikan lelaki itu, ia meraih mangkuk di dekatnya sebelum bertanya, "Kamu mau makan apa?"

Dan lelaki itu menunjuk lontong sayur di dekat Ibunya. Azura berdiri untuk bisa menggapai makanan itu, lalu menyendokan isinya ke dalam mangkuk di satu tangannya.

"Makasih." Azura membalasnya dengan gumaman ringan.

Sejujurnya, Azura tidak berharap banyak, karena ia tahu hal ini akan terjadi, bahkan setelah apa yang mereka lakukan, itu tak merubah apapun tentang perasaan Angkasa padanya, atau memang sebenarnya tidak ada sama sekali kesempatan baginya.

Sepanjang sarapan pagi tadi, Azura menikmati makanannya dengan pikiran yang kemana-mana, ia bahkan masih merasa perih di bawah sana, dan mendapati respon Angkasa tadi pagi membuatnya kembali berfikir. Apakah ia menyesal? Bisa saja. Karena Angkasa tidak membicarakan hal itu lagi bahkan ketika Azura sudah di bandara untuk kembali ke malang.

***

Di sela-sela istirahat makan siang, Anara dengan terpaksa menemui Abyasa karena lelaki itu mengancam akan menemuinya ke kantor jika ia tak menerima ajakan makan siangnya kali ini. Perempuan itu berjalan ke arah salah satu meja yang disana sudah ada Abyasa.

Anara dengan kemeja marunnya dan pencil skirt hitam serta kaca mata yang bertengger di hidungnya menghampiri, menaruh tas lengannya di atas meja. "Kamu kenapa sih, Mas!" Todongnya.

Lelaki di depannya tak menggubsir, meraih satu tangan Anara dan menciumnya. "Kamu belum hamil?" Tanyanya. Enteng sekali lelaki itu berbicara.

"Kamu gila? Mas, berhenti ganggu aku." Anara menarik tangannya, dan menatap lelaki didepannya dengan tajam. "Yang kemarin itu juga kesalahan..., Anggap aja nggak ada yang tertinggal"

This is HurtOnde histórias criam vida. Descubra agora