Melihat itu, Nala spontan membuka komentar yang mendekati puluhan tersemat di sana. Banyaknya teman sekolah Nala yang mengomentari, Nala penasaran. Nala baca satu persatu namun puluhan komentar di sana bukan membahas tentang foto tersebut.

Lebih banyak mereka berkomentar yang dipenuhi tulisan kapital. Menggambarkan jika mereka histeris melihat nama Lea menyukai postingan Raskal ini.

Bahkan Lea menyematkan juga komentar berbentuk hati pada foto tersebut.

Perbuatan Lea ini semakin menimbulkan kecurigaan para komentar tentang hubungan mereka yang sebenarnya.

Mungkin ini berlebihan, tapi komentar tersebut membuat Nala malas memegang ponselnya lagi. Ia membuang asal ponselnya dan terdiam menatap sembrang arah. Membayangkan jika hubungan Lea dan Raskal memang lebih dari sekedar teman di sekolah.

Perihnya mata Nala tiba-tiba menyambar cepat ke hati Nala. Nyeri. Rasa kesal dan cemburunya membakar dada Nala hingga ke kepala.

Sampai saat ini Nala memang belum permah sekali pun mengomentari foto Raskal. Ia hanya berani memberikan tanda sukanya pada foto-foto Raskal.

Foto yang Raskal bidik akan selalu tentang suasana di sekelilingnya. Entah Raskal membidik suasana kelas yang ramai, sepinya kelas karena ada rapat guru mendadak, tenangnya ruang perpustakaan, atau suasana diluar sekolah.

Melihat hasil foto-foto Raskal, Nala yakin Raskal suka sekali memoto dan menyimpan rapi di galeri ponselnya. Entah untuk kesenangan pribadi atau ia nikmati bersama pengikutnya di media sosial.

Raskal jarang sekali menunjukkan dirinya di sana. Itu membuat Nala semakin penasaran dan yakin bahwa Nala tidak salah menyukai Raskal.

Bagi Nala, Raskal bukanlah pemuda yang suka cari masalah. Raskal terkenal dingin, ia hanya akan membagi senyumnya jika ia mengenal orang yang menyapanya. Namun bagi yang sudah mengenal Raskal merasa beruntung bisa berteman dengannya. Bagi mereka, Raskal tak ragu menolong orang walau orang itu asing.

Nala menyetujui akan semua penilaian positif mereka terhadap Raskal. Berita tentang Raskal yang masih hangat dibicarakan ketika Raskal menolong siswa yang dibuli kakak kelas di toilet. Tidak ada yang tidak tahu akan kabar tersebut. Perbuatan pembullyan tersebut membuat si pelaku dikeluarkan dari sekolah karena membuat si korban trauma. Dan sekolah mengapresiasi bentuk keberanian Raskal meski caranya salah.

Saat itu Raskal menyatakan bahwa ia geram melihat pembulian tersebut. Di pelaku tidak bisa diajak kompromi sehingga Raskal terpaksa memukulnya. Meski demikian Raskal tetap mengakui kesalahannya, apapun alasannya seharusnya ia bisa lebih bersabar.

Aksi heroiknya disukai banyak orang. Terutama Nala. Nala masih ingat dengan jelas bagaimana Raskal membabi buta memukul pelaku dengan tangan kosong. Bahkan Jian sulit memisahkan sahabatnya ada saat itu. Beruntung pukulan Raskal tidak mengenai Jian.

"Dek," Kak Tama membuyarkan lamunan Nala. Ia tersadar makanan di depannya belum sedikitpun ia lahap.

Kak Tama dan Ibu jadi khawatir. Sedari tadi Nala hanya diam dan melamun.

"Ada sesuatu hal yang belum kuketahui sampai kamu dari tadi melamun di depan kakak dan ibu?" Kak Tama membuka obrolan pada acara makan malam mereka. Sebelumnya Ibu sudah mengatakan pada Kak Tama kalau Nala terlihat tidak baik-baik saja. Ibu khawatir, jadi Ibu minta tolong Kak Tama menanyakan hal ini pada adik kesayangannya.

"Nggak ada apa-apa, kak."

Nala seketika menggeleng. Nala baru sadar kalau ia terlalu lama melamun. Sebenarnya Nala akan selalu begini jika ia memikirkan Raskal. Raskal akan selalu penuh di memori dan ruang khusus di hati Nala.

