79. Lega.

1.5K 182 12
                                    

"Aku nanya serius kenapa selalu mikir aku mesum si?" tanya Alec memegang pipi, ini ada pasien digemplang sama dokternya.

"Kan kamu biasa mesum," balas Anggi kesal.

"Aku tanya serius," balas Alec.

Masih berkacak pinggang Anggi memandang ke arah mantan yang kurang ajar itu. Dia masih masih ganteng dan malah makin hot, hanya memakai celana panjang dengan separuh badan tidak memakai apapun. Menelan ludah mengingatkan diri kalau manusia laknad di depannya itu adalah pasien yang kebetulan memang sudah sangat dikenalnya, dikenal suka main wanita. Dan dia tadi menanyakan itu, tidak sopan.

"Maksudnya apa nanya begitu? Bosen hidup?" tanya Anggi setelah amarah mereda.

"Cuma pengen tau, dan aku nanya serius. Kan anak pertama lahir aku gak tau. Ya tau udah gede," balas Alec menjelaskan dengan susah payah agar tidak ditampol lagi. "Kan aku juga mikir buat bikin adeknya."

"Terus maksud kamu apa?" tanya Anggi galak.

"Aku penasaran, sungguh. Aku ini gak ngerti, makanya nanya. Kan gak mungkin anak kamu netes dari telur kinderjoi." Alec berkata sekenanya.

"Enak aja bilang netes dari kinderjoi, itu aku keluarin dia susah payah tau," gerutu Anggi.

"Lah iya, maap. Itu makanya aku tanya. Tinggal jawab apa susahnya," gumam Alec yang masih menikmati rebahan.

Anggi mengambil kursi, yang tadi emang menyebalkan tapi lama-lama dia juga penasaran kenapa ada pertanyaan seperti itu. Ini bukan pembahasan juga pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang cowok. Hanya pembahasan oleh emak-emak yang begitu melihat ada bayi pasti yang ditanya usia, sudah bisa apa dan lahirnya normal apa SC.

"Jadi, apa yang buat kamu nanya begitu?" tanya Anggi.

"Kemarin, pas renang bareng sama Jully, aku tuh lihat ada bekas luka panjang di sini. Katanya dia keluarkan anakku dari situ dulu. Kan aku jadi kepikiran," kata Alec menunjuk perut bagian bawah.

"Oh jadi Aleccia lahirnya SC, kepikiran kenapa?" tanyanya.

Alec berpikir sejenak. "Sakit gak itu?" tanyanya.

"Pas proses mana sakit kan sudah ada anestesi regional. Kalo gak pake dibius maksud kamu apa? Orang hidup dibelek." Anggi menjelaskan dengan galak.

"Iya gak sakit pas itu, trus kan itu luka," gumamnya bingung.

"Emang luka namanya aja dibelek, sayatan dobel luka juga dobel, jahitan ya dobel lah." Anggi bangkit mengambil sebuah spatel dan diletakkan di perut bawah Alec dengan sedikit ditekan. "Dari tadi nanya sakit apa gak, ini kamu pake napas ketarik gak?" tanyanya.

"Iya," gumam Alec pelan.

"Coba pake batuk, pake ketawa, ketarik gak? Rasanya?" tanyanya galak.

"Ya iyalah," balas Alec.

"Ya sudah, dan bayangin ada luka sepanjang itu di situ. Masih juga kudu nyambi momong bayi." Anggi berdecih tertawa.

Alec terdiam, tadi sekilas dijelaskan juga kalau sebelum itu diberi anestesi dan operasi dilakukan dalam keadaan sadar. Tulangnya yang retak saja sakitnya minta ampun dan itu tulang punggung sehat ditusuk sesuatu. Alec belum pernah mengalami apa itu, tapi jadi overthinking dan dalam pikirannya itu pasti sakit.

"Nggi, itu kalo lewat jendela ya, terus kalo yang gak lewat situ gimana?" tanyanya.

"Yang normal?" tanya Anggi dan Alec segera  mengangguk. "Vaginal birth? Ya kamu nabung kecebongnya kamu masukin mana, yaitu keluar dari situ."

"Hah, kan kecil." Alec membayangkan yang nganu.

"Iya emang kecil, cuma ya emang gitu lewat situ. Nanti melar sendiri itu sudah alaminya betina, eh wanita." Anggi menepuk dada sombong.

"Melar? Oh berarti aman," ucap Alec mesem, nanti lahiran lewat situ saja jangan keluar lewat jendela biar emaknya tidak dibelek.

