THIRTEEN

64 20 17
                                    

Perasaanku bertambah tak enak. Mataku membulat terkejut. Bahkan degub jantungku serasa berhenti berdetak.
      
"Kau dan Kolonel... Hubungan kalian Ayah dan anak kan?"
      
Kakiku melemah. Tanganku sedikit bergetar guna menahan tubuh agar tetap berdiri tegak.
      
Regi merogoh saku celana lorengnya. Mengeluarkan selembar kertas dan membaca di depanku yang masih diam mematung.
      
"Aurellia Anna Samuel Mahesa. Itu nama aslimu. Sedangkan nama yang kau pakai sekarang, adalah nama Adikku yang meninggal 18 tahun lalu."
      
Deg!
      
Aku terhenyak. Tatapan kosong Regi membuat dadaku sakit.
      
"Makanya aku tak pernah memperkenalkanmu pada teman-teman ku sebagai Adikku. Karena kau memang bukan Adikku. Tak ada aliran darah diantara kita berdua, apalagi hubungan saudara. Aku bukan Kakakmu."
      
Tanpa sadar alisku menaut, menahan sesak yang mengerubungi dada. Mataku memanas saat pasokan udara terasa menjauh dariku.
      
"Aku baru tahu itu, saat mengunjungi rumah untuk mengambil beberapa keperluan saudara-saudaraku,"
      
"Termasuk aku?" Tanyaku dengan bibir gemetar.
      
"Tidak. Karena kau bukan saudaraku lagi. Saat aku tahu siapa kau sebenarnya."
      
Haruskah pria ini bersikap sedingin ini padaku? Sikap Regi sudah keterlaluan. Sampai aku ingin menangis saja rasanya.
      
"Tahu dari mana? Surat itu... Dapat dari mana?"
      
"Suratnya? Tersimpan di kamar Ayah Ibu, dan jatuh begitu saja di depan sepatuku. Aku kira hanya kertas sampah. Tapi ternyata kisah tentangmu," Regi terkekeh singkat.
      
"Siapa lagi yang tahu?"
      
"Entahlah. Mungkin dikeluargaku hanya aku, Ayah, dan Ibu yang tahu."
      
Keluargaku? Kata itu, bukankah secara tak langsung menyadarkan ku kalau aku bukan bagian dari keluarga Garcia?
      
"Aku sudah tahu kebenarannya. Berada di dekatmu begitu menyesakkan bagiku."
      
Bisakah saat ini juga aku menulikan telinga? Menganggap Regi tak pernah mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.

Regi berdiri, lantas berjalan dan berhenti di depanku.
      
"Aku tersiksa setiap kali menatap matamu. Kau seperti sebilah pedang yang tak pernah gagal menyayat hatiku."
      
Tatapan itu, aku tak kuat untuk lama-lama menatapnya.
      
"Maka dari itu, aku tak kuat lagi berurusan denganmu Shaila. Jadi pergilah dariku, sejauh mungkin sampai kau tak bisa menemukanku lagi."
      
Tes!
      
Air mata mulai membasahi pipiku. Tak kuat lagi menahan bendungan di kelopak mata. Satu sudut bibirku terangkat, terkekeh miris sejenak.

Tak bisa kah pria ini bercermin? Regi juga bagai sebilah pedang untukku. Yang tak pernah gagal menyayat hatiku.
      
"Lalu untuk apa kau mencariku? Memelukku dan bersikap lembut padaku seakan-akan aku adalah orang istimewa bagimu?"
      
Langkah Regi terhenti. Tubuh tegap dengan balutan seragam loreng itu tak berbalik menghadapku.
      
"Anggap saja salam perpisahan. Itu terakhir kalinya aku berperan sebagai Kakakmu."
      
"Tahu begitu tak usah saja menganggap ku ada. Itu lebih dari cukup untukku."
      
"Tentang misi, ikutlah menjemput Ayah. Lalu pergilah."
      
Sekali lagi aku terkekeh miris. Merasa lucu dengan keadaan ini. Kepalaku menunduk menatap lantai dingin di pijakanku. Menyembunyikan wajahku yang sudah banjir air mata.

"Suster, suster ada apa? Kenapa nangis? Suster!"
      
Aku langsung terduduk di kasur dengan napas memburu dan keringat yang berjatuhan di kening. Apa itu tadi? Mimpikah? Atau nyata?
      
Ceklek!
      
Kepalaku mendongak, menatap bingung pada Regi yang berjalan memasuki kamar dengan tenang. Seolah tadi malam tak terjadi apa-apa di antara kita.
      
"Kau sudah bangun?"
      
"Hmm..." Anggukku sekilas, masih dengan tatapan bingung.

"Kau juga baru bangun?"
      
"Tidak. Aku sudah bangun sejak tadi. Ada apa denganmu? Kau menangis?"
      
"Hmm?"

Tanganku bergerak mengusap area pipi. Dan betapa terkejutnya aku saat menemukan bercak air mata di pipiku.
      
"Kenapa? Kau sakit?"
      
Suara Regi kembali menyadarkanku. Aku menggeleng singkat. Berati tadi itu... Hanya mimpi? Mimpi sialan yang kembali terjadi kedua kalinya.
      
"Aira kau sudah sarapan?" Kualihkan fokusku pada Aira.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now