EIGHT

59 18 4
                                    

"Shaila! Shaila!"
      
Langkah kakiku terhenti. Tubuhku memutar menatap Adnan yang berlari ke arahku. Tunggu, tak biasanya Adnan terburu seperti ini.
      
"Ada apa? Kenapa kau berlari? Tak biasanya." Aku terkekeh samar.
      
"Nomor yang kemarin kau telpon. Dia menelpon balik tadi."
      
Mataku membulat mendengarnya. Tanganku merampas ponselnya yang tersodor padaku.

Benar, Erza menghubungi balik 7 menit lalu.

Cepat-cepat aku kembali menghubunginya balik. Berharap kali ini kami dapat benar-benar tersambung.
      
Tut... Tut... Tut...
      
Gigiku menggigit bibir dalamku dengan gemas. Ponsel masih berdering, itu artinya terhubung, namun belum tersambung.
      
"Jangan gigit bibirmu. Bisa luka nanti."
      
Adnan menarik lembut daguku. Memisahkan bibir dalamku dari gigitan gigi.
      
Tut...
      
Srek!
      
"Halo Shaila. Kau di sana? Shaila?"
      
Ya Tuhan. Rasanya campur aduk. Ada rasa senang, haru, takut, juga kesal kala suara bas lembut ini terdengar menyapa telinga.
      
"Shaila?"
      
"Sudah berapa lama aku tak mendengar suaramu, hmm, Kapten Erza?"
      
"Sudah lebih dari dua Minggu. Atau hampir sebulan lebih?" Ujarnya setelah cukup lama terdiam.
      
"Ya, selama itu ternyata kita tak mengobrol." Kedua sudut bibirku sedikit tertarik ke atas. Membentuk senyum lega.
      
"Hmm, benar. Selama itu. Sangat lama bukan? Bagaimana kabarmu Adik Kecil?"
      
"Hmm, benar. Keadaanku..."

Kepalaku tertunduk menatap sepatu yang kukenakan. Adnan sudah berjalan jauh di koridor sisi kananku. Memberiku ruang dengan Erza.
      
"... Buruk."
      
"Ada apa? Kau terkena virus?"
      
"Ya. Virus. Yang lebih mematikan dari virus ular Boomslang ini."
      
"Shaila, ada apa? Apa sesuatu yang buruk terjadi padamu? Di mana kau? Aku kan ke sana sekarang."
      
"Bisakah? Tapi jika kau datang, itu terlalu terlambat Erza. Banyak hal terjadi selama sebulan ke belakang ini."
      
"Apa... Yang terjadi?"
      
Perasaanku kembali memberat mengingat peristiwa-peristiwa tak mengenakan yang kualami. Namun tetap saja, Erza tetap harus mengetahuinya.

Karena aku sudah terlalu bergantung pada ketiga Kakak ku. Rasanya seperti ada beban berat yang tengah kupikul jika menyembunyikan sesuatu dari mereka.
      
"Regi... Bersama dengan Kolonelnya, mengorbankan diri untukku dari kejaran Mayor Jenderal. Dan satu Tentara perempuan gugur demi menghapus jejak ku. Banyak yang berduka karena ku Erza,"
      
Suasana sejenak hening. Erza membungkam, sedangkan aku menunggu kata-kata penenang darinya.
      
"Regi... Di mana dia Shaila?"
      
"Di rumah warga. Bersama dengan Kolonel Braga. Tapi tidak tahu sekarang mereka ada di mana. Aku dan penyintas lainnya tak bisa kembali ke rumah itu. Di sana terlalu berbahaya untuk kami."
      
"Shaila, bisa kirimkan alamatmu sekarang? Aku akan ke sana. Segera."
      
"Akan aku kirimkan melalui surel. Lewat surel Adnan. Simpan nomor ini Erza."
      
"Baiklah."
      
"Butuh waktu berapa lama untuk tiba di sini? Aku takut Erza,"
      
"Tak akan lama. Aku akan tiba dengan cepat di sana. Akan kuusahakan itu untukmu. Jangan khawatir, dan jangan takut Adik Kecil."
      
Adik Kecil? Erza, tahu kah kau bahwa aku bukanlah Adik Kecilmu? Hatiku berdenyut nyeri memikirkannya. Bagaimana reaksinya nanti jika mengetahui semuanya?
      
"Cepat tibalah di sini Erza,"
     
"Hmm, pasti. Aku tutup Shaila. Ada banyak yang harus kusiapkan untuk menjemputmu."
      
"Selebihnya, kuceritakan lewat surel."
      
Tut!
      
Dengan berat hati ku akhiri pembicaraan singkat ini. Bagaimanapun waktu yang baru saja kami habiskan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan waktu kami berpisah.

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now