SEVENTEEN

58 15 7
                                    


Napasku sedikit tercekat kala suara Regi tak terdengar lagi.
      
"Regi?"
      
"Pergilah. Cari Ayah dan temukan Ayah. Lalu kembali berkumpul pada Ibu dan yang lainnya di Bali. Kau mengerti? Minta Agam untuk mengirimkan beberapa helikopter untuk mengangkut kalian ke Bali."
      
"Omong kosong apa itu. Lalu bagaimana denganmu?"
      
"Hidupku tak akan lama lagi. Tinggal menunggu demam tinggi dan penyempitan pernapasan. Dan semuanya berakhir."
      
"Berakhir katamu? Gampang sekali kau bicara."
      
Air mata sudah menetes dari mataku. Aku pikir, semuanya akan berjalan lancar sampai setidaknya kami keluar dari kota ini.
      
"Regi ayo keluar. Kau bisa tertular jika lebih lama lagi berada di sana."
      
"Gadis nakal ini. Aku bilang jangan mendekat."
      
"Regi---"
     
Brak!
      
Tubuhku menegang saat daun pintu kayu itu kembali tertutup rapat. Disusul dengan suara gemerincing rantai besi yang sepertinya diikat di gagang pintu.
      
"Regi? Apa yang kau lakukan? Suara apa itu? Hiks---"
      
Dor! Dor! Dor!
      
Aku menggedor pintu kayu itu dengan menggila. Tak peduli pada tanganku yang sudah berdarah-darah.
      
"Hentikan Shaila. Kau bisa terluka."
      
"Buka pintunya. Regi buka pintunya! Buka!!!"
      
Raungan sudah terdengar keras hingga membuat empat manusia di samping badan mobil itu berlari ke arahku.
     
"Kumohon pergilah,"
      
"Omong kosong! Buka brengsek! Buka pintunya!"
      
Dor! Dor! Dor!
      
"Hiks--- Regi, buka hmm? Jangan sampai aku melepas pelatukku lagi!"
      
Suara Regi tak lagi terdengar. Kakiku yang sedari tadi sudah terasa lemas kini jatuh terduduk di atas pasir. Bersandar pada daun pintu kayu yang sudah sedikit ternodai darahku.
      
"Shaila ada apa? Kenapa menangis? Di mana Regi?"
      
Tangisku semakin kencang mendengar pertanyaan Letnan Kolonel Stevi.
      
"Ada apa?"
      
"Jangan mendekat,"
      
"Jangan mendekat apa maksudmu?"
      
"Dia bilang jangan mendekat. Dia menyuruh kita pergi tanpa dia. Katanya dia terkurung di dalam bersama jenazah yang sudah terinfeksi. Hiks--- omong kosongkan? Letnan Kolonel, dia bicara omong kosong,"
      
Tubuh mereka menegang. Menatap kosong pintu kayu yang kusandari.
      
"Kita harus bagaimana Kolonel?" Kepalaku mendongak menatapnya yang berdiri.
      
Kolonel Braga hanya diam. Tak menjawab atau mengindahi pertanyaanku. Tak lama Kolonel Braga menggiring semuanya pergi dari sana. Meninggalkanku yang kembali menangis sendiri dengan putus asa.
      
"Regi... Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?"
      
Cukup lama hening, hingga akhirnya suara Regi kembali terdengar.
      
"Kenapa malah menangis di sini? Aku bilang bergegas lah. Cari Ayah, mereka menunggumu."
      
"Ahh... Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendiri? Meskipun kau kritis setidaknya aku mau berada di sisimu sampai kau tiada."
      
"Kau hanya akan membuang-buang waktu Shaila."
      
"Kau sedang apa sekarang? Regi aku merindukanmu," Tangisku makin pecah.
      
Terdengar kekehan dari balik pintu kayu ini. Suara Regi.
      
"Aku hanya sedang duduk. Kau sedang apa?"
      
"Sedang mencoba untuk tetap waras."
      
Lagi, Regi terkekeh getir.
      
"Kau tak merindukanku?"
      
"Untuk apa? Kau ada di sampingku,"
      
Sialan. Suasana ini kenapa membuat dadaku bertambah sedih? Namun juga senang diwaktu yang bersamaan. Sepertinya sebentar lagi aku akan kembali keluar dari akalku.
      
"Kenapa diam? Shaila kau di sana?"
      
"Aku di sini. Regi,"
      
"Hmm?"
      
Aku semakin merindukanmu.

"Erza bilang kau ingin menyampaikan sesuatu padaku. Apa itu?"
      
"Erza bilang begitu?"
      
"Hmm, dia bilang hanya aku yang boleh mendengarnya. Memangnya kau ingin bilang apa?"
      
Hening cukup lama. Di samping yacth kecil, Letnan Kolonel Stevi dan Archie masih memusatkan tatapannya padaku.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now