SIX

65 19 1
                                    

Happy Reading!!

Tanganku menyibak gorden putih. Membiarkan cahaya matahari pagi merebak masuk menyinari sekaligus menghangatkan ruang rawat Aira. Yang sekaligus kamar baruku.
      
"Aira bangun. Ini sudah pagi. Kau harus berjemur."
      
Mata bulatnya mengerjap perlahan. Hingga netra coklat gelapnya terlihat seiring terbukanya kelopak ganda itu.
      
"Pagi,"
      
"Pagi Suster," Balasnya dengan suara serak.
      
"Tubuhmu masih lemas? Apa bisa digerakan Aira?"
      
"Tidak terlalu."
      
"Ingin berjemur denganku di tepi danau?"
      
"Ada danau di rumah ini?"

Mata lugunya mengembangkan senyumku.
      
"Hmm. Ada, luas sekali,"
      
"Mau!" Kedua tangannya terbentang. Memintaku menurunkannya dari ranjang pesakitan.

Aku mendorong kursi roda setelah mendudukan Aira di sana. Lengkap dengan kantong infusan yang dipakai anak itu.
      
"Udara di sini jauh dari polusi. Kau pasti akan merasa tenang." Ujarku sambil mengunci roda kursi roda setelah tiba di tepi danau.
      
"Kita ada di mana?"
      
Kepalaku menunduk balas menatapnya. "Rumah Kolonel Braga."
      
"Berapa banyak rumah yang dimilikinya? Kenapa kita pindah lagi?"
      
"Untuk tetap hidup." Bibirku kembali membentuk senyum. Namun kali ini bukan senyum ceria penuh kegembiraan.
      
"Untuk tetap hidup kita harus berpindah tempat? Apa ada yang mengejar kita Suster?"
      
"Kenapa? Aira tak suka? Anggap saja kita sedang piknik. Bukankah menyenangkan piknik dengan banyak orang?"

Kuambil duduk di sampingnya. Beralaskan rumput hijau yang tak terlalu lebat.
      
"Suka. Tapi bagaimana dengan Ayah? Aku meninggalkannya di rumah sakit." Kepalanya menunduk dengan raut wajah sedih.
      
"Ayahmu tak pernah meninggalkanmu. Kau juga tak pernah meninggalkannya. Kau tetap ada dihatinya. Ayahmu juga tetap ada dihatimu. Benarkan?"
      
"Hmm. Ayah selalu ada di sini." Tangannya menyentuh punggung tanganku yang menempel di dada kirinya, tepat dijantung kecilnya berdetak.
      
"Jadi jangan sedih Aira."
      
"Kau juga jangan sedih Suster. Kau sudah banyak menangis. Matamu membengkak." Kini tangan mungilnya berpindah ke kantong mataku. Mengusapnya dengan sapuan lembut.
      
"Aku hanya akan menangis sampai kemarin. Tidak lagi untuk hari ini dan seterusnya Aira."
      
"Kalau begitu aku juga ingin melakukan hal yang sama denganmu. Aku tidak akan menangisi Ayah lagi. Aku hanya akan menangisinya sampai kemarin."
      
"Benarkah? Apa kau sanggup? Kau tak harus melakukan itu jika tak ingin."
      
"Aku ingin melakukannya. Bersamamu. Ayo berjuang bersama. Kau mau?"
      
Setetes air mata kembali meluncur dari kelopak mataku, yang langsung sigap disapu lembut oleh tangan mungil anak di depanku.
      
"Katamu tak akan memangis lagi?"
      
"Aku hanya senang memilikimu di sisiku. Aira, sekarang aku tak menyesali apapun. Ayo berjuang bersama. Aku benar-benar membuat keputusan yang benar Aira."

Gumamku diakhir kalimat sesaat membawa tubuh mungil ini ke dalam pelukan ringan.
      
"Kau juga harus menghangatkan tubuhmu Shaila. Apa tak dingin? Kenapa tak pakai baju hangat?" Tanya Adanan beruntun.

Tangannya menyampirkan selimut rajut di pundakku. Entah sejak kapan dia ada di sana.
      
"Aira butuh sinar matahari. Selama ini dia hanya terkurung di dalam ruangan."
      
"Kau tak dingin Aira?"

Kini tangan besarnya berpindah ke puncak kepala Aira. Mengelusnya dengan ringan.
      
"Di mana yang lain?"
      
"Malik sedang berjaga di pintu masuk, Kiara sedang mencuci pakaian, Erika sedang memasak, dan Jay sedang melihat perlengkapan keamanan."
      
"Kau tak membantu mereka?"
      
"Tugasku selesai. Aku berjaga semalaman. Sekarang waktunya istirahat."

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Kde žijí příběhy. Začni objevovat