ONE

95 28 30
                                    


Tubuh Regi melemas melihat pemandangan naas di depannya. Semua harapannya sedikit demi sedikit sirna saat melihat rumah sakit sudah luluh lantak tak berbentuk. Kaki gemetarnya melangkah maju, menginjak puing-puing bangunan dengan takut-takut.
      
Matanya menyapu setiap puing yang ditapakinya. Otaknya kini hanya tertuju pada Shaila. Tanpa sadar langkah kakinya menyusuri puing-puing bangunan, hingga terhenti di taman belakang rumah sakit.
      
Kepalanya kembali mengedar. Menatap ke sekeliling. Hingga tatapannya terhenti di bawah pagar bolong saat melihat benda yang sangat dikenalinya. Kakinya melangkah cepat setengah berlari.
      
Itu kalung buatannya. Kalung berbandulkan nama Shaila.

***

Aku mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk keretina mata. Sempat aku terperanjat saat menatap ke sekeliling ruangan. Lalu terdiam beberapa saat meresapi ketakutan dan kekosongan di hati.
      
Sekarang aku ingat kenapa aku dan Aira bisa berada di rumah warga. Rasa sesak dan sedih kembali kurasa. Kenapa aku harus terbangun secepat ini? Tidur lebih baik untuk menenangkan hati dan pikiranku. Melupakan sejenak beban dan keadaan yang tengah kulalui saat ini.
      
Aku tersenyum pedih. Menatap kosong wajah lelap Aira. Anak ini masih juga belum membuka mata.

"Kita hanya berdua, Aira,"
      
Tak ingin larut lebih dalam dalam rasa kosong dan sesak ini. Aku memilih memutari setiap ruangan. Mengenal tempat singgah baruku, mungkin. Cukup luas dan bersih. Rumah lima petak dengan dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi minimalis yang terletak berhadapan dengan dapur.
      
Aku meletakan Aira di salah satu kamar setelah membenahi kasurnya, membalutnya dengan seprai yang kuambil asal di dalam lemari. Untuk sesaat wangi pengharum pakaian dari dalam lemari berhasil membuatku serasa berada di rumah.
      
Aku menutup pintu dengan perlahan, berjalan mencari alat pembersih dan mulai membenahi seluruh ruangan. Rasa kosong dan sesak itu kembali hadir saat aku terbengong tanpa kesibukan.
      
Tak banyak yang kulakukan setelahnya. Hanya menatap diary milik Dokter Daisy, selembar kertas hasil tes DNA, dan walkie-talkie pemberian Regi yang kuletakan berjejer di atas meja ruang tamu.
      
"Bodoh Shaila. Kenapa hanya membawa benda ini? Kenapa kau meninggalkan ponselmu bodoh?"
      
Aku menghela napas. Merutuki diri sendiri juga tak akan membuahkan hasil. Tanganku meraih walkie-talkie. Mencoba menyambungkannya kembali. Siapa tahu aku akan mendapat sautan dari sebrang sana kan. Tidak ada yang tahu.
      
"Regi. Kau mendengarku? Ini Shaila. Jika tersambung jawablah. Ganti."
      
Sepuluh detik, tak ada sahutan dari sebrang. Masih sama. Keberuntungan belum berpihak padaku.

Srekkkk!!!
      
"Oh Tuhan!" Seruku saat bunyi gemeresak walkie-takkie mengejudkan lamunanku.

Srekkkk!!!
      
Bunyi gemeresak kembali terdengar. Aku masih terdiam, meresapi jantungku yang bertalu cepat.
      
"Shaila! Shaila kau di mana?!"
      
Itu suara Regi!
      
Regi masih hidup!
      
Dia mencariku!
      
Pantaskah disituasi seperti ini aku berjingkat heboh di atas sofa? Saking senangnya air mata mengumpul di kelopak mataku. Siap terjun kapan saja membasahi pipi.
      
"Shaila jawab aku!!"
      
Senyum kecil terbit saat suaranya terdengar frustasi.
      
"Ya. Aku di sini. Kapten Reginald,"
      
"Ohh God! Aku hampir gila karenamu Shaila!"
      
Aku terkekeh sejenak.

"Regi, aku takut. Di mana kau?"
      
"Dalam perjalanan mencarimu. Kau di mana? Rumah sakit hancur. Kupikir kau tertimbun di bawahnya."

Unexpected Meeting: Second Leaf (On Going)Where stories live. Discover now