5✓

247 48 6
                                    

 Keesokan paginya Aaron Zico berdiri didepan jendela dapur dan cemberut menatap langit mendung diluar. Ia memang sudah terbiasa dengan cuaca kota London yang tidak menentu, tetapi itu tidak berarti ia menyukainya. Zico menyesap tehnya, lalu kembali memusatkan perhatian pada adonan penekuk diatas meja dan menghela napas. Zico suka memasak, dan ia meyakini kata-kata ibunya sejak ia masih kecil, bahwa sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Sayang sekali kedua sahabatnya tidak meyakini hal yang sama. Jennie hanya perlu secangkir kopi di pagi hari dan Jisoo terlalu sibuk untuk makan. Kalau tidak ada Zico disini, kedua gadis itu pasti sudah kering kerontang seperti tengkorak.

Zico mendongak ketika pintu kamar Jisoo terbuka dan Jisoo yang terbungkus baju tidur muncul dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di sekeliling matanya.

"Astaga, apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tidak tidur semalaman." Kata Zico.

"Tidak bisa tidur," gumam Jisoo dengan suara serak sementara ia duduk disalah satu dari tiga kursi kayu di meja makan dan mengangkan kedua kaki keatas kursi.

"Tunggu sebentar," kata Zico cepat. "Akan ku tuangkan teh untukmu, lalu kau bisa menceritakannya padaku."

"Cerita tentang apa?"

"Jangan pura-pura bodoh, Sayang." Kata Zico sambil meletakkan secangkir teh yang mengepul didepan Jisoo, lalu duduk dihadapannya. "Aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu bahwa kau sedang ada masalah. Sekarang kau boleh menceritakannya padaku sambil makan. Ini penekuknya dan ini madunya. Aku tahu kau suka makan penekuk dengan madu."

 Jisoo tersenyum kecil ketika Zico mendorong sepiring penekuk hangat kearahnya. "Kau terdengar seperti ibuku," gumamnya pelan.
 
"Seseorang memang harus berperan sebagai ibu kalau ada kau dan Jennie disini," omel Zico. Tetapi kemudian ia tersenyum ketika melihat Jisoo mulai  melahap penekuknya. "Sekarang ceritakan padaku apa yang membuatmu tidak bisa tidur semalaman?"

"Dimana Jennie? Belum bangun?"

"Dia sudah pergi pagi-pagi tadi. Katanya ada audisi," sahut Zico.

Jisoo mengangguk-angguk.

"Sekarang ceritakan padaku sebelum kesabaran ku habis," desak Zico.

Jisoo meringis dan melahap penekuknya lagi. Kemudian ia ragu sejenak, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang tepat, lalu berkata dengan hati-hati. "Ada seorang laki-laki."

Alis Zico terangkat heran. Selama ia mengenal Jisoo, ia belum pernah mendengar Jisoo membicarakan laki-laki manapun. "Laki-laki? Siapa?"

"Rekan kerjaku,"  lanjut Jisoo tanpa menatap Zico. "Lawan main ku untuk video musik ini. Dia..."

"Dia menganggu mu?" Tebak Zico dengan alis berkerut.

Jisoo mengangkat wajah dan cepat-cepat menggeleng. "Tidak. Tidak, dia tidak.... Maksudku tidak seperti itu." Lalu ia mengalihkan tatapan keluar jendela. "Dia tidak menganggu ku."

Ketika Jisoo masih diam, Zico menebak lagi. "Kalau begitu, dia merayu mu?" 

Jisoo kembali menunduk. "Tidak, dia tidak seperti itu." Gumamnya sambil menghela napas.

"Lalu apa?" Zico mengerang, terlalu penasaran untuk bersikap sabar.

Jisoo menggigit bibir sejenak, lalu mengangkat wajah menatap Zico dan berkata, "Tidak apa-apa. Sama sekali tidak apa-apa." Jisoo mengangkat bahu. "Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tidak pernah merasa nyaman bersama.... Laki-laki dan...."

"Aku tahu," sela Zico. Ketika Jisoo menatapnya dengan bingung, ia menambahkan, "Jennie juga tahu."

"Kalian tahu?" Jisoo menatapnya dengan heran.

LOVE IT Donde viven las historias. Descúbrelo ahora