Harapan

6 2 0
                                    

Happy Reading🐞

-
Z
-

      Pulang malam itu sebuah musibah, ditambah rintik hujan yang meresahkan. Malang sungguh malang nasibku ini, ayah tidak jadi menjemput dikarenakan ada pekerjaan mendadak sedangkan kakak yang kuandalkan malah harus masuk malam ini.

Di bawah pohon yang rindang aku menunggu sebuah kendaraan yang lewat berharap akan ada seseorang yang mengenaliku dan mengajakku pulang bersama.

Harapan tinggallah harapan, sejak 20 menit lalu jangankan ada kendaraan lewat jangkrik pun seakan enggan untuk bersuara malam ini.

Entah sejak kapan semua teman-teman kerjaku sudah pulang dijemput oleh orang-orang tersayang, sekarang hanya aku seorang diri yang berdiri di bawah pohon dengan rintik hujan.

Angin malam ini terasa begitu dingin, rintik hujannya menenangkan. Namun, mengerikan seolah-olah ada sesuatu yang buruk bersembunyi di balik gelapnya malam. Aku menimbang-nimbang, tidak mungkin jika terus menunggu tanpa tahu kapan hujannya akan reda,  tetapi jika aku memaksa untuk menerobos hujan maka aku akan terkena penyakit flu atau bahkan yang lebih parah dari dugaanku.

Sebuah siluet mengganggu pikiranku. Seseorang terlihat berdiri di tengah-tengah hujan, aku pun menyerngit bingung. Siapa orang itu? Sedang apa dan kenapa? Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini.

Dia hanya berdiam diri, terlihat sorot matanya menatap tajam diriku. Dengan merapatkan jaket, aku akan menetapkan hati untuk menerobos hujan, aku tidak sanggup jika hanya berdiam diri dengan gelisah tanpa seorangpun yang menemaniku.

Ponselku sudah kehabisan batrai sejak tadi sore, jadi tidak mungkin untuk menelpon seseorang atau pun keluarga. Aku berharap orang rumah mencemaskanku dan meminta seseorang untuk menjemputku, tetapi itu tidak terjadi.

Aku berjalan, rintik airnya masuk menerobos dari celah-celah jaket yang kukenakan. Dingin, itu yang kurasakan sekarang.

Aku menengok ke belakang berharap tidak melihat siluet itu lagi, tetapi nyatanya sosok itu malah terlihat semakin mendekat, bisa kulihat kapak yang berada di tangan kanannya.

Jantungku seakan berpacu dengan begitu cepat, aku berjalan setengah berlari sambil menengok kanan, kiri dan belakang, berharap sosok itu hilang di anatara gerimis hujan.

Bruk.

Aku terjatuh, badanku terhempas ke tengah jalan aspal yang dingin, sangat dingin, genangan air itu bahkan terlihat sedikit memerah, mungkin karna tercampur oleh luka yang tidak aku sadari.

Aku mendongkak mencoba melihat siapa yang tidak sengaja aku tabrak, rintik hujan membuat mataku kabur. Sebelum sempat aku melihat dengan jelas seseorang itu menyeret lengganku dengan kasar, membawaku kesuatu tempat paling gelap yang tidak pernah aku bayangkan.

Aku terbangun dengan rasa sakit di kepala dan sekujur tubuh, tetapi tidak seberapa dengan rasa sakit dan takut yang hinggap di hati dan pikiranku.

Di sini pencahayaannya tamaram, membuatku sedikit merinding, suara rintik hujan masih bisa kudengar dari dalam. Hujan ini seolah-olah pertanda dari alam semesta, bahwa mereka sedang mempermainkan diriku, gadis yang tampak tidak berdaya namun memiliki harapan yang tiada tara.

Suara tawa menggelegar dari belakang mebuatku tersentak dari lamunan yang membingungkan.

"Siapa ... siapa di sana?" tanyaku dengan nada bergetar, berharap seseorang itu adalah orang baik penyelamat hidupku.

