Bagian 2

35 13 0
                                    

Aku tak tau apa yang sedang dia lakukan, dia berada di luar negeri. Yang pasti dia jauh dari pandangan mataku sekarang ini. Dia menepati janjinya untuk mengejar impiannya, membangun mimpi setinggi-tingginya.

Sedangkan tak jauh dari danau ini, aku masih berdiri di kota kecil. Lampiran hari-hariku mungkin telah di penuhi catatan-catatan kegiatan, yang hanya sekedar menghabiskan sore menunggu senja melingsir. Sangat absurd.

Hamparan danau membentang luas, diapit oleh bukit-bukit di sampingnya, airnya jernih dan segar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hamparan danau membentang luas, diapit oleh bukit-bukit di sampingnya, airnya jernih dan segar. Terpancar samar-samar bayangan matahari di permukaan. Bayangannya masih diam terpaku walaupun butiran ombak menghantam pelan. Aku di sini hanya di temani capung-capung, mereka terbang berkelok-kelok, namun seimbang di atas pancaran jingga permukaan air. Alam sekitar mempengaruhi kondisi dan hawanya juga, seperti perbukitan sekitar sini, memberikan udara yang segar dan sejuk.

Semua yang berada di dunia memiliki keharmonisan masing-masing, halnya manusia; Laksana sore yang damai, pelengkap bagi penatnya hari, genap diwarnai dengan senja yang mulai raib, untuk jemput mesra ketenangan malam.

Ke-taksanggupanku berharap diam, daripada berkata dari keharmonisanku dengan violet. Keseriusan ini mendatangkan harapan yang tak lama akan layu, mendatangkan kesakitan karena tunggu. Tapi aku yang berani bertaruh, bahwa cinta adalah segalanya yang tak terbelenggu oleh jarak dan waktu. Aku memilikinya. Aku meyakini ini menyakitkan, namun dari perasaan itulah masa laluku itu terbelenggu oleh akrabnya keadaan.

Kenangan tetaplah menjadi ingatan yang bersemayam samar, bisa jadi kapan-kapan mengeruhi hati yang tak terisi. Entah apa yang kenangan lakukan di dalamnya, mengobrak-abrik atau bisa juga men-sistematiskan kondisi.

Masalah tentang kenangan itu, ia telah menjadi benang yang mulai merajut samarnya ingatan dalam hatiku, lalu membentuk sebagai kantong yang kosong akan temu. Aku semakin takjub saat menatap sabarnya senja, ia tak gusar, tapi malah bersabar sampai hawa-angin yang sejuk bersama para capung ikut serta menemani raibnya. Romantis bukan?

"Apakah ini rindu?" tanyaku dalam sepi, pada diriku sendiri.

Aku belajar dari sinar jingga yang menyelubung langit-langit sore, bahwa ia tak peduli betapapun luas lautan langit, senja masih tetap akan memberikan pancaran kebahagiaan, sekalipun pada detik-detik akhir tenggelam. Aku hanya bisa membisu-sabar, sekedar menunggu dan menunggu. Hanya itu yang kubisa, tak lebih dari seorang bisu dengan isyarat yang orang lain tak tau.

Dengan danau yang jernih, aku tak sengaja telah membuat jadwal pertemuan dengan psikolog yang menyembuhkan mentalku secara alami. Langit gelap mulai melahap soreku yang damai. Masih menyisakan corak jingga yang menyorot cakrawala, seperti rasa ini, tunggu yang tersorot obor rindu. Aku di sini adalah janji di dalam kendi, yang kusimpan sejak kata janji memerlukan bukti.

Lukisan Senja Di Ujung TemuWhere stories live. Discover now