"Aman apanya, kuciiiing? Ya gak melar doang, yang beruntung cuma melar doang lah yang kaga? Robek weh. Kepala bayi gede begitu. Kalo kelamaan itu pake diepis, digunting biar cepet. Kaga ngerti kan kamu?" tanya Anggi mengomel.

"Hah?" Alec yang baru tenang jadi overthinking lagi.

"Dan, karena di bagian situ, kebayang kalo sedang kebelet, meriang men." Anggi semakin menakuti dan Alec semakin menelan ludah.

Membuat seorang bad boy berpikir tentang orang membelah diri itu lucu, memang kaum lelaki juga perlu diedukasi agar tidak memudahkan saja. Ingin punya anak selusin, iya dia tinggal nabung dan bekerja. Yang membawa dalam perut dan mengurusnya ini perlu kesehatan dan kewarasan. Dia menyuruh Alec bangun dan memakai kembali kaosnya. Cukup membuatnya kepikiran dengan imut begitu. Dibukanya pintu ruang yang terhubung dengan ruang tengah itu.

"Minum dulu lah biar gak stress. Nih titip anakku." Anggi menggendong bayi yang baru beberapa bulan itu.

Si bayi yang baru saja berada di dalam pelukannya itu mendongak, menatap siapa yang sedang menggendongnya itu, aroma dan detak jantungnya terdengar berbeda. Tangan mungil itu erat memegangi kaosnya, dan iler itu sudah sampai dagu. Mungkin sebentar lagi akan menetes ke tangan.

"Cute, huh?" tanya Anggi menyodorkan jus jeruk.

"Aku pengen punya anak lagi Nggi, tahu sendiri bentar lagi akan nikah. Tapi sejak lihat bekas apa itu ... SC? Rasanya kok kepikiran," kata Alec mendekap bayi itu.

Anggi duduk, melihat ke arah bad boy yang ketika aku sempat dipacarinya tanpa tahu dia sudah jadi bapak. Bagaimana ada orang yang sebrengsek ini. Dan kini mungkin dia mau tobat, baguslah. Dan dia mulai berpikir tentang perasaan, tentang empati, itu adalah kemajuan yang sangat.

"Lec, itu sudah alami. Sudah alaminya betina dan wanita itu seperti itu. Secara fisik tubuh itu sudah didesign begitu dan akan baik-baik saja, pulih dengan segera. Kalau tidak ada penyulit penyerta. Sayang bahkan punya anak hingga 20," kata Anggi menenangkan.

"Begitu?" tanya Alec, yang jadi sedikit tenang.

"Yang pasti tanyakan dulu, ceweknya bersedia apa tidak. Komunikasi itu penting." Anggi dengan bijak berkata.

"Oh syukurlah, aku kepikiran. Jadi ... gak masalah kan?" tanyanya.

"Memang prosesnya seperti itu, tapi tidak masalah asal suaminya bisa beri support. Banyak yang baby blues atau bermasalah secara psikologis karena kurang dukungan dari lingkungan. Fisik masih lemah, masih luka, harus mengurus bayi, masih juga mengurusi mulut yang tidak berempati, atau suami yang tidak peduli. Itu lebih sakit sih, karena bisa mengancam jiwa." Anggi menasehati orang yang mau kawin.

"Mengancam jiwa? Oh aku paham," gumam Alec.

"Pinter, dan sini aja momong anakku. Keloni sekalian biar aku kelon sama bapaknya." Anggi dengan ringan menyalakan televisi.

Alec mesem, bayi perempuan itu didekapnya erat. Dulu Aleccia waktu bayi apakah dia lucu begini? Pipi yang gembul dan liur yang terus menetes membasahi tangan. Mata yang memandangnya dengan kepolosan dan kepasrahan. Makhluk kecil selemah ini tapi mampu menaklukkan hati.

Serius, Alec menginginkannya satu, setidaknya satu saja dulu. Mau perempuan atau laki-laki tidak peduli, yang penting dia sehat. Kalau bisa, pintar seperti emaknya dan cakep macam bapaknya. Semoga yang jelek tidak menurun. Kalau pun menurun ya sudahlah, namanya juga anaknya. Diciumi lagi anak itu, tangan kecil itu menyentuh pipi, aroma minyak telon bercampur bedak, rasanya Alec terhipnotis seketika.

Nanti rayu Jully ah, buat prakarya lagi. Kali ini sudah pintar kok, alus tidak kayak dulu yang grusa-grusu. Serius.

***

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang