017.

4.5K 481 6
                                    

Nala baru saja dipanggil Pak Andre. Lagi-lagi Nala diberi hukuman karena ia lupa mengerjakan PR. Nala tak henti mengoceh dirinya dengan kebodohannya. Bisa-bisanya Nala melupakan PR Pak Andre.

Sehingga Pak Andre meminta Nala mengerjakan sesuatu yang harus ia ajang di mading. Nala tentu saja terkejut—shock—sampai Nala tak bisa lagi menyalahkan dirinya selain pasrah.

Nala diminta membuat suatu informasi menggunakan Bahasa Inggris. Jadi Nala mengusung tema dengan memgajak teman-teman sekolah untuk lebih memperbanyak membaca buku yang tersedia di perpusakaan.

Hal itu juga suatu bentuk dukungan pada fasilitas sekolah supaya teman-teman lebih banyak membaca buku dan menggunakan perpustakaan sebagai tempat membaca yang asik.

Untuk ide tersebut tentu Pak Andre memyetujuinya dengan antusias. Nala segera membuat kalimat persuasif dan memberi contoh-contoh kecil yang ia buat dalam bentuk poin-poin penting agar teman-teman bisa menangkap maksud dan ajakan Nala.

Setelah ia mengerjakannya susah payah, Nala segera menempelkan tugasnya ke mading sekolah. Tentu setelah Nala mendapat ijin dari pihak osis. Katanya prakarya Nala cukup bagus. Pasti akan banyak yang melihat.

Ditemani dengan Alvin—salah satu pihak osis—membantu Nala membuka kaca mading. Lalu Nala menempelkan prakaryanya di sana.

"Kamu nggak mau daftar jadi jadi bagian mading, Nal? Aku lihat kamu cukup kreatif kalau kamu buat prakarya gini." Tiba-tiba Alvin menyeletuk sembari Nala menempelkan prakaryanya.

"Hah.." Nala tergugu.

"Nggak mau coba bergabung jadi anak mading?" Nala menunduk ragu.

"Kalau aku lihat lihat, karya yang kamu buat bagus bagu loh. Terutama puisi yang kamu buat pas mos yang waktu Kak Irfan tempel di mading. Kak Irfan aja suka sama puisimu, ringan. Lalu aku lihat kamu buat ini, kenapa nggak coba bergabung jadi anak mading?" usul Alvin sambil menempelkan prakarya Nala di mading.

Mendengar pujian tulus Alvin membuat Nala tersipu.

"Aku yakin teman-teman yang lain juga suka sama puisimu. Pasti mereka tertarik lihat karyamu yang lain dipajang di mading sekolah."

"Hmm.. aku nggak yakin.." Nala menunduk sambil memilin tangannya yang dingin, "Aku nggak sehebat yang kamu pikirkan itu. Puisi itu.. aku buat hanya iseng.. Kak Irfan nggak sengaja lihat puisiku di bukuku lalu Kak Irfan memohon padaku untuk tempel di mading.. aku nggak yakin."

"Kenapa nggak yakin kalau kamu aja belum coba sama sekali? Lumayan loh kalau kamu bergabung jadi anak mading. Hasil karya di mading akan dibayar pihak sekolah kok, lumayan buat nambah uang jajanmu. Kalau karyamu diminati banyak orang, peluangmu buat naik ke tahap kompetisi antar sekolah akan terbuka dan tentu pihak sekolah akan mendukung penuh."

Mendengar itu Nala mulai tertarik. Tak hanya uang, kepandaiannya dalam bidang menulis bisa dijadikan sebagai keterampilan bergengsi yang pasti akan Nala butuhkan di masa depan.

Tapi Nala masih ragu dengan kemampuannya. Ia hanya suka menulis. Tapi Nala tidak begitu ahli dibidang tersebut.

"Kalau kamu berminat, hubungi aku ya Nal." Alvin menepuk bahu Nala pelan. Lalu pergi setelah memastikan kaca mading tertutup rapat. Nala mengangguk dan membiarkan Alvin meninggalkannya.

Tawaran Alvin cukup menyita pikirannya sesampai Nala di kantin. Masih ada sisa waktu untuk Nala beli cemilan lalu bergegas ke kelas.

-0-

"Coba aja bergabung jadi anak mading." Seru Santa setelah Nala menceritakan tentang usulan Alvin. Santa tahu Nala memiliki bakat dan Alvin sudah melihat itu. Jadi ujaran Alvin menjadi alat Santa untuk membakar semangat Nala.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now