Karena tidak mau membuat khawatir, Nala beralih pada menu makan malamnya daan segera menyantapnya dengan penuh suka cita. Nala bergumam sambil mengerutkan dahi, masakan Ibu memang selalu enak di lidah Nala.

-0-

Pagi ini Nala tidak memberikan surat untuk Raskal.

Cuaca mendung mendukung suasana hatinya. Ia teringat lagi dengan Raskal dan Lea di parkiran kemarin.

Walau tidak memberikan surat, Nala datang lebih dulu dan menjadi orang pertama mengisi kelas. Tadi Kak Tama lebih pagi berangkat ke kantor karena harus menemui klien di kantor. Terpaksa Nala bangun lebih pagi agar ia bisa berangkat bersama Kak Tama. Kalau naik kendaraan umum, Nala kurang berhati-hati orang-orang. Pernah ia hampir menjadi korban kecopetan di dalam bus sebelum ada ibu-ibu yang memergoki pelaku.

Nala mengeluarkan kotak bekalnya yang telah disiapkan Ibu dari paper bag. Ia lapar. Dengan perlahan ia menyantap nasi goreng baksonya ke mulut. Lalu meneguk air sebentar kemudian ia kembali melahap nasi gorengnya.

Tak lama pintu terbuka. Nala melongo dengan tangan menggantung di udara melihat Jian dan Raskal memasuki kelas.

Sejenak tatapan Raskal dan Nala bertemu.

"Nala, jangan bilang kamu nginep di sekolah? Soalnya kamu terus yang datang pertama." Ujar jenaka Jian membuat Nala tersenyum kecut.

Tanpa basa basi Jian mendekati Nala. Duduk did epan Nala dan menatap nasi goreng bakso yang menggugah perut Jian.

"Nasi gorengnya beli di mana, Nala? Kayaknya enak banget. Harum." 

Sontak Nala terperangah melihat Jian  sudah ada di depannya dan tergiur masakan Ibunya. Disusul Raskal yang menarik kerah belakang Jian.

"Jangan ganggu orang sarapan. Kamu bisa ke kantin buat beli Nasi Ayam Bu Idah."

Jian memegang lehernya. Tarikan Raskal tentu tidak menyakitkan. Jian hanya berpura-pura mengadu sakit.

"Tega banget kamu sama aku," Jian mencibir. Kemudian ia beralih ke Nala lagi sambil tersenyum.

Jian memiliki paras manis. Jika disandingkan, Jian seperti lelehan karamel pada potongan buah anggur. Manis dan memikat. Pipinya lebih tirus ketimbang pipi Raskal. Bibirnya juga lebih penuh bak buah ceri. Sensual.

"Nala, mau nungguin aku beli nasi ayam Bu Idah dulu nggak? Aku ngebut nih ke kantin biar bisa makan bareng sama kamu."

Ini terlalu tiba-tiba. Permintaan aneh Jian membuat pipi Nala bersemu. Selama delapan bulan Nala berteman dengan Jian, atau siapapun selain Santa, belum ada yang pernah mengajak Nala makan bersama seperti ini.

Nala selalu bersama Santa seperti anak kembar. Ke kelas, ke kantin, kadang ke perpustakaan atau pulang bersama Nala akan bersama Santa.

Dan pagi ini, untuk pertama kalinya ada seorang pemuda yang mengajak sarapan bersama. Yaitu Jian.

Raskal hanya terdiam memperhatikan sahabatnya tersenyum lalu beranjak menuju kantin.

"Kamu mau dibeliin nasi ayam juga nggak? Semalam dan tadi pagi kamu belum makan apapun. Biar kita bisa makan bersama."

Nala terpaku mendengar ujaran Jian. Netranya bergetar, bukan karena Raskal belum makan sejak semalam.

Melihat Raskal menghela napas dan mengangguk setuju, lalu Raskal menggantikan posisi Jian duduk di depan Nala membuat Nala termenung. Semburat merah di pipinya semakin menyala.

Melupakan Jian yang lebih dulu mengajak Nala makan bersama, Nala dan Raskal, sebentar lagi mereka akan bersama-sama.

Hatinya menyeruak cerah walau pagi ini masih mendung.

Secret AdmirerOù les histoires vivent. Découvrez maintenant