SEVEN

63 19 4
                                    

Happy Reading!!

Opsir Anan termenung di halaman belakang rumah sakit yang kini sudah kosong melompong.

Para manusia yang tadi tengah berlatih senjata api sudah bubar dari 30 menit yang lalu. Namun kakinya masih setia berpijak di pijakannya tanpa ingin memasuki rumah.
      
Angin sore rasanya tak dapat menenangkannya. Hatinya masih gundah. Dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam.

Opsir Anan tak bohong saat mengatakan setiap waktunya selama 10 tahun terakhir dapat membunuhnya secara perlahan. Membunuh mental dan kewarasannya.
      
Opsir Anan tak menyangka, bahwa anak yang selama 10 tahun terakhir ini dia cari dan menjadi alasannya untuk tetap menjadi seorang opsir berada di sisinya selama kurang dari sebulanan ini.
      
"Dunia memang kecil. Atau permainan takdir yang mengejudkan? Bagaimana caranya aku menghadapimu setelah ini Shaila?"

Matanya memandang sendu penuh kekhawatiran. Mungkin saja setelah ini, hubungan baiknya dengan Shaila merenggang karena masalalu keduanya yang pernah terhubung.
      
"Aku takut menghadapimu."

***

Sudah dua botol soda berukuran 250 ml habis ditenggak Shaila. Kini tangannya sedang membuka botol ketiganya. Minuman soda dingin yang seharusnya dapat menyejukkan pikirannya dan menuntaskan dahaganya bagai tak berfungsi kali ini.

Pikirannya tak mendingin, begitupun dahaganya yang terasa tak cukup hanya dengan dua botol soda.
      
Sesekali kekehan kecil keluar dari mulutnya. Menertawai takdirnya sendiri. Bagaimana bisa kisah hidupnya selucu ini?

Masihkah ada kejutan lain yang lebih mengejutkan dirinya setelah ini?

Hidup sebagai anak titipan, berpisah dengan keluarga kandungnya dengan cara yang tragis, kisah cinta yang sungguh suram, dan sekarang dia kembali bertemu dengan orang dimasalalunya.

Masa-masa yang sangat ingin Shaila lenyapkan dari ingatannya.
      
Matanya memandang meremehkan pada langit biru yang sedikit menguning.

"Ahh, lucu sekali. Sungguh lucu,"

Kekehan kembali keluar. Tangannya kembali menenggak soda dibotol kecil itu. Helaan napas dalam berhembus berat dari mulutnya yang sedikit terbuka.

"Mentalku masih kuat. Kau mau membuatku segila apa lagi? Tidak bisakah langsung memberikan kejutanku tanpa berkala? Kau menyiksaku. Sangat-sangat menyiksa,"
      
Kepalanya kini menunduk lemas. Memandang meja besi di depannya dengan lelah.
      
"Apa yang kau lakukan di situ? Meratap? Apa yang kau ratapkan?"
      
Kepalanya menoleh kesal pada Dokter Danzel yang mengagetkannya. Lalu tak lama kembali menatap langit di atasnya.
      
"Ada apa di langit? Kenapa begitu serius?"
      
"Ada awan."
      
Jawaban asal Shaila membuat Dokter Danzel berdecak kecil. Pria berjas dokter itu mengambil duduk di salah satu kursi yang tersisa di meja yang Shaila duduki. Lalu meletakan kopi kaleng dinginnya ke atas meja besi bundar setelah meneguknya sedikit.
      
"Ada apa lagi sekarang? Masih memikirkan mereka?"
      
"Dokter Danzel,"
      
"Hmm?" Kepalanya menoleh menatap Shaila yang sedang memainkan soda dinginnya.
      
"Begini. Jika kau bertemu dengan seseorang di masalalumu yang kelam, apa yang akan kau lakukan?" Shaila mengangkat kepalanya. Balas menatap Dokter Danzel dengan segudang pertanyaan ditatapan lelahnya.
      
"Aku akan mencoba menghindar."
      
Air wajah Shaila berubah.
      
"Itukah yang ingin kau dengar dariku?"
      
Lalu kemudian kembali dikejutkan dengan ucapan Dokter Danzel berikutnya. Shaila kembali menundukan kepala. Jari jemari lentiknya kembali memainkan soda botolnya.
      
"Kau bertemu orang dari masalalumu?"
      
"Hmm," Kepalanya mengangguk kecil. Membuat surai panjangnya naik turun mengikuti irama anggukan.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now