Ternyata salah, orang itu bukan orang baik karna jika dia baik dia akan segera membantuku bukan menertawakan kemalanganku, bahkan aku baru menyadari jika tangan dan kakiku kini sudah terikan dengan kain.

"Tolong aku  ... tolong lepaskan aku ...."

Diam, orang itu tidak menjawab, tawanya pun sudah berhenti sedari tadi. Aku duduk di kursi dengan cemas berharap bahwa ini semua hanyalah  mimpi buruk, mimpi yang tidak akan dan tidak mungkin menjadi kenyataan.

"Tolong aku, hiks ...."

Butiran air bening itu keluar dengan tiba-tiba, mengalir tanpa diminta dan menjadi aliran kecil tanpa disuruh.

Aku termenung mencoba menerka apa yang sudah aku lakukan dan apa dosa yang sudah kuperbuat sehingga takdir membawaku ke tempat seperti ini, tempat yang amat menakutkan, tempat yang membuatku putus asa, tempat yang seakan-akan membunuh jiwa dan hidupku.

"Tolong ...."

"Hidupmu tidak akan lama, jadi berhentilah meminta tolong." Jawaban itu seakan menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam benakku. Sekarang pertanyaanku hanya satu, "Salahku apa padamu?"

"Tidak bisa kesebutkan, mau main game?"

"Game? Game apa?"

"Kamu cukup duduk dan menjawab pertanyaanku," katanya dengan nada pelan yang nyaris tidak terdengar.

Aku pun tersenyum sinis lalu berucap, "Buat apa aku menjawab pertanyaanmu jika aku tidak bisa bebas dengan menjawabnya?"

"Gadis pintar."

"Kamu mau apa dariku?"

"Aku hanya mau kebahagiaan yang datang menghampirimu."

"Kapan terakhir kali aku merasa bahagia?" tanyaku pada diriku sendiri.

"Sekarang, kamu masih hidup kan?" tanyanya dengan tiba-tiba.

"Iya ...." Ucapan itu ada benarnya, buat apa aku menyanggah fakta bahwa kehidupan membawa kebahagiaan.

"Kenapa bersedih?" tanyanya seakan-akan merasakan kesedihan yang aku alami saat ini.

"Kenapa aku harus bahagia jika aku akan tiada?"

"Setidaknya kamu tidak akan menderita lebih lama lagi."

"Kehidupan hanyalah sebuah harapan, jika hidupku selalu menderita itu tidak apa karna masih ada harapan dalam diriku."

"Kamu terlalu polos atau naif?"

"Menurutmu?"

"Sudahlah harapan itu sudah hilang, kematian yang akan datang."

"Jika kematian membuatku tenang bolehkan aku mengharapkan kebahagiaan setelah kematian?"

"Tidak apa! Kematian ini akan membawamu kepada kabahagiaan," katanya dengan nada lembut, sedikit menenangkan namun juga menakutkan.

"Hmm ... ucapanmu sungguh manis sekali, apakah ini makan malam terakhir sebelum aku tiada?"

"Haha ... gadis pintar!" katanya dengan diiringi tawa yang menggema di seluruh ruangan.

"Kamu siapa?" tanyaku sekali lagi, sebelum kematian itu benar-benar akan datang menghampiriku .

"Masa lalumu."

"Oh, shit!"

"Haha ... haha ...."

Tawa itu begitu menggelegar memenuhi ruangan sempit ini, seseorang berjubah berjalan ke hadapanku mengeluarkan benda tajam yang berkilau dari balik jubahnya.

Sebuah pisau kecil itu menyilaukan mataku, tawa jahat itu memekakan telingaku, tanpa aku sadari benda dingin itu menggores leherku dengan cepat, saking cepatnya aku tidak bisa mendeskripsikan apa pun mengenai apa yang sedang aku rasakan. Mataku pun mulai terpejam mungkin untuk selamanya.

The End:)


30 Maret 2023

Kumpulan Cermin Where stories live. Discover now