Zico memutar bola matanya. "Tentu saja kami tahu, Jisoo, walaupun kami tidak tahu apa alasannya. Sudah berapa tahun kita tinggal bersama? Selama itu kami belum pernah melihatmu bersama laki-laki manapun. Jangankan pacar, kau bahkan juga tidak punya teman berjenis kelamin laki-laki. Kecuali aku, tentu saja, tapi itu kasus yang berbeda."

Jisoo meletakkan garpu dan memeluk kakinya.

"Kau mau membicarakan alasannya?" Tanya Zico.

"Tidak," jawab Jisoo cepat.

Zico menghembuskan napas pelan. "Baiklah. Kita bicarakan laki-laki ini saja. Apa masalahmu dengannya? Kau tadi bilang dia tidak menganggumu."

"Memang tidak."

"Dia baik?"

Jisoo mengangkat bahu. "Yah.... Bisa dibilang begitu."

"Dia tampan?"

"Apakah itu adalah hubungan?"

"Banyak! Nah, dia tampan atau tidak?"

Jisoo terdiam sejenak, lalu bergumam, "Lumayan."

Zico bersandar kembali. "Baiklah. Jadi dia baik dan juga tampan. Sejauh ini aku tidak melihat ada masalah."

Jisoo menarik napas panjang, menoleh keluar jendela, lalu bergumam. "Dia... Dia mengingatkan ku pada hal-hal yang tidak pernah ingin ku ingat lagi."

Zico menatap Jisoo sejenak. "Maksudmu, dia mengingatmu pada seseorang dimasa lalumu? Seseorang yang tidak menyenangkan?" Tanyanya pelan.

Jisoo menoleh kearah sahabatnya dan tersenyum masam. "Aku lupa kau pintar membaca pikiran wanita," gerutunya.

Zico tidak menghiraukan kata-katanya dan terus bertanya, "Tapi seseorang dimasa lalumu itu bukan dia, kan?"

"Bukan."

"Lalu kenapa kau menyamakan orang itu dengan dia?"

"Aku tidak...."

"Tidak?" Tanya Zico dengan alis terangkat. Lalu ia mendesah pelan dan mencondongkan tubuh ke depan dan menggenggam tangan Jisoo. "Dengar, Jisoo, aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin kau pernah terluka karena seorang laki-laki. Atau mungkin alasannya sama sekali berbeda. Entahlah. Hanya kau yang tahu. Tapi kau harus tahu bahwa tidak semua laki-laki itu sama. Rasanya tidak adil memusuhi semua laki-laki hanya karena kesalahan satu orang. Terutama apabila laki-laki itu sebaik yang kau katakan tadi." Zico tersenyum. "Laki-laki yang normal, tampan, dan baik, sulit didapatkan, kau tahu?"

Jisoo ikut tersenyum mendengarnya. "Aku tidak bermaksud menjalin hubungannya dengannya, kau tahu?"

"Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya berteman, bukan?" Kata Zico ringan. "Kalau dia ternyata tidak sebaik yang kau kira, atau kalau dia macam-macam padamu, kau punya aku disini. Begini-begini aku bisa menendangnya sampai ke negara tetangga, kau tahu? Atau Jennie bisa meminta salah seorang pengawal pribadi ayahnya menghabisinya ditempat."

Seulas senyum mulai tersungging disudut bibir Jisoo.

Zico ikut tersenyum. "Tapi kalau nantinya dia memang terbukti baik dan kalau kau memang tidak tertarik padanya, kau boleh melemparkannya kepadaku. Siapa tahu....?"

Kali ini Jisoo tertawa.

"Baguslah kau sudah tertawa. Sekarang habiskan penekukmu dan pergi mandi," kata Zico puas. Lalu ia terdiam sejenak dan mengerjap. "Astaga, aku benar-benar terdengar seperti ibu-ibu."

                                 ***

Kafe kecil khas Inggris di West End itu terlihat ramai. Bukan oleh para tamu yang ingin menikmati secangkir teh atau sandwich mentimun, tapi oleh para staf produksi video musik yang saling mengobrol dan berseru dalam bahasa Korea. Sementara para stafnya sibuk mempersiapkan semuanya, Jang Taeyoo duduk diluar kafe, menempati salah satu meja bundar bercat putih di trotoar, dengan secangkir kopi panas dihadapannya. Langit siang itu terlihat mendung, tetapi Jang Taeyoo sama sekali tidak khawatir. Syuting hari ini seluruhnya akan dilakukan didalam ruangan.

LOVE IT Where stories live. Discover now