Namun sejak sang Ibu meninggal dunia dan Raskal mengalami cidera di bahunya, Ayah tak lagi perhatian bahkan peduli pada Raskal. 

Bagi Ayah Raskal itu adalah sebuah kegagalan. Sudah hancur dan lebur bersamaan dengan semua ekspektasi yang telah Ayah bangun mati-matian.

Ibarat boneka usang, Raskal tak lagi berguna di mata Ayah.

"Adek ikut makan sama kita ya, Ayah. Adek baru pulang sekolah. Pasti Adek lelah dan lapar."

"Kamu yang lebih lelah dan lapar. Kamu sudah banyak belajar dan sibuk ke sana dan kemari diundang pemerintah dan orang penting berkat prestasimu. Sejak kamu tiba tadi siang kamu belum makan apapun 'kan? Ayo, Sandi, anak kesayangan Ayah. Kita makan bersama."

Sebelum kakinya menginjaki rumah, Raskal sudah mantap dan menyiapkan dirinya sebaik mungkin. Tapi hati kecilnya tetap saja porak poranda mendengar kata-kata Ayah yang menghujamnya semakin dalam. Luka yang belum mengering bahkan semakin melebar. Mungkin sebentar lagi akan membusuk.

Sakit. Hati Raskal patah oleh sosok yang harusnya disegani dan disayangi. Sosok yang seharusnya memberi wejangan atau petuah dukungan justru meruntuhkan dunia Raskal.

Katanya rumah adalah tempat paling ternyaman untuk orang yang ingin pulang. Tapi rumah justru neraka bagi Raskal. Kak Sandi terlalu sibuk memenuhi ekspektasi Ayah hingga Kak Sandi terlambat merangkul Raskal disaat Raskal sudah tak lagi mendambakan rangkulannya.

Ditambah Ibu tak ada lagi di hidup Raskal, dunia Raskal seakan padam oleh kepiluan.

Demi melindungi sisa hati kecilnya yang telah remuk, Raskal segera mengurung diri ke kamar. Tak lupa mengunci pintu.

Lima hari--Raskal harus menahan diri selama lima hari. Setelah orang-orang itu pergi, maka kehidupan Raskal akan kembali seperti sedia kala.

Untuk berjaga-jaga, Raskal menghubungi Jian. Sewaktu-waktu Raskal ingin melarikan diri, ia tahu ke mana ia harus pergi.

Jian :
Jangan sungkan ke rumahku. Malahan Ibuku lebih sering menanyakanmu dan menganggapmu anaknya ketimbang aku -_-

Membaca pesan Jian membuat Raskal tersenyum untuk beberapa saat. Setidaknya Raskal masih bersyukur ada keluarga lain yang justru menganggap kehadirannya.

Sebelum tidur, Raskal mengemaskan pakaian seadanya untuk ia bawa besok ke sekolah.

-0-

"Kak Sandi apa kabar?"

Raskal menoleh. Ia baru saja melahap sarapannya terhenti mendengar pertanyaan Jian.

Jian menghela napas dihadiahi tatapan benci Raskal.

"Aku hanya menanyakan kabar Kak Sandi. Jangan marah." Ucap Jian cemberut.

Jian sudah lama mengenal Raskal dan masa lalunya. Meski tidak terlalu tahu banyak hal, tapi Jian turut sedih dengan cobaan yang Raskal alami selama ini.

Jian ingat, lima tahun yang lalu sahabatnya akan ceria menjelaskan betapa bahagianya dirinya dengan keluarga kecil utuh yang ia miliki. Memiliki Ayah dengan segudang harapan padanya, Ibu yang selalu mendukungnya, juga Kak Sandi yang senantiasa di sisi Raskal melebur setelah sang Ibu tiada dan Raskal mengalami cidera bahu akibat mengikuti turnamen Basket.

Turnamen Basket pada saat itu menjadi momen terpenting untuk Raskal, di mana ia ingin mengabulkan harapan Ayahnya agar ia bisa memenangkan turnamen dan secara otomatis ia akan terdaftar sebagai pemain inti dalam turnamen Basket se-Indonesia.

Namun karena insiden cidera bahu yaang dialami Raskal, Ayah Raskal merasa harapannya pupus dalam sekejap. Belum lagi hilangnya sosok Ibu membuat Ayah, Kak Sandi dan Raskal merasa terpukul.